Sampai kapan pun, pembelajaran di kelas tidak akan pernah berhasil secara maksimal jika guru sebagai aktor tidak berjiwa merdeka. Kunci keberhasilan seorang guru salah satunya terletak pada kemerdekaan pikiran dan batin guru saat berada di depan siswanya. Guru seharusnya merdeka dalam menentukan perencanaan sesuai dengan rambu dasarnya, merdeka dalam melaksanakan model pembelajaran dengan tanggung jawab ke arah pencapaian tujuan pembelajaran, dan merdeka dalam menerapkan segala kemampuan mengajarnya di bawah bimbingan pengawas atau kepala sekolahnya. Guru merdeka selalu mendekati siswanya dengan arah yang mendidik dengan sentuhan asasi kemanusiawian.
Namun, saat ini, kemerdekaan guru telah luntur dengan banyaknya pesanan dan peraturan pembelajaran yang terasa susah dicerna oleh guru di lapangan. Guru merasa terikat dengan aturan pembelajaran yang seolah-olah mengharuskan guru menggunakan model pembelajaran tertentu. Guru merasakan kesulitan ketika diminta untuk mengubah gaya mengajar dengan gaya yang dianggap orang lain lebih baik. Seolah-olah guru tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan tidak diberikan kepercayaan dalam mengolah kemampuannya di kelas. Pokoknya guru harus dianggap orang yang lemah yang perlu digelontor oleh wacana pembelajaran modern dari luar dirinya.
Ketidakpercayaan kepada guru terhadap cara mengajarnya sehingga guru tidak merdeka berlangsung cukup lama. Sejak 1978, guru digiring untuk melaksanakan belajar aktif melalui program CBSA. Program tersebut berharap agar guru menempatkan siswa sebagai individu yang dapat secara aktif terlibat dalam pembelajaran. Menurut konsep CBSA pembelajaran “student center” merupakan salah satu faktor agar pembelajaran di kelas dapat berhasil. Lewat Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) dilakukan penataran teknik dan strategi pelaksanaan CBSA kepada 7000 pendidik guru (5000 guru SPG dan 2000 dosen IKIP/FKIP) dengan harapan mereka akan menyebarkan gagasan pembaharuan ini ke tingkat sekolah melalui para lulusannya. Hasilnya? Tidak ada hasil yang diharapkan. Hasil penelitian Balitbang Depdikbud tersebut saat itu menggambarkan kurang berhasilnya penerapan CBSA karena sistem pendidikan pada waktu itu, pengelolaannya masih dilakukan di pusat, dan sekolah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan inovasi kecuali hanya melaksanakan apa yang diterimanya.
Ketika Contextual Teaching and Learning (CTL) dikenalkan di Indonesia awal 1996-an sebagai model pembelajaran yang lebih dianggap mampu membawa siswa sebagai subjek belajar, para guru menyambutnya dengan sangat antusias. Bahkan, sejak dilakukan pelatihan CTLO dengan gencar sejak tahun 2000-an oleh pemerintah, CTL bergulir dengan cepatnya seperti bola salju yang menggelinding dan membesar. Namun, saat ini, setelah sepuluh tahun bergulir, gaung CTL hanya sebatas ingatan di sebagian guru tanpa menyentuh tingkat penerapan yang total dan tidak mampu mendongkrak prestasi belajar siswa. Di sisi lain, banyak guru, tiap hari, senantiasa menggunakan CTL sebagai satu-satunya model yang dianggap tepat meskipun tidak mengangkat prestasi siswa karena menurut kacamata guru hanya CTL yang diperbolehkan digunakan untuk pembelajaran.
Guru yang teramat paham dengan model CTL banyak yang mendewakan model tersebut sebagai satu-satunya sarana mengajar yang dianggap paling tepat. Untuk Kompetensi Dasar apapun, guru tersebut selalu menggunakan CTL. Seakan-akan guru menjadi pengikut aliran model CTL dan meminggirkan model pembelajaran yang lainnya. Padahal, CTL bukanlah satu-satunya model pembelajaran yang cukup ampuh. Masih banyak model lain yang juga ampuh karena situasi, kondisi, tujuan, dan subjek belajar yang berbeda-beda. Bahkan, CTL diplesetkan menjadi Catat Tinggal Langsung, artinya siswa mencatat lalu guru meninggalkan kelas secara langsung.
Pada akhirnya, guru terkesan dibelenggu oleh kehebatan CTL sampai-sampai dianggap dewa penguasa yang mengalahkan segalanya. Kondisi tersebut tentu akan merusak pembelajaran yang sesungguhnya, yakni pembelajaran yang mampu mencapai tujuan. Tidak ada model pembelajaran yang paling bagus dan tidak ada model pembelajaran yang paling buruk. Model pembelajaran yang dianggap bagus jika tidak dapat mencapai tujuan dengan bagus, berarti model tersebut dapat dinyatakan buruk. Model yang selama ini dianggap buruk namun dapat mengantarkan ke hasil belajar yang bagus tentu model tersebut dianggap bagus untuk pencapaian tujuan tersebut.
Pembebasan dari Kungkungan Sebuah Model Pembelajaran
Untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal yang ditandai oleh ketercapaian kompetensi dalam diri siswa, guru perlu dibebaskan dari kungkungan sebuah model pembelajaran. Bebaskan guru dari monomodel CTL. Biarkan guru berkreasi dengan model pembelajaran yang dianggapnya lebih cocok dan tepat dalam pembelajaran sesuai dengan kondisi masing-masing. Berilah kemerdekaan guru dalam memilih model pembelajaran. Jika guru dikungkung dengan CTL, pengalaman lama akan muncul kembali. Pengalaman tersebut adalah penawaran CBSA secara gencar namun pada akhirnya CBSA diartikan buruk sebagai Catat Buku Sampai Abis.
Fontana (2011) menyatakan bahwa budaya inovasi ditentukan oleh kemerdekaan diri dalam berlaku dan bertindak. Guru masa depan ditentukan oleh kekuatan individu guru dalam memerankan diri sebagai agen perubahan sejati. Sebagai agen perubahan, dalam diri guru harus terdapat jiwa obsesional, kebebasan dan kemerdekaan, pembaharuan, dan tanggung jawab tinggi dalam menerapkan kinerja dasar sebagai pengelola pembelajaran di kelas. Dengan begitu, dia dapat merdeka dalam menentukan model pembelajaran yang akan digunakan di kelas berdasarkan tanggung jawabnya. Finlandia sebagai negara dengan predikat nomor satu dalam pendidikan pada tahun 2008 memberikan tradisi bagi guru untuk secara merdeka dan mandiri menentukan bentuk-bentuk pembelajaran asalkan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara gemilang. Bagi Finlandia, panduan sentralistik tidak diperlukan karena hanya membuang energi dan melepaskan energi kreativitas dan inaovatif yang asasi dari seorang guru.
Kenyataan yang ada saat ini, di Indonesia, pelaksanaan pendidikan di sekolah harus bersumber pada delapan standar yang telah digariskan, salah satunya adalah standar proses. Tidak perlu panduan yang sentralistik untuk mendesain pembelajaran seperti yang tetuang dalam peraturan menteri pendidikan nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses pembelajaran yang mewajibkan kegiatan inti harus bermuatan eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi. Peraturan tersebut membelenggu guru dalam mengembangkan model pembelajaran yang lainnya karena model pembelajaran yang dikembangkan harus berbasis ekslorasi, kolaborasi, dan konfirmasi.
Seolah-olah, tiga kegiatan tersebut sebagai satu-satunya jalan bagi pelaksanaan kegiatan inti dalam pembelajaran. Padahal tidak demikian kiranya dalam penerapan model pembelajaran di kelas. Banyak tipe lain yang justru lebih mampu melancarkan pembelajaran dalam mencapai tujuan dengan maksimal. Apalagi, di sisi lain, guru tidak terbiasa dengan model eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi. Guru lebih terbiasa dengan gayanya sendiri namun tetap berorientasi pada ketercapaian kompetensi.
Eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi lebih banyak menekankan agar siswa senantiasa mengekplorasi di setiap waktu padahal tidak semua KD harus ditempuh melalui jalan eksplorasi. Bisa jadi, tanpa eksplorasi siswa lebih cepat mengenal dan memahami materi pembelajaran karena siswa lebih mengutamakan kreativitasnya. Kolaborasi mengharuskan siswa untuk senantiasa berkelompok dalam memahami materi pembelajaran padahal banyak KD yang dapat ditempuh tanpa harus berkelompok. Seolah-olah, siswa harus berkolaborasi untuk menguatkan jiwa sosial. Jiwa sosial tidak harus dipaksakan dalam kegiatan inti karena pada kegiatan di luar kelas atau kesempatan lain justru menanamkan jiwa sosial yang lebih tinggi. Konfirmasi mengharuskan siswa meminta pembenaran dari teman dan gurunya. Hal itu tidak memberikan pengalaman bagi siswa dalam memupuk percaya diri. Sebaliknya, siswa terdidik untuk selalu tidak yakin karena harus menunggu konfirmasi terlebih dahulu.
Pemberian garis panduan pembelajaran dengan eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi memang bertujuan baik untuk memberikan acuan guru dalam mengajar di kelas. Namun, justru panduan itu mengikat guru agar selalu berpedoman pada eskplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi. Untuk menempuh pola eksplorais, kolaborasi, dan konfirmasi tersebut, guru lebih memaknai dengan pengharusan model CTL sebagai model yang telah dianggapnya dewa. Bukankah guru terbiasa dengan berpijak pada aturan sehingga jiwa merdekanya menipis.
Rekonstruksi Pendidikan Melalui Inovasi Model Pembelajaran
Sejalan dengan perkembangan zaman yang penuh warna teknologi, guru tidak luput dengan sentuhan teknologi juga. Guru masa depan adalah guru yang berbasis teknologi dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Teknologi yang digunakan tentunya diwarnai oleh kebaruan, kecepatan, kepraktisan, dan ketepatan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu modal dasarnya adalah kekuatan guru sebagai subjek pelaksana dan penanggung jawab keberhasilan pembelajaran sehingga diperlukan jiwa merdeka. Betapa tidak. Ke depan, jika guru tidak merdeka, dia akan mudah diombang-ambingkan informasi bertubi-tubi dari berbagai tipe teknologi. Ujung-ujungnya, karena terombang-ambing, zaman akan melahirkan guru yang bimbang, potong kompas, penuh kepalsuan, dan guru seolah-olah guru. Dengan begitu, guru harus kuat dan kokoh dalam perannyasehingga mampu berlayar di gelombang kemajuan zaman. Dasar kekuatan dan kekokohan itu tidak lain dan tidak bukan adalah jiwa merdeka.
Jalan menuju penciptaan guru merdeka sangatlah mudah, semudah membalikkan telapak tangan karena dalam diri guru sudah terdapat potensi kemerdekaan yang asasi. Guru merdeka ditandai oleh rasa tanggung jawab diri, percaya diri, keberanian diri, dan eksistensi diri dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Pemberian kepercayaan penuh kepada guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran merupakan modal utama. Jangan menaruh curiga atas ketidakmampuan guru. Jangan pula menganggap rendah kemampuan guru. Yang ada adalah anggapan bahwa guru juga manusia yang mempunyai kemampuan yang sama dengan yang lain. Sikap merendahkan kemampuan guru adalah awal hegemoni terhadap guru sehingga selamanya tidak percaya kepada kemampuan peran guru.
Untuk itu, diperlukan rekonstruksi pendidikan yang mengarah pada inovasi model pembelajaran yang berbasis merdeka bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Langkah-langkah yang perlu ditempuh sebagai berikut.
Pertama, memberikan kepercayaan penuh kepada guru untuk berinovasi secara merdeka dengan berpegang teguh pada ketercapaian tujuan pembelajaran. Artinya, garis pembelajaran tidak digelontorkan dari pusat dengan satu peraturan yang mengikat penuh melainkan pembebasan guru dalam mengelola model pembelajaran yang diperoleh, diolah, dan dikemas secara mandiri dengan tanggung jawab tinggi. Apakah guru menggunakan model ceramah, CTL, kooperatif, humanistis, kolaboratif, Scout Method, induktif, deduktif, atau apa saja tidak menjadi soal. Yang terpenting adalah guru dapat mengubah siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu, dari liar menjadi berkarakter, dan dari statis menjadi siswa visioner.
Kedua, pemerintah secara ketat menciptakan keamanan psikologis bagi guru dalam berkreasi dan berinovasi yang didasari oleh jiwa merdeka. Ruang gerak guru dalam berkreasi dan berinovasi difasilitasi tanpa harus campur tangan dari sisi penentuan model pembelajaran. Tidak ada sentralistik penggunaan model pembelajaran melainkan kemerdekaan diri dalam menentukan model pembelajaran yang dipilih.
Ketiga, menciptakan mekanisme kinerja guru yang mampu menguatkan ide baru dari guru. Pemerintah menciptakan mekanisme yang dapat menyaring ide-ide kreatif dan inovatif guru di mana pun, dari mana pun, dan kapan pun dengan penghargaan yang sepadan dengan jerih payah guru.
Keempat, membuka seluas-luasnya sumber informasi bagi guru dengan penyediaan yang cepat, tepat, dan bermanfaat. Dalam berkreasi dan berinovasi secara merdeka, guru tidak berkesulitan dalam memanfaatkan sumber pendukung bagi penentuan model pembelajaran di kelas.
Jika langkah tersebut dijalankan dengan taat asas, akan lahir guru mandiri karena didukung oleh jiwa merdeka. Bukan guru yang bangga dengan peniruan karena dipaksa untuk menyerahkan perencanaan sesuai dengan aturan yang diketatkan. Guru kreatif dan inovatif tidaklah akan cepat puas dengan salah satu tindakan yang dilakukannya. Mereka akan selau tidak puas dengan apa yang telah dijalani sebelum mendapatkan hasil yang memuaskan bagi dirinya, siswa, dan kepentingan akademis. Banyak jalan menuju Roma, begitu pula banyak jalan untuk menjadi guru yang terbaik di antara yang baik.
Pada akhirnya, kelak akan didapat guru merdeka yang berdarah daging kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan pembelajaran di kelas. Guru yang seperti itu biasanya apabila mengajar selalu (1) berpusat pada siswa; (2) lebih senang pola induktif daripada deduktif; (3) menarik dan menantang dalam menyajikan mata ajar; (4) berorientasi pada kompetensi siswa; (5) menekankan pembelajaran bukan pengajaran; (6) memvariasikan metode dan teknik pembelajaran; (7) menggunakan sentuhan manusiawi; (8) menggunakan media belajar yang menghasilkan pesan maksimal; (9) menilai secara autentik; dan (10) mengedepankan citra mengajar. (Sumber : Dr. Suyatno, M.Pd.)
sumber: sigitbudisusiono.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar