(Transkrip Ceramah AQI 280610)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى,
Kalau orang tahu siapa Allah, maka orang akan bertaqwa kepada Allah. Dan bila orang merasa selalu diawasi oleh Allah, maka ia senantiasa akan bertaqwa kepada Allah. Dan kalau orang mampu mengalahkan hawa nafsu, maka orang itu akan selalu dalam keadaan bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى. Titik-titik rawan itu lah yang harus kita baca dan kita petakan dan selanjutnya mengupayakan bagaimana caranya agar kita mampu untuk menjadi orang yang bertaqwa.
Apakah yang dimaksud dengan “Hawa” (Hawa Nafsu)? Para ‘Ulama menafsirkannya dalam beberapa definisi:
Pertama, misalnya Imaam Aal Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat, beliau mengartikan bahwa “Hawa” adalah kecenderungan jiwa kepada kelezatan yang dirasakan oleh syahwat tanpa seruan / ajakan / landasan ajaran Syar’ie. Maka kalau kita terkondisikan oleh sesuatu yang bukan Syar’ie, yang dibuktikan secara ilmiah bahwa itu tidak ada argumentasi syar’ie-nya tetapi terus saja memaksakan untuk dikatakan / dikerjakan, maka itu berarti Hawa.
Misalnya di bulan Rojab (saat ini kita memasuki bulan Rojab) ini. Dimulai dari amalan, perkataan dan keyakinan yang berkaitan dengan bulan Rojab itu, lalu dinisbatkan seakan-akan itu berasal dari Diin (agama), contohnya: “Rojab adalah bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Romadhoon bulan umatku”, dikatakan itu sebagai suatu Hadits, padahal perlu dicermati lebih lanjut tentang asal-usulnya. Lalu bulan selain bulan-bulan tersebut itu bulan-nya siapa? Tidak ada keterangannya. Itu membuktikan bahwa kalimat tersebut bukan Hadits, melainkan karangan manusia belaka. Tidak bisa dinisbatkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Jika sesuatu amalan atau perkataan itu diminta dalilnya, landasannya yang shohiih, lalu memang ada dalilnya dan benar landasannya, benar memahaminya dan benar penerapannya, baru lah itu disebut benar.
Tetapi ketika sesuatu amalan (perkataan) tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada dalilnya yang shohiih; tetapi ia tetap saja ngotot dan tidak mau diubah, tidak mau diingatkan, maka itulah Hawa.
Kedua, secara bahasa, Ibnu Mandzuur dalam Kamusnya (Ensiklopedi Bahasa Arab terluas), beliau berkata: “Hawa adalah cinta manusia terhadap sesuatu dan mampu mengalahkan qolbu (hatinya). Hatinya kalah dengan kecintaannya terhadap sesuatu. Kalau seseorang mencintai atau menggandrungi sesuatu dan tidak bisa terkalahkan serta cintanya itu mendominasi, sehingga ia tidak bisa diingatkan atau diberitahu, berarti itu adalah Hawa.”
Orang yang demikian itu sudah dikuasai oleh Hawa. Dalam perkara apa saja apakah itu urusan duniawi atau urusan ibadah (urusan Diin), jika itu telah ada pada diri seseorang, maka berarti Hawa Nafsu telah mendominasi orang tersebut.
Ketiga, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaani dalam kitab Fathul Baari menjelaskan bahwa “Hawa” adalah apa-apa yang dicintai oleh jiwa, dan syahwat sangat merasakan lezatnya, meskipun itu menyelisihi kebenaran dan keadilan. Sampai-sampai ia buta dan tidak peduli apakah perbuatannya itu benar atau salah. Meskipun itu perbuatan dzolim, tetap dilakukannya. Orang yang demikian itu adalah pengikut Hawa Nafsu.
Apa yang dikemukakan diatas, substansi dari ketiga definisi itu sama. Artinya, ada obyek yaitu yang disebut Hati (Nafsu atau Jiwa). Lalu ada penyebab, mengapa orang itu cenderung atau gandrung. Juga ada qoidah atau manhaj (pedoman) tetapi dilanggar.
Ketiga koridor itu mudah diidentifikasi. Kalau ada sesuatu yang bermakna lezat, nikmat dan menyenangkan, lalu dirasakan oleh jiwa, dan menyelisihi (bertentangan) dan tidak sesuai dengan kebenaran dan keadilan, maka itu adalah Hawa.
Ada beberapa perkataan para ‘Ulama, misalnya:
Imaam Al Maawardi dalam kitab ‘Adaabud Dunyaa wad Diin, beliau mengatakan dalam bentuk kalimat yang puitis: “Hawa adalah sesuatu yang menghalangi kebaikan, terhadap akal ia bertolak belakang. Hawa adalah menghasilkan akhlaq yang buruk. Hawa menampakkan keburukan. Hawa membuat tabir kebaikan seseorang terobek. Hawa merupakan pintu masuk kejahatan.”
Jadi jika yang dikerjakan, yang dimasuki adalah pintu kejahatan (keburukan), maka tabir kebaikan terobek, pekerjaannya buruk, akhlaqnya tercela, tidak sesuai dengan akal sehat dan menentang kebaikan. Itulah yang disebut dengan Hawa Nafsu.
Jika orang tahu bahwa itu adalah keburukan (kejahatan), tentu tidak mungkin seseorang bisa bertaqwa kepada Allah, bila Hawa Nafsu (keburukan) itu masih bertengger pada jiwa seseorang. Maka hendaknya kita berusaha secara bersama-sama, secara berjama’ah (tidak sendiri-sendiri) untuk bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى.
Orang yang menyendiri (kholwat) rawan terhadap Hawa Nafsu. Maka marilah secara berjama’ah, bahu membahu antara satu dengan yang lain, supaya kita kokoh dalam bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى.
Berikutnya, perkataan ‘Abdullooh bin ‘Abbas (Ibnu ‘Abbas) رضي الله عنه, seorang shohabat. Beliau adalah sepupu dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه mengatakan: “Hawa (Hawa Nafsu) adalah ‘tuhan’ yang diibadahi (disembah) selain Allah سبحانه وتعالى.” Beliau mengambil dasar dari Surat Al Jaasiyah ayat 23:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya*, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
*Allah سبحانه وتعالى membiarkan orang itu sesat karena Allah سبحانه وتعالى telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
Berarti, Hawa Nafsu adalah tuhan selain Allah سبحانه وتعالى. Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita mengkultuskan Hawa Nafsu seperti tuhan. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Karena bila perintah Allah سبحانه وتعالى tidak dipatuhi, tetapi lebih cenderung kepada hatinya (Hawa Nafsu)-nya, berarti ia lebih memprioritaskan hawa nafsunya ketimbang Allah سبحانه وتعالى.
Dan Hawa Nafsu bukanlah khayalan, bukan tidak ada wujudnya, tetapi sudah menjadi kenyataan. Berbagai kemungkaran sekarang (dewasa ini) muncul karena dorongan Hawa Nafsu. Banyak kemungkaran, baik itu penyakit pribadi maupun penyakin komunitas, bahkan penyakit bangsa dan Negara, adalah karena Hawa Nafsu. Padahal sudah tidak sesuai dengan Syari’at, tetapi tetap saja dipertahankan, diusung, bahkan diperjuangkan. Tetapi yang sesuai dengan Syari’at menjadi bahan olok-olok, ejekan, anti, dimusuhi dan sebagainya.
Perkataan Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه, menjelaskan tentang bahayanya Hawa Nafsu. Dalam kitab ‘Aadaabud Dunya wad Diin karya Imam Al Mawardi, disampaikan bahwa Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه berkata: “Aku takut kalian ditimpa dua perkara, yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang harapan (panjang angan-angan, ingin hidup selamanya). Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa nafsu akan menghalangi sampainya kebenaran.” Demikian lah perkataan Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه .
Maksudnya, orang yang mengikuti Hawa Nafsu akan sulit diajak kepada kebenaran. Kalau bukan karena mendapat Hidayah dari Allah سبحانه وتعالى , sulit sekali orang itu diajak kepada kebaikan dan kebenaran. Orang tidak mendapat Hidayah karena tertutupi oleh Hawa Nafsunya. Sehingga yang seharusnya petunjuk (hidayah) itu sampai, maka menjadi terhalang.
Maka cermatilah diri kita masing-masing dan segera lakukan imunisasi, sehingga kita tidak termasuk orang yang terjangkit Hawa Nafsu. Jangan dikiran penyakit Hawa Nafsu itu hanya menjangkiti anak-anak muda saja. Orangtua tidak luput pula bisa terjangkiti. Bahkan dalam suatu Hadits Shohiih, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Tiga golongan orang yang Allah tidak akan berbicara dengan mereka, tidak akan membersihkan mereka dan mereka berhaq atas adzab yang pedih, adalah: orangtua yang berzina, penguasa yang berdusta dan orang miskin yang sombong” (Hadits Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Panjang harapan, bisa menjadikan lupa kepada Hari Akhir (Akhirat). Orang yang orientasinya hanya pada dunia saja, akan seperti melihat fatamorgana, seperti melihat ada air berlimpah diatas padang pasir, tetapi ketika dikejar maka ternyata tidak ada apa-apanya. Itu lah dunia. Orientasi pada dunia saja, akan semakin terjauhkan dari ingatan kepada Akhirat.
Itu semua bukan perkataan para ilmuwan, atau para Kyai, melainkan perkataan Amiirul Mu’miniin Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه (Kholiifah yang ke-empat).
Orang-orang yang mengikuti Hawa Nafsu, meskipun Allah سبحانه وتعالى sudah berfirman dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sudah bersabda, mereka tetap saja ngotot, tidak mau mendengar nasihat.
Misalnya, Jilbab adalah pakaian muslimah. Allah berfirman dalam Surat Al Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: ‘Hendak lah mereka menjulurkan jilbab mereka keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Lalu dikatakan oleh mereka yang mengikuti Hawa Nafsu: “Ah, itu kan budaya Arab, bukan untuk kita orang Indonesia.”
Akhirnya mereka yang mengikuti Hawa Nafsu berkiblat kepada orang Barat (sekuler), bukan kepada ajaran Islam. Orang yang seperti itu, selalu mengikuti hawa nafsunya. Mereka menutup diri dari kebenaran. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Contoh yang seperti itu banyak sekali. Di Indonesia, ketika orang disodorkan Syari’at Islam, tidak sedikit yang menolak. Bahkan orang yang mengaku dirinya muslim, ikut-ikutan menolaknya!
Padahal seharusnya, ketika mereka itu mengaku muslim maka aqidah Islamnya lah yang berfungsi. Bahwa yang benar itu adalah Dienul Islam, karena Allah سبحانه وتعالى sudah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Innaddiina‘indAllahil Islaam” (Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam) – QS Aali ‘imroon ayat 19.
Dan Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Hukum siapa lagi yang paling baik, jika mereka adalah orang-orang yang yakin.” - QS Al Maa’idah ayat 50
Tetapi justru mereka memilih yang tidak yakin, dan yang tidak yakin itu adalah justru para muslimuun (orang-orang Islam). Berarti mereka itu lebih rela mengikuti Hawa Nafsunya daripada mengikuti Wahyu.
Dinukil dari Imaam Al Ghozaali dari kitab Ihyaa ‘Ulaumuddiin, bahwa hati itu ada diantara kecenderungan terhadap kebaikan dan kecenderungan terhadap keburukan (kejahatan). Kadang teguh kepada kebaikan, kadang pula jatuh kepada keburukan. Jadi ada tiga keadaan:
Hati yang dibangun, dibina dan dirajut diatas Taqwa dan disucikan dengan selalu berlatih membiasakan diri berada dalam Taqwa kepada Allah سبحانه وتعالى , serta bersih dari akhlaq yang tercela. Artinya, perilaku dan kebiasaan yang terpuji itu tidak lah datang dengan tiba-tiba, melainkan harus dilatih dan melalui berbagai proses. Maka bila hati kita ingin dibangun, dan terbina dengan Taqwa, perlu diberi latihan atau dengan tarbiyyah. Bahkan terkadang melalui proses dicaci dan dicela orang terlebih dahulu.
Hati yang hina, yang terbebani oleh Hawa Nafsu, yang ternodai oleh akhlaq yang jelek, yang terbuka didalamnya pintu-pintu syaithoon, hati yang tertutup dari pintu malaikat (– pintu malaikat tertutup, tetapi pintu syaithoon yang terbuka baginya–). Akhlaqnya buruk, Hawa Nafsunya mendominasi, itu lah hati yang hina.
Hati yang memunculkan percikan, bisa yang berasal dari Hawa Nafsu maka akan mengajaknya kepada kejahatan, tetapi lalu ditumpas oleh adanya ‘Lampu Imaan’ dalam diri orang itu sehingga diajaknya kepada kebaikan. Semula terbersit pemikiran yang jahat, jelek, tetapi karena ada imaan dalam diri seseorang, maka ditumpas lah dan diarahkan lah kepada kebaikan. Sehingga terbangkit lah si jiwa itu untuk mengalahkan bisikan jahat tersebut. Jadi ketika syahwatnya lebih cenderung untuk suka berfoya-foya, lalu akalnya mengajaknya untuk berpikir yang baik dan akhirnya mencela (menjelekkan) apa yang hendak dirinya kerjakan untuk mengikuti hawa nafsunya tersebut, serta mengatakan pada dirinya sendiri: “Engkau bodoh, akalmu laksana hewan, engkau seperti binatang buas”, dstnya, dstnya. Kalau akalnya bisa mengalahkan hawa nafsunya maka ia akan menjadi baik, sebaliknya kalau akalnya kalah maka ia akan berbuat hal yang buruk.
Jadi ada tiga keadaan, yaitu Hati yang Bertaqwa, Hati yang tertutup dari menerima kebaikan, dan Hati yang diantara keduanya (tergantung mana yang dominan, kadang menerima kebaikan, kadang menerima keburukan). Itu lah perkara yang harus diwaspadai.
Ada tiga akibat yang fatal apabila Hawa Nafsu diikuti. Dan kalau itu sudah kita sadari, maka mari lah kita kalahkan Hawa Nafsu diri kita, kemudian kita bersama-sama bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى . Tiga akibat itu adalah:
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (71
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasa lah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an), akan tetapi mereka berpaling darinya.” – QS Al Mu’minuun ayat 71
Maksudnya, jika hati sudah dikendalikan oleh Hawa Nafsu, kalah dengan Hawa Nafsu, maka bumi, langit dan isinya akan menjadi rusak. Jika hawa nafsu sudah menjadi dominan, menjadi pengendali untuk mewarnai dan mengkomando kebenaran maka semua isi bumi dan langit ini menjadi rusak. Al Qur’an yang seharusnya menjadi pemutus perkara, lalu dikatakan tidak boleh menjadi pemutus perkara, sebagai gantinya dipakai yang sesuai dengan hawa nafsu saja. Apa yang berasal dari Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dikatakan: “Tidak usah, jangan pakai yang itu. Sunnah itu kan berlakunya 14 abad yang lalu, sekarang kan zaman modern, pakai saja hukum-hukum yang ada sekarang.” Berarti, kebenaran pun dikalahkan oleh Hawa Nafsu. Jika sudah terjadi yang demikian itu, maka langit, bumi dan isinya akan menjadi rusak.
Nah, perhatikan lah, sudahkah terjadi kerusakan itu sekarang? Kalau sudah, maka kita harus melakukan antisipasi. Hawa Nafsu harus kita kendalikan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat tersebut diatas: “Maka Kami datangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur’an), tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
Maksudnya: Kemudian telah didatangkan kepada mereka peringatan (Al Qur’an), tetapi mereka berpaling (menolak). Jika diberi peringatan, mereka tetap menolak maka tunggulah kehancurannya. Itu lah Rumus, yang lebih pasti daripada hukum apa pun di alam semesta ini. Karena semua itu yang menetapkan adalah Allah Robbul ‘aalamiin.
Maka jika kita ingin maju, ingin berkembang dan sukses, tidak ada jalan lain kecuali harus menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pengendali dan pemutus perkara. Tetapi jika hawa nafsu dijadikan pemutus perkara, maka rusak lah semuanya.
Bila hukum diserahkan kepada manusia, tentu manusia punya kehendak / keinginan masing-masing. Bahkan bisa berkomplot (berpolitik) satu sama lain, sesuai kepentingan dan keinginan tertentu. Sedangkan ketika Allah سبحانه وتعالى memutuskan suatu hukum Allah سبحانه وتعالى sama sekali tidak butuh pada manusia, justu Allah سبحانه وتعالى lah yang mengatur untuk kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan mereka di hari Akhir.
Kesimpulan:
a) Bahwa jika manusia mengikuti Hawa Nafsunya, tidak mengikuti yang Haq, maka dunia akan menjadi rusak. Pertama, rusak alam semestanya, hutannya, lautnya dstnya. Kedua, adalah rusak moralnya, manusia sudah tidak punya peri kemanusiaan lagi. Ketiga, rusak dari segi Diin-nya. Agama tidak lagi dijalankan, tidak dilaksanakan, dstnya.
b) Bahwa jika manusia mengikuti Hawa Nafsunya, maka kesesatan akan menyelimuti mereka.
Lihat Surat Al Qoshos ayat 50:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (50
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka belaka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginan (hawa nafsu)-nya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.”
Maksudnya, siapa yang diseur untuk berjalan dan menetapi Al Islam, Al Qur’an dan As Sunnah tetapi mereka tidak mau, berarti mereka mengikuti Hawa Nafsu. Dan orang yang paling sesat adalah orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah سبحانه وتعالى. Dan Allah سبحانه وتعالى tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang dzolim (yang tidak mau mengikuti petunjuk-Nya). Orang yang tidak mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, maka ia adalah orang yang paling sesat dan mereka adalah orang dzolim. Dan setiap orang yang sesat adalah penghuni neraka. Karena mereka mengikuti hawa nafsu.
Orang yang mengikuti Hawa Nafsu akan binasa.
Lihat surat An Naazi’aat ayat 40 dan 41:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41
40.“Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,
41. maka sungguh, surga lah tempat tinggal(nya).”
Artinya, jika orang itu mengikuti hawa nafsu maka ia akan menjadi penghuni neraka. Karena orang yang mengendalikan hawa nafsu akan masuk kedalam surga, maka orang yang terpedaya dengan hawa nafsunya akan menjadi penghuni neraka. Maka, jika kita tidak mengikuti Al Haq (kebenaran) dan hanya mengikuti Hawa, tunggu lah saja keputusan Allah سبحانه وتعالى , bahwa orang tersebut akan binasa.
Kita disuruh oleh Allah سبحانه وتعالى untuk menyelisihi Hawa Nafsu. Jangan mengikuti Hawa Nafsu. Lihat Surat Al Kahfi ayat 28:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan jangan lah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginan (hawa nafsu)-nya dan adalah keadaannya itu sudah melewati batas.”
Allah سبحانه وتعالى menyuruh kita, agar bersabar, dalam arti bisa mengendalikan jiwa dan tidak mengikuti hawa nafsu. Bisa mengikuti Al Haq dan mengalahkan Al Hawa. Jika kita bisa melakukannya, maka kita akan menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى.
Hadits diriwayatkan oleh Imaam Haakim dll, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثلاث مهلكات شح مطاع و هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه
“Ada tiga perkara yang bisa membinasakan manusia, yaitu kikir yang amat sangat, Hawa Nafsu yang diikuti dan ‘Ujub (bangga diri).”
a) Syuhhun (kikir yang amat sangat) adalah: ‘Jangankan kikir terhadap hartanya, terhadap harta orang lain pun ia kikir. Maksudnya, bahwa miliknya adalah miliknya dan milik orang lain pun harus menjadi miliknya. Orang lain yang mendapatkan kenikmatan, ia yang merasa sakit. Keinginannya adalah agar kenikmatan dan keberuntungan jangan lah diperoleh oleh orang lain, tetapi diperoleh oleh dirinya sendiri saja. Lalu yang muncul dalam diri orang yang shokhun itu adalah dengki, iri kepada orang yang mendapatkan kesenangan (kebahagiaan).
b) Hawa Nafsu yang diikuti ini lah yang menjadikan manusia binasa. Apa yang disenangi, digandrunginya diikutinya terus, tanpa pengendalian sesuai dengan Syari’at Allah سبحانه وتعالى.
c) ‘Ujub, kagum terhadap dirinya sendiri. Karena merasa ia orang pandai, merasa sebagai orang bangsawan, merasa paling kaya, merasa berstatus tinggi dstnya. Karena orang itu diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى suatu kelebihan disbanding orang lain, lalu ia berbangga diri maka sifat ini adalah ‘kakak-adik’ dengan sifat sombong.
Maka mari lah kita mengendalikan Hawa Nafsu, karena mengikuti Hawa Nafsu tidak ada baiknya. Justru akan membinasakan dan merugikan kita. Maka mari lah kita At ta’aawwun ‘alal birri wat taqwa (saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa) dan selanjutnya jangan ada yang merasa dirinya lebih dari orang lain.
Kita adalah sama disisi Allah , maka mari lah bertolong-tolongan untuk mengalahkan Hawa Nafsu dan mematuhi apa yang Allah سبحانه وتعالى berikan kepada kita dan akhirnya kita menjadi hamba-hamba yang taat kepada Allah سبحانه وتعالى.
sumber: ustadzrofii.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar