Beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah peristiwa WTC 11/9/2001, muncul istilah baru bagi beberapa gerakan Islam di Indonesia, yaitu “Islam Transnasional”. Istilah ini merujuk pada gerakan-gerakan Islam baru yang memiliki jejaring internasional, baik sebagai cabang maupun yang hanya memiliki hubungan personal-ideologis. Gerakan-gerakan yang dimaksud biasanya secara eksplisit dituduhkan pada PKS, HTI, dan Salafi.
PKS dianggap sebagai kepanjangan tangan ideologis Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan berjejaring internasional. Tidak ada bukti-bukti yang kuat bahwa PKS adalah cabang IM di Indonesia. Namun, menilik pada pola gerakan dan semangat ideologis yang tampak, memang tidak bisa ditampik bahwa keterpengaruhan PKS oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Bana tahun 1928 itu.
HTI sudah jelas merupakan cabang Hizbut-Tahrir yang berpusat di Libanon. Selain jelas dalam isu-isu yang diangkat, kepemimpinan Hizbut-Tahrir Indonesia memiliki hubungan langsung secara organisatoris dengan cabang-cabang lain di seluruh dunia. Pada aar Konfrensi Khilafah Internasional tahun 2007 di Senayan, terlihat hubungan itu secara sangat telanjang.
Sementara itu, jamaah Salafi yang sebagian besar tidak mempedulikan struktur dan organisasi dianggap sebagai bagian dari Islam transnasional karena menyebarluaskan ajaran-ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab. Kepada kelompok ini secara tidak terlalu tepat sering dilekatkan istilah “Wahabi”. Bahkan istilah “Wahabi” ini secara mudah sering juga dilekatkan kepada semua gerakan yang dianggap “trannasional”.
Isu Islam transnasional ini seringkali disikapi secara salah dan tidak proporsional. Dalam buku Ilusi Negara Islam yang diterbitkan oleh LibForAll pertengahan Mei lalu, misalnya, disimpulkan bahwa gerakan ini adalah gerakan “asing” yang sangat berbahaya bagi eksistensi NKRI. Gerakan ini dianggap gerakan yang ingin mendirikan negara Islam atau kekhalifahan Islam dan menggusur NKRI. Oleh sebab itu, di akhir buku ini disarankan agar gerakan ini menjadi semacam “musuh bersama” semua gerakan-gerakan Islam lokal dan tradisional yang ada di Indonesia. Benarkah demikian?
Islam Transnasional: Konsep Absurd
Dalam kasus ini, ada beberapa hal yang harus dicermati secara arif. Pertama, secara terminologi, sesungguhnya penamaan “transnasional” ini terlihat serampangan. Pasalnya, sejarah agama-agama besar di Indonesia tidak ada yang tidak “transnasional”. Islam sendiri memang bukan asli Indonesia sama sepertii Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau Konghucu. Wali Songo itu hanya Sunan Kalijaga yang asli berdarah Indonesia (baca: Jawa). Delapan Wali lain berdarah Arab atau campuran Arab-Jawa. Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan lainnya muncul membawa pengaruh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaludin Al-Afghani.
Melihat fakta-fakta ini apa sesungguhnya yang perlu dirisaukan dari HTI, PKS, Salafi, atau gerakan Islam lain yang terpengaruh oleh pemikiran non-Indonesia? Bukankah Muhammadiyah dan organisasi lainnya pun terpengaruh oleh para pemikir asing? Bahkan NU yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam tradisionalis sesungguhnya bukan asli Indonesia. Kalau NU mengklaim melanjutkan ajaran para Wali, bukankah itu berarti ajaran yang disebarkan NU adalah ajaran-ajaran “impor”? Bukankah pula mazhab Syafi’i yang dijadikan rujukan utama warga NU juga bukan asli Indonesia? Jadi sangat tidak relevan membenturkan HTI, PKS, Salafi dengan NU-Muhammadiyah dengan isu transnasional dan nasional.
Kedua, kalau kasusnya adalah mengancam NKRI, inipun sesungguhnya sangat absurd. Apa yang dimaksud mengancam? Apakah gerakan-gerakan ini melakukan separatisme seperti GAM atau OPM? Sepanjang sejarah organisasi-organisasi ini berdiri sama sekali tidak ada indikasi ke arah sana. Bahkan dalam kasus PKS, organisasi ini malah ikut dalam sistem NKRI: membuat partai dan ikut pemilu. Bukankah ini malah memperkuat NKRI?
HTI memang mewacanakan berdirinya Khilafah Islamiyah yang beroperasi secara internasional. Namun, sampai hari ini adakah gerakan makar militer yang dilakukan HTI? Bukankah yang dilakukan baru sebatas wacana? Bukankah wacana-wacana itu dapat dengan mudah ditemukan di ruang-ruang publik dan bukan merupakan rahasia. Semua orang dengan mudah dapat membaca bahwa gerakan yang dilakukan oleh HTI ini sifatnya evolusioner. HTI mewujudkan misi dakwahnya dengan marhalah-marhalah yang seandainya semuanya benar-benar akan terjadi, ia akan terjadi pada saat sebagian besar orang menerimanya. Dan pada saat itu, tidak penting lagi berbicara NKRI atau bukan.
Isu mengancam NKRI ini lebih absurd lagi ketika dialamatkan kepada jamaah Salafi. Di negeri asalnya, Saudi Arabia, gerakan ini bukanlah gerakan anti-negara. Ia bahkan gerakan yang mendapat sokongan dari negara. Akan terlihat lebih jelas karakternya ketika kita dalami apa yang menjadi pokok ajaran kelompok ini. Bagi mereka kekuasaan adalah anugerah atau azab. Yang terpenting dakwah memperbaiki akidah dan ibadah umat. Ketika akidah dan ibadah umat sudah benar, dengan sendirinya Allah akan memberikan pemimpin yang adil. Begitu pula sebaliknya. Dari sisi ini, apa yang berbahaya dari gerakan Salafi bagi NKRI. Sama sekali tidak masuk akal kalau gerakan Wahabi semacam ini dianggap sebagai ancaman bagi NKRI.
Adu Domba
Memperhatikan dari mana munculnya isu Wahabi dan Islam transnasional ini, justru kita patut curiga ada agenda asing di balik semua itu. Sebagian besar proyek yang ujung-ujungnya mendeskriditkan “Islam transnasional” ini dibiayai, atau paling tidak disokong, oleh lembaga-lembaga pro-Barat. Dalam kasus buku Ilusi Negara Islam jelas-jelas semuanya dibiayai oleh Barat.
Pertanyaannya sederhana. Mengapa kalau ada Islam yang terpengaruh oleh Timur Tengah dicurigai sebagai akan mengancam NKRI, sementara proyek-proyek yang dibiayai Barat tidak dicurigai? Bukankah Timur Tengah tidak pernah menjajah negeri ini, sementara Barat penuh sejarah hitam kolonialisme dan penindasan? Sangat aneh negeri yang bersahabat sejak lama dicurigai, tapi negeri yang belum “ikhlas” melepas negara jajahannya merdeka justru dipercaya sepenuhnya. Jelas ini tidak masuk akal.
Sepanjang sejarah Indonesia merdeka yang banyak mengganggu kedaulatan NKRI justru Barat (baca: Amerika dan Eropa), paling tidak kedaulatan ekonomi. Sudah sejak lama aset-aset negeri ini dihisap oleh Amerika melalui Exxon, Freeport, Chevron, dll. Kekayaan alam negeri ini tidak ada yang luput dari incaran mereka. Tidak ada satupun cerita negara-negara di Timur Tengah yang dituduh sebagai sarang teroris melakukan apa yang dilakukan Amerika terhadap negeri ini.
Bagaimanapun negara-negara Barat takut kalau umat Islam bersatu. Kekuatan umat Islam sangat besar bila tidak terpecah-pecah. Oleh sebab itu, salah satu strategi Barat menghadapi umat Islam yang masih dipertahankan adalah devide et impera (pecah belah dan adu domba).
Isu Islam transnasional, dalam konteks ini, sangat jelas adalah usaha baru Barat untuk memecah kekuatan umat Islam. Dahulu umat Islam Indonesia diadu domba dengan isu “tradisionalis-modernis” “NU-Muhammadiyah”. Kini, saat isu itu sudah mereda dan sebagian besar umat Islam sudah menyadari kekeliruannya, dimunculkanlah isu baru. Barat sengaja ingin mengadu antara NU-Muhmmadiyah yang sudah mulai ishl h dengan gerakan-gerakan Islam baru: PKS, HTI, Salafi, MMI, dan semisalnya. Kalau umat Islam sampai terprovokasi lagi dengan isu-isu murahan semacam ini, kesalahan lama akan terulang lagi. Jangan sekali-kali kita melupakan sejarah.
sumber: persis.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar