Oleh: Abu Khaulah Zainal Abidin
Pendidikan itu bukan sekolah, bukan pondok pesantren, bukan pula perguruan tinggi, apa lagi lembaga-lembaga kursus! Melembaganya pendidikan ke dalam bentuk-bentuk di atas di satu sisi memang tampak memudahkan, karena menimbulkan kepercayaan masyarakat bahwa ada pihak-pihak atau tempat-tempat tertentu yang diharapkan bisa mendidik (baca: mengajar) masyarakat di usia-usia belajar mereka, termasuk bisa juga disalahkan manakala timbul permasalahan di usia-usia belajar mereka. Dari sisi ini tampak sekali, bahwa “pendidikan sebagai produk masyarakat” lebih dominan ketimbang “masyarakat sebagai produk pendidikan”. Masyarakat telah lebih dahulu mendifinisikan, bahwa: Pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang mendidik (-nyatanya hanya mengajar-) di usia-usia belajar mereka, 6-3-3-6 th dst. Masyarakat telah lebih dahulu mendisain masa depannya dan meciptakan sistim pendidikannya untuk itu. Tepatnya, bisa dikatakan, bahwa pendidikan adalah cermin sistem sosial, di mana ia diselenggarakan di dalam sekaligus demi cita-cita sistem tersebut.
Padahal pendidikan adalah sebuah proses mengambil, menyerap, dan mengamalkan ilmu. Cakupannya meliputi ketrampilan, penghayatan, dan penalaran. Dan karena kebutuhan manusia akan ilmu itu tidak terbatas, bahkan sebanyak tarikan nafasnya -kata Imam Ahmad-, maka tentu saja waktu dan tempat pendidikan pun tak terbatas. Dan karenanya proses tersebut tidak bisa semata menjadi tanggung jawab sekolah. Rumah tangga, tempat rekreasi, kantor, pabrik, bahkan pasar semua adalah lembaga pendidikan.
Tentu saja keluarga atau rumah tangga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama. Dari sanalah segalanya bermula. Oleh karenanya para orang tua harus bisa meletakkan landasan dari mana kelak anak-anaknya menatap dunia dan memasuki masa-masa pendidikan yang tiada ujungnya. Apa itu pendidikan bagi mereka, apa artinya bagi kehidupan, serta bagaimana mereka menyikapi dan menjalaninya, semua bermula di sini.
Pertama: Orang tua harus berupaya agar anak menyadari keutamaan ilmu, pendidikan, dan perlunya belajar, serta dapat menghargai segala aspek yang bekaitan dengan ketiganya tadi.
Rasa hormat dan penghargaan kepada ilmu akan memberikan dampak yang sangat luas di dalam kehidupan anak tersebut kelak. Dia akan bersungguh-sungguh belajar, dia akan terlatih mengakui dan menghormati orang-orang yang lebih pandai dari padanya. Dia tidak akan rela mengorbankan ilmunya demi kepentingan yang akan merusak kecintaan dan penghargaannya terhadap ilmu, dalam keadaan apapun. Mudahnya seseorang menyelewengkan pengetahuannya, antara lain disebabkan sikap moral yang tidak menghargai ilmu. Berbohong atau menghalalkan kebohongan demi mencapai maksud, antara lain juga bermula dari perkara ini.
Kedua: Orang tua harus berupaya agar anak mampu menyadari dan mengembangkan kemampuan Keterampilan, Penghayatan dan Penalaran-nya sesuai dengan tingkat perkembangan umurnya.
Keterampilan berkaitan dengan kemampuan motorik dan teratasinya hambatan-hambatan motorik di mana seorang anak mampu mengontrol secara sempurna gerakan anggota tubuhnya. Hambatan-hambatan motorik dapat menjadi sebab timbulnya rasa kurang percaya diri pada anak Penghayatan berkaitan dengan perasaan senang, cinta, benci, takut, marah, dan kasihan. Penghayatan juga berkaitan dengan citarasa, selera, dan rasa keindahan. Melalui inilah tumbuh sikap, jujur, berani, bertanggungjawab, santun, sabar, simpati, serta ingin menolong dan ingin berbagi. Tumbuhnya sikap berpihak dan anti terhadap sesuatu atau seseorang juga datang dari sisi ini. Dan anak memerlukan bimbingan dan pengarahan agar dapat dengan tepat mengekspresikan perasaannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Penalaran berkaitan dengan kemampuan berpikir secara logis dan konsisten serta memahami sebab akibat Ketiga kemampuan ini (Keterampilan, Penghayatan, dan Penalaran) harus berkembang secara proposional sesuai dengan bertambahnya umur. Jika tidak, maka akan tumbuh pribadi yang tidak seimbang. Sebagai contoh; anak yang kelewat berani tanpa pertimbangan, anak yang kelewat penakut, atau anak yang kurang percaya diri, misalnya. Tahukah anda, bahwa sifat licik itu merupakan kombinasi cerdas dengan malas.
Ketiga : Orang Tua harus berupaya agar anak mampu melaksanakan perintah ALLAH dan menjadikan hal itu sebagai jalan untuk memahami Kehendak dan Ketentuan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.
Dan kemampuan melaksanakan perintah ALLAH ini dicapai melalui latihan dan pembiasaan. Kebiasaanlah yang kemudian akan membentuk pola berpikir, sehingga anak tahu untuk apa ALLAH menciptakannya, apa manfa’at dari perintah-larangan ALLAH bagi dirinya, serta apa yang harus didahulukan dan dibelakangkan di dalam menjalani kehidupan ini. Pendidikan ini berlangsung mengikuti ritme dan aktifitas kehidupannya sehari-hari. Wudlu, sholat, berdo’a, belajar membaca dan menghafal Al Qur’an, mendengarkan Hadits-Hadits, serta terbiasa mengenal perintah dan larangan atau perkara halal-haram yang disampaikan secara tepat dan proporsionil sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak.
sumber: rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar