Oleh: Doni Aris Yudono
Setelah menuai decak kagum dunia pertanian beberapa dekade silam, kini dampak revolusi hijau mulai mendapat pandangan negatif bagi masyarakat, terlebih bagi komunitas yang begitu peduli pada kelestarian lingkungan. Titik terpenting dari “biang kerok” ulah revolusi hijau adalah intensifikasi penggunaan pestisida kimiawi untuk mengendalikan hama tanaman. Dahulu, saat revolusi hijau masih hangat-hangatnya, petani begitu “girang” dengan keampuhan pestisida membunuh hama secara ces pleng. Artinya, sekali semprot maka tidak lama lagi hama akan langsung KO. Tapi ternyata kejayaan pestisida kini telah berangsur merosot. Banyak dampak negatif yang dikeluhkan akibat penggunaan pestisida, salah satunya adalah terjadinya resistensi hama. Namun sayang, istilah resistensi ini banyak disalahpahami sehingga konsepnya menjadi melenceng dengan kenyataan yang terjadi di alam.
Secara harfiah kata resisten artinya “tahan” atau “kebal”. Penambahan akhiran –si, menjadi resistensi, bermakna “proses menuju kekebalan”. Dengan demikian secara praktis, resistensi hama berarti proses yang dialami hama sehingga hama menjadi kebal. Dalam konteks ini yang dimaksudkan adalah kebal terhadap pestisida.
Pada banyak kasus, awalnya suatu jenis pestisida mampu efektif membunuh dan mengendalikan populasi spesies hama tertentu. Tapi beberapa bulan atau tahun kemudian, pestisida tersebut tidak mempan lagi membunuh hama sasaran. Dalam terminologi pertanian, kasus seperti inilah yang dinamakan resistensi hama. Sudah menjadi peran ilmu pengetahuan untuk menjelaskan penyebab segala fenomena yang terjadi di alam. Dalam hal penjelasan penyebab terjadinya resistensi hama, dunia keilmuan pertanian banyak yang menjelaskan mekanisme “sebab” tersebut secara keliru.
Konsep resistensi yang populer adalah bahwa aplikasi pestisida telah menimbulkan tekanan (pressure) pada hama. Selanjutnya, Jika pressure ini berlangsung bertubi-tubi dalam waktu lama, maka dikatakan hama melakukan proses adaptasi, mengubah proses fisiologis dalam tubuhnya sehingga yang awalnya rentan, menjadi kebal terhadap jenis pestisida tertentu. Dalam istilah yang lebih keren, dikatakan bahwa hama tersebut mengalami perubahan genetika (mutasi) diakibatkan tekanan aplikasi pestisida. Benarkah demikian? Hingga saat ini konsep seperti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tidak ada penjelasan logis yang dapat menerangkan mekanisme terjadinya perubahan tersebut. Konsep ini hanya menunjukkan hasil akhir, prosesnya tidak bisa dijelaskan. Para ilmuwan genetika pun sadar betul bahwa genetika adalah bersifat stabil dan sangat sulit berubah. Adapun perubahan yang mungkin terjadi pada gen misalnya karena penyinaran, atau mendapat dosis bahan kimia tertentu. Jika melalui perlakuan tersebut gen kemudian berubah, maka perubahan itu dinamakan mutasi. Tapi, mutasi sangat sulit terjadi dan jika pun terjadi, hasilnya bersifat random (acak).
Tapi resistensi bukanlah dongeng belaka. Resistensi memang benar-benar terjadi di agroekosistem. Memang terjadi kekebalan beberapa spesies hama terhadap pestisida tertentu. Jika konsep mekanisme resistensi di atas dianggap keliru, maka bagaimana sebenarnya penjelasan yang lebih logis?
Makhluk hidup diciptakan Tuhan dengan keragaman genetik yang luar biasa. Meskipun satu spesies, masing-masing individu punya tingkat ketahanan yang berbeda-beda. Begitu pula hama, meskipun dari luar morfologinya sama, tapi susunan genetiknya tidak persis sama. Gen-gen ini, dalam proses pertumbuhan populasi, akan terus tersilang satu sama lain dan menghasilkan keragaman yang lebih banyak lagi. Keragaman ini yang membuat hama ada yang bersifat sangat lemah, agak lemah, tahan dan sangat tahan bahkan ada yang super tahan terhadap cekaman lingkungan. Hama super tahan inilah yang sebetulnya sakti menangkal pestisida, sedangkan yang lemah mudah mati akibat pestisida. Hama yang memiliki tingkat ketahanan “super” biasanya dikendalikan oleh gen-gen resesif, sehingga jumlahnya dalam populasi sangat sedikit. oleh karena itu, proses resistensi biasanya berlangsung agak lama karena terjadi pertumbuhan populasi dari jenis “super” tahan yang jumlahnya “super” sedikit. Jadi jika berbicara proses resistensi hama terhadap pestisida, maka kita berbicara dalam konteks populasi, bukan konteks individu.
Jadi jika kita mengkronologiskan teori mekanisme resistensi di atas, maka akan didapatkan rentetan berikut. Di alam, dalam hal ini lingkup agroekosistem, populasi hama terdiri dari beraneka ragam tingkat ketahanan mulai dari sangat lemah sampai pada yang super tahan terhadap jenis pestisida tertentu. Jenis hama yang tahan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan yang lemah. Ketika pestisida diaplikasikan, maka sebagian besar hama-hama lemah akan mati, sedangkan yang tahan tetap survive. Hama-hama lemah yang luput dari kontak dengan pestisida akan tumbuh lagi membentuk populasi baru, begitu pula hama tahan pun memperbanyak diri dalam populasi. Tapi dalam hal ini proporsi hama tahan sudah meningkat karena hama lemah banyak yang mati. Aplikasi-aplikasi pestisida berikutnya akan terus “membinasakan” hama lemah, sehingga lama-kelamaan proporsi hama tahan semakin dominan. Ketika proporsi hama tahan sudah sangat mendominasi, maka pestisida sudah tidak memiliki arti lagi dalam mengurangi populasi, sehingga dikatakan bahwa populasi hama telah “resisten”.
Perlu digarisbawahi, bahwa mekanisme di atas berlaku untuk suatu jenis pestisida, bukan semua pestisida. Oleh karena itu, jika ditemukan pestisida baru yang lebih “ganas”, maka banyak hama tahan akan mati, sedangkan yang bertahan hidup adalah yang ketahanannya lebih tinggi daripada yang mati tersebut. Hama yang survive ini kemudian akan berkembang lagi dan menjadi resisten. Dengan demikian, terjadi perlombaan sengit antara manusia dan hama. Manusia berupaya keras menciptakan pestisida seganas mungkin, sedangkan hama akan terus memperbanyak jenis-jenis yang tahan sebanyak mungkin.
Mungkin beberapa di antara kita ada yang bertanya, mengapa konsep resistensi yang terkesan “musykil” di awal pembicaraaan kita telah menjadi semacam pedoman sebagian besar akademisi pertanian. Kenapa konsep yang agak “aneh” tersebut tumbuh subur di dunia keilmuan pertanian? Agaknya ini karena doktrinisasi dari kaum evolusionis pada sebagian teori-teori biologi. Konsep resistensi yang “aneh” tersebut diupayakan agar orang mengakui kebenaran teori evolusi, yaitu bahwa makhluk hidup dapat mengubah dirinya atas adanya tekanan alam.
Dari pembahasan ini mungkin dapat kita petik sebuah hikmah bahwa janganlah kita manusia bertindak serakah. Janganlah kita berusaha memusnahkan makhluk-makhluk lain yang kita anggap merugikan kita. Alam semesta ini disediakan-Nya untuk kita nikmati bersama-sama. Sehingga sekarang PR kita adalah, bagaimana me-manage alam sehingga kita dan hama bisa sama-sama hidup tanpa ada pihak yang “terlalu” dirugikan.
sumber: doniaris.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar