Wah! Berikut hal-hal yang melatarbelakangi sikap tersebut:
- Ingin dianggap hebat atau sebagai sosok terbaik di mata anak.
- Ingin mendapat respek berlebih dari anak.
- Ingin menjalin kedekatan dengan anak.
- Berusaha melindungi anak dari informasi yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan visi orangtua.
Manfaat yang diperoleh:
Tentu saja kalau ditunjukkan secara pas, sikap serba tahu mendatangkan manfaat, antara lain:
- Hubungan orangtua dan anak menjadi lebih dekat karena frekuensi komunikasi di antara keduanya pasti lebih intensif.
- Orangtua lebih dihargai dan dipandang pintar, hebat, atau bahkan diidolakan anak.
- Jawaban yang diterima anak lebih terseleksi dibandingkan jika anak mencari-cari sendiri melalui teman atau internet.
- Akses anak untuk memecahkan persoalannya menjadi lebih mudah karena orangtua lebih mudah dijangkau.
- Anak memperoleh rasa aman karena orangtua selalu ada untuk memberi tahu apa yang dibutuhkan dan ingin diketahuinya.
- Orangtua terdorong untuk belajar serta memperluas pengetahuan supaya terus bisa menjawab pertanyaan sekaligus membantu persoalan anak.
- Secara implisit anak jadi terdorong untuk banyak belajar agar menjadi "serba tahu" seperti orangtuanya.
Hambat langkah anak untuk maju
Meski berbagai alasan diajukan dan bisa jadi "benar" untuk kondisi-kondisi tertentu, tetap saja menjadi orangtua yang selalu tahu ada dampak buruknya, antara lain:
- Kemungkinan menghambat pembentukan rasa percaya diri dan kemandirian anak. Ia jadi terbiasa mengandalkan orangtua untuk menjawab pertanyaan/persoalannya. Dalam jangka panjang, jika ketergantungan ini makin lama makin besar, bukan tak mungkin kesempatannya untuk maju meraih sukses jadi terganggu. Mengapa? Sebabnya, anak senantiasa merasa perlu mendapat "dukungan" penuh dari orangtuanya sebelum memutuskan sesuatu.
- Tak mendapat jawaban semestinya secara tuntas. Soalnya, belum tentu orangtua menguasai semua hal yang ditanyakan anak. Lebih celaka jika si orangtua tetap ingin dianggap hebat lantas menjawab sekenanya, kurang tepat, atau bahkan terpaksa mengarang kala merasa terdesak.
- Sikap serba tahu ini menjadi makin parah kalau orangtua berusaha menyisipkan motif tertentu sesuai keinginannya. Padahal, bisa jadi jawaban tersebut malah mengaburkan inti pengetahuan anak. Contohnya, anak mempertanyakan asal-usul hujan, lalu ayah atau ibu menjawab sekenanya, "Tuhan nangis lihat anak nakal." Bagi anak batita, besar kemungkinan jawaban ini dianggap benar (meski untuk sementara waktu). Bukankah selama ini ia beranggapan selalu mendapat jawaban yang benar atas tiap pertanyaan yang diajukannya?
- Mematikan kreativitas dan daya pikir kritis anak dalam memecahkan masalahnya. Toh selama ini ia sudah terbiasa tinggal terima "suapan" orangtuanya.
- Wawasan pengetahuan anak jadi terbatas karena sumbernya hanya dari orangtua saja.
- Anak menjadi sangat bergantung pada orangtua. Jangan heran kalau pada masa selanjutnya waktu orangtua akan tetap tersita untuk memenuhi kebutuhan anak.
Informasi tersaring
Kendati demikian, jika orangtua mampu "menarik ulur" sikap serba tahunya secara pas, sederet manfaat bisa dipetik anak. Lalu, bagaimana cara bersikap bijak dalam hal ini? Berikut sejumlah tips yang bisa diterapkan:
- Ketika anak mengajukan pertanyaan, pertegas dulu apa yang dimaksud/ditanyakannya. Jangan buru-buru menjawab panjang lebar hanya karena merasa bisa memberikan jawaban yang tepat.
- Tanyakan alasannya mengapa ia bertanya mengenai masalah itu. Ini penting untuk mengasah kemampuan anak bernalar.
- Setelah jelas apa yang ditanyakannya, barulah jawab pertanyaan anak secara gamblang. Yang pasti, sesuaikan dengan perkembangan usianya dan beri jawaban dengan porsi tepat. Jangan berlebihan atau sebaliknya terlalu seadanya. Kalau anak usia 5 tahun bertanya mengapa ada hujan, contohnya, orangtua tak perlu menjelaskan proses kimia terjadinya hujan meski ia seorang ahli kimia. Cukup garis besar ilmiahnya saja.
- Jelaskan dari mana Anda bisa menjawab pertanyaan itu. Misalnya dengan menunjukkan ensiklopedi yang memuat jawaban tersebut. Dengan demikian, anak mendapat pemahaman bahwa orangtuanya bisa menjawab karena rajin membaca buku. Dalam diri anak akan tertanam, kalau ia mau membaca buku, ia pun pasti akan "sepintar" ayah dan ibunya.
- Saat anak menunjukkan kekaguman karena Anda bisa menjawab pertanyaannya, jangan ge-er dulu dengan menjawab, "Jelas dong, mamanya siapa dulu." Yang dianjurkan adalah menunjukkan pada anak mengenai sumber-sumber informasi, seperti televisi, buku, dan internet, sebagai media belajar untuk menemukan jawaban atas segala pertanyaannya.
- Jika memang tidak bisa menjawab pertanyaan anak, jangan coba-coba sok tahu. Tak perlu malu untuk mengakui bahwa saat ini Anda tidak tahu. Namun, langsung tawarkan kepada anak untuk mencari jawabannya bersama-sama di buku. Kalaupun jawaban yang dimaksud tidak ada di sumber tadi, tak ada salahnya bertanya kepada orang lain yang memang kompeten di bidang tersebut. Pendek kata, jangan segan untuk belajar dan belajar kembali. Terlebih jika Anda merasa makin lama kian banyak pertanyaan anak yang tak bisa terjawab.
- Sementara jika jawaban yang Anda berikan sebelumnya ternyata salah, jangan segan untuk meralatnya. Jangan pernah merasa "malu" karena telah salah menjawab. Lebih baik segera meralatnya daripada anak mendapat informasi yang salah selamanya.
(Marfuah Panji Astuti)
Narasumber: Vera Itabiliana, Psi.
dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta
sumber: balitakami.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar