Berikut ini “daftar” keterampilan yang perlu dibekalkan kepada anak-anak, agar mereka siap menghadapi kehidupan di dunia dewasa, kelak.
1. Keterampilan memahami dan menghargai diri.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan supaya dapat mengenal siapa dirinya. Tanda-tanda faktual yang dapat dijadikan acuan antara lain: bila ditanya, ia dapat menyebutkan namanya; ia dapat menunjukkan apa yang ia mau dan apa yang ia tidak mau; ia dapat menolak sesuatu yang tidak disukai atau tidak diinginkan; ia dapat meminta sesuatu yang ia suka atau ia inginkan.
2. Keterampilan merawat diri.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan agar dapat membedakan “bersih dan kotor”. Tanda faktual yang dapat dijadikan acuan antara lain: ia dapat berusaha membersihkan diri sendiri; ia dapat membuka dan mengenakan pakaian secara mandiri; ia mengerti keberadaan dan fungsi alarm tubuhnya (contoh: dapat memberitahu — secara verbal-lisan maupun secara non-verbal — kepada orang lain yang ada di dekatnya, bahwa ia lapar atau haus, ingin buang air kecil ataupun besar, kegerahan, kelelahan, kesakitan atau disakiti, dll).
3. Keterampilan menyelamatkan diri.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan memahami hal-hal yang dapat membahayakan diri. Tanda-tanda faktual yang dapat dijadikan acuan antara lain: ia dapat membedakan panas sehingga ia dapat menjaga diri untuk menghindari benda-benda yang panas (termasuk api); ia dapat menahan diri untuk tidak asal lompat dari tempat tinggi karena ada rasa takut terluka; ia dapat berusaha pegangan ketika naik-turun tangga; ia dapat memerhatikan jalan ketika sedang berjalan, agar tidak menabrak atau tersandung; ia dapat menjaga keseimbangan tubuh.
4. Keterampilan membuat keputusan dan menyelesaikan masalah.
Untuk itu, sejak dini anak-anak perlu dibiasakan memilih dan menghadapi konsekuensi atas pilihan yang dibuatnya. Itu sebabnya anak-anak perlu dibekali keterampilan berdagang. Jadi, orangtua sangat perlu membangun pola komunikasi yg mendukung. Kalau anak belum mahir berkomunikasi (atau bahkan ia mungkin belum lancar berbicara), bantulah dengan membuat simbol-simbol audio (suara), visual, atau gerakan, yang dimengerti oleh anak. Tujuannya, agar hal-hal yang dirasakan atau dipikirkannya tetap dapat dipahami oleh orangtua, walau bahasa verbalnya masih belum memadai.
5. Keterampilan menghadapi perubahan.
Hal ini penting, tapi bukan sesuatu yg besar. Untuk anak-anak dengan sifat dasar yang cenderung pasif dan sensitif, perubahan akan membuatnya limbung dalam waktu yang lebih lama dibanding anak-anak dengan kecenderungan sifat dasar yang berbeda. Jadi, walau ia tetap perlu belajar menghadapi situasi perubahan, berikan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan diri. jadi, hindarilah pola-pola perlakuan yang memaksa agar anak dapat segera tune-in dalam situasi baru atau asing.
6. Keterampilan sosial.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan berinteraksi dan menjalin relasi dengan orang lain. Minimal ia dapat membiasakan diri dalam situasi relasi yang formal-normatif, walau polanya tetap pasif. Artinya, ia siap menghadapi situasi itu dan tidak berusaha menghindar, tapi ia boleh pasif menunggu orang lain memulai interaksi. Untuk alasan ini juga, keterampilan berdagang menjadi penting dikuasai tiap anak.
7. Keterampilan belajar.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan berada dalam kondisi siap belajar. Jadi, orangtua perlu berupaya agar setiap minggu ia dapat menunjukkan hal baru yang ia miliki atau kuasai. Orangtua dapat membuat catatan, apa aja perilaku yang tergolong baru, dalam seminggu. “Baru” itu termasuk sesuatu yang telah ada tapi kemunculannya belum stabil, lalu dalam seminggu itu jadi mulai stabil. Selain mengamati apa yang dipelajari, pastikan juga ia mendapat kesempatan menghadapi hal baru terus, setiap minggunya.
8. Keterampilan memanfaatkan pengetahuan.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan memiliki kesempatan memanfaatkan apa yang ia ketahui atau ia kuasai. Namun, perlu diperhatikan bahwa caranya bukan berupa perintah, ujian/ tes, atau pertunjukkan di hadapan publik. Alasannya, tidak semua anak menikmati perlakuan yang bersifat unjukdiri seperti itu. Jadi, orangtua juga perlu hati-hati mencermati sifat dasar tiap-tiap anak. Cara yang sebaiknya atau dapat dilakukan orangtua adalah mencoba mengemas pengetahuan atau keterampilan yang dikuasainya ke dalam aktivitas hidup keseharian. Misal: keterampilan melempar bola bisa kita periksa dengan cara membiasakan ia melakukan gerakan itu, di rumah. Jadi, kita biasakan ia membuang sampah kering ke keranjang sampah dengan cara melempar dari jarak tertentu. [catatan: dalam cara ini ada efek samping yang perlu diperhatikan, yaitu: kita juga perlu membiasakan anak untuk melakukan pengulangan, bila sampah kering yang dilempar tidak tepat sasaran. Jadi, biasakan ia mengambil dan meletakkan sampah yang tidak tepat sasaran itu, ke tempat seharusnya tanpa dilempar. Tujuannya, supaya kebiasaan buang sampah di tempatnya dapat tetap terjaga.
9. Keterampilan bekerja.
Untuk itu, anak-anak perlu dibiasakan memiliki pemahaman yang sehat tentang konsep bekerja, yaitu: berupaya mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri, bukan hasil meminta apalagi mencuri. Selain itu, orangtua juga perlu menunjukkan jenis-jenis pekerjaan yang biasa dilakukan orang. Misalnya dengan mengajaknya melihat pelaku beragam profesi dan menceritakan apa yang dilakukan si pelaku berkait profesi yang ditekuninya. Bila memungkinkan, anak boleh diajak mengalami apa yang dilakukan, agar ia memiliki wawasan tentang sensasi melakukan profesi tersebut. Harapannya, dari pengetahuan anak tentang beragam profesi itu, anak akan dapat membangun fantasi tentang profesi yang akan dilakukan kelak. Dari situ, orangtua juga dapat membantu anak merancang strategi pencapaian cita-cita.
Di sini tidak dicantumkan kapan rata-rata anak sewajarnya sudah punya keterampilan tertentu. Selain karena urusan tumbuh-kembang anak dipengaruhi oleh keunikan individual sehingga sangat sulit buat dibikin reratanya, keterampilan-keterampilan itu juga bukanlah sesuatu yang sifatnya bertahap. Jadi, urutannya bisa terbalik-balik dan tidak beraturan seperti urutan dalam tulisan ini. Beberapa keterampilan juga bisa berlangsung simultan (muncul bareng dalam kurun waktu yang sama). Terakhir, karena yang kita bicarakan adalah manusia, maka kita sebaiknya tidak mebandingkan anak satu dengan anak lain, tapi… kita bandingin anak kita saat ini dengan anak kita pada waktu sebelumnya.
Untuk itu, yang perlu diperhatikan adalah kepekaan kita dalam mengamati kesiapan anak. Prinsipnya, kalau anak sudah siap, maka ia akan menampilkan tanda-tanda kesiapan itu. Biasanya, kesiapan akan dimulai dari minat. Jadi, kalau anak mulai menunjukkan minat pada hal-hal yang berkaitan dengan “daftar” itu, berarti kita tahu itu tanda awal kesiapannya belajar menguasai keterampilan itu. Dari minat, biasanya anak juga akan mulai menampilkan tindakan yang berkaitan dengan hal itu, bisa dalam rupa pertanyaan, bisa dalam rupa coba-coba, bisa dalam rupa perilaku mengamati yang intens.
Kita juga bisa memeriksa kesiapan anak dengan memberikannya stimulasi sebagai cicipan. Apakah ia berminat, kita bisa cermati respon yang dia tunjukkan. Kalau oke, cermati apakah ia punya kemampuan untuk melakukan apa yang kita harapkan. Kalau belum mampu, stop dulu. Lain waktu dicoba lagi. Catatan: Di sini, kita juga perlu memahami sifat dasar si anak. Hal ini sulit tapi penting. Kadang kita salah memaknai perilaku anak sebagai “petunjuk belum mampu” sehingga kita stop dulu, padahal itu sebetulnya petunjuk bahwa daya juang si anak tergolong lemah, atau dia punya kecenderungan malas, minimalis atau lainnya, jadi terlihat seolah-olah petunjuk bahwa ia belum mampu.
*by Toge Aprilianto, psikolog pendidikan
[kusunting secukupnya, yang mana perlu, tidak mengubah esensi tulisan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar