“BARANG siapa yang hidup untuk dirinya sendiri, maka ia akan hidup sebagai manusia kecil dan mati sebagai manusia kecil. Barang siapa yang hidup untuk orang lain, maka ia akan hidup sebagai manusia besar, dan tidak akan pernah mati selamanya” (Sayyid Qutb).
Pak Karno adalah seorang guru SD di sebuah desa terpencil. Ia sudah sekitar 20 tahun mengajar di sekolah itu. Yang menarik dari Pak Karno adalah bahwa ia begitu berdedikasi dan bersemangat untuk selalu membantu siswa-siswanya berkembang. Dengan tekun ia membantu siswa-siswanya membaca, menulis, berhitung, dan dengan sabar mengajarkan keterampilan-keterampilan hidup yang bermanfaat bagi anak.
Terkadang Pak Karno harus mengeluarkan uang dari gajinya yang kecil untuk membuat alat peraga dan perangkat pembelajaran lainnya. Bagi Pak Karno, membantu anak-anak terus berkembang merupakan tuntutan kemanusiaan dan kepenuhan batinnya sendiri. Semakin ia membantu anak-anak maju, ia semakin bangga dan bahagia menjalani profesinya sebagai guru.
Pengalaman Pak Karno ternyata berbeda dengan Pak Kardi. Ia adalah guru SMA. Kalau mengajar dia sesukanya sendiri, tidak pernah mempersiapkan diri menjelang pembelajaran karena sudah merasa tahu semua, tidak pernah mau ditanya oleh siswa dan menjadi marah bila dibantah siswa ketika ia mengajar di kelas.
Relasinya dengan anak-anak tidak harmonis dan sangat jauh. Ia tidak ambil pusing ketika siswa-siswanya tidak mengerti karena ia anggap itu urusan siswa, bukan urusannya. Tugas baginya adalah menyampaikan materi di dalam kelas, kemudian mendapat gaji.
Ia sering mengeluhkan gajinya yang kecil jauh dari keinginannya. Dia memilih menjadi guru karena terpaksa, dan sebenarnya tidak mau menjadi guru. Tapi demi uang untuk makan, ia melakukan tugas itu dengan berat hati sehingga ia tidak pernah merasakan kebahagiaan menjalani profesinya sebagai guru.
Dari dua profil guru di atas, sangat tampak perbedaan penghayatan mereka terhadap tugas mereka sebagai guru. Pak Karno jelas merasa senang dan bahagia menjadi guru dan menjalankan tugas itu dengan penuh dedikasi. Ia rela berkorban untuk kepentingan muridnya walau harus mengeluarkan dari uang gajinya yang kecil. Sebaliknya, Pak Kardi lebih merasakan tugas guru sebagai paksaan yang tidak membahagiakan. Pak Karno menghayati tugas guru sebagai “panggilan hidup”, sedangkan Pak Kardi tidak menghayatinya sebagai panggilan hidup, melainkan sebagai “panggilan perut” yang penuh keterpaksaan.
David Hansen dalam bukunya The Call to Teach mengungkapkan kriteria suatu panggilan hidup itu ada dua, yaitu 1. Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain, ada unsur sosial, dan 2. Pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi.
Dalam tugasnya sebagai guru, sangat jelas bahwa mereka melakukan suatu pekerjaan yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak-anak bangsa, lingkungan sekolah, dan bahkan masyarakat tempat mereka hidup. Sebagai tugas panggilan hidup, pertama-tama mereka akan berpikir tentang anak didik mereka, bagaimana mereka dapat mengerti, berkembang, dan terampil. Mereka akan bangga dan bahagia bila anak didiknya sukses, dan akan sabar membantu dan membimbing anak didiknya yang kurang kemampuan dalam belajar.
Cukup jelas bahwa seorang guru yang menghayati tugasnya sebagai panggilan hidup, bukan pertama-tama mencari nafkah atau uang, tetapi bagaimana dapat membantu anak didik berkembang maju menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Bagi mereka, uang bukan tujuan utama, melainkan hasil dari kerja kerasnya karena panggilan guru memang bukan untuk menjadi kaya dalam hal uang. Kekayaan seorang guru adalah pada kemajuan anak didiknya.
Unsur kedua dari panggilan hidup adalah bahwa dengan melakukan pekerjaan itu, mereka bisa mendapat kepenuhannya sebagai pribadi, sebagai manusia yang utuh. Dengan menjalankan tugas sebagai guru secara baik, seorang guru akan merasa hidupnya lebih berarti, semakin menemukan identitas dirinya, semakin merasakan kepuasan batin yang mendalam.
Seorang guru akan semakin merasa sebagai pribadi yang utuh bila anak didiknya menjadi maju dan berkembang. Maka tidak mengherankan bila ada seorang guru yang meskipun harus membantu anak yang badung, ia gembira dan puas jika akhirnya anak itu berubah menjadi baik dan bersemangat di sekolah.
Dengan demikian, menjadi guru adalah sebuah pilihan, bukan profesi jalan pintas yang penuh keterpaksaan, karena guru kental dengan panggilan hidup, bukan panggilan perut. Jika menjalani tugas sebagai guru karena dorongan perut, maka ia dapat memenuhi kepuasan bagi perutnya, tapi tidak kepuasan batin yang mendalam. Jika menjalani tugas sebagai guru karena panggilan hidup, ia akan menjalaninya dengan penuh bangga, dedikasi tinggi, dan kekuatan komitmen yang membara karena uang adalah hasil dari kerja, bukan tujuan utama. (*)
RANI PARDINI SPd, Guru SMA KP dan Bina Muda Cicalengka
sumber: usepsaefurohman.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar