Oleh: Fachmy Casofa
“Don’t take on any more bad jobs. I have done enough bullshit lately. I just have to make time for something better. Something good.”
—Stefan Sagmeister
Ada pesan khusus yang ingin disampaikan. Mengoyak ruang kesadaran paling mendasar, kemudian emosionalnya terpengaruhi sedemikian rupa, sehingga kepentingan pemberi pesan tersampaikan tanpa pernah dirasa ia telah habis-habisan memengaruhi. Itulah propaganda.
Ada tujuh jenis teknik yang dapat digunakan untuk menyamarkan tujuan sejati sebuah propaganda menurut Institute of Propaganda Analysis. Ketujuh teknik tersebut masyhur dengan sebutan seven common propaganda devices. Apa sajakah?
Pertama, name-calling. Yaitu pemberian julukan yang dilakukan untuk mengasosiasikan seseorang atau gagasan dengan suatu simbol tertentu yang dalam lingkungan tertentu selalu identik dengan konotasi negatif. Penyebutan teroris, anti-kedamaian, anti-pancasila, adalah contohnya.
Kedua, glittering generalities. Hampir mirip dengan yang pertama, akan tetapi ini lebih bersifat pujian, polesan, perindahan, dan menciptakan kegemerlapan yang menyilaukan pandang. Itu semua adalah halusinasi agar kita terbengong-bengong sekaligus percaya.
Ketiga, transfer. Yaitu meminjam dan memindahkan nilai-nilai kebajikan tertentu untuk ditempelkan dengan hal lain. Contohnya adalah simbol keagamaan yang kemudian dipindahkan ke sebuah logo partai politik. Otomatis, para pelihat logo partai akan merasakan aura kebajikan yang dipancarkan dan tersugesti bahwa ‘ini adalah partai baik-baik’. Tapi ya belum tentu baik beneran.
Keempat, testimonial. Teknik ini lebih banyak memanfaatkan reputasi atau peran seseorang. Pernyataan tokoh yang disegani, dihormati, dicintai, diagung-agungkan, akan ditampilkan secara langsung untuk menarik perhatian. Saya teringat, beberapa hari lalu saya menyaksikan film apik Exit Through the Gift Shop: A Banksy Film. MBA atau Mister Brain Wash, saat akan membuka artshow pertamanya, ia meminta testimoni dari Banksy—dewa grafiti stencil saat itu—untuk menarik perhatian para pengunjung. Tak lupa, Shepard Fairey, pembuat poster kampanye Obama—pernah saya bahas di Creative Writing #4: Messagology—yang sering bergraffiti dengan kalimat ‘Obey’ itu, juga dimintai kontribusinya untuk mengiklankan di website resmi pribadinya. Dan yang terjadi kemudian adalah, ribuan orang berjubelan masuk untuk melihat karya-karya Mister Brain Wash. Propaganda testimoni berhasil dengan sukses.
Kelima, plain folks. Teknik ini berusaha menampilkan figur seorang pemimpin sebagai orang biasa. Dengan begitu, seakan terjadi penyatuan: dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam kampanye partai politik biasa menggunakan teknik ini: calegnya pakai caping, memegang padi, tersenyum, di sekelilingnya para petani ikut tersenyum dan ‘pura-pura’ makmur, padahal padinya hanya dipegang saja sama calegnya. Dan rakyat pun memilihnya –untuk kemudian kecewa lagi dengan kinerjanya.
Keenam, card-stacking. Adalah teknik pengelabuan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau organisasi. Caranya adalah dengan mengangkat dan menekankan isu yang lebih menguntungkan, atau mengaburkan isu yang dianggap merugikan dengan isu baru. Satu isu yang merugikan ditumpuk isu yang menguntungkan: yang buruk akan terlupakan dengan cepat. Satu isu yang samar segera dibumbu-bumbui: yang membuat orang-orang ragu-ragu dan bertanya-tanya akan segera tersadarkan. Tapi semua itu adalah manipulasi. Kebohongan yang bertubi-tubi untuk mengelabui.
Ketujuh, bandwagon. Adalah teknik ‘rombongan’, yaitu untuk memengaruhi orang-orang agar mau mengerjakan atau bergabung sebagaimana yang dilakukan seperti kebanyakan orang. Teknik manipulasi secara massal seperti ini akan menarik banyak orang, karena tidak ingin ketinggalan jaman, ataupun terkucilkan.
Hitler, secara lihai menghadirkan propaganda secara lengkap dan detil untuk memengaruhi. Ia menggagaskan adanya keharusan sebuah simbol bagi perjuangan partai Nazi. Fungsinya sebagai perwakilan simbol perjuangan, kebangkitan semangat, kepercayaan diri, dan penggalangan kekuatan massa secara massal. Dalam Mein Kampf-nya pun dinyatakan seperti itu, bahwa tidak akan diperoleh banyak pengikut melalui sekadar penjelasan dan instruksi, akan tetapi ada dua hal pokok yang dapat menggerakkan massa: kesetiaan emosional dan histeria. Jadilah perangkat-perangkat propaganda diluncurkan. Logo swastika akhirnya dipilih karena legendanya dan keberadaanya yang familiar selama ribuan tahun. Logo itu selalu mewakili ‘kebesaran’ dalam peradaban kuno. Tapi Hitler memodifikasinya, swastika ia balik ke arah kanan. Untuk warna dalam bendera pun ia tak main-main. Merah adalah sosialisme, putih nasionalistis, dan hitam pada logo swastika adalah kemenangan dan kemurnian. “Keserasian warna paling brilian yang pernah ada,” pujinya pada pemilihan warna itu.
Tak cukup sampai di situ, Kementerian Propaganda diadakan. Segala poster, surat kabar, karya cetak dan seni, semua diberdayakan sebagai senjata propaganda. Media massa bahkan mengalami naasnya: setiap pagi, pemimpin redaksi harus menghadiri rapat untuk ditanya berita apa yang akan disajikan. Film pun juga dibuat. Triumph of Will yang disutradarai Berta Helene Amalie Riefenstahl bahkan diganjar sebagai salah satu film untuk kepentingan propaganda terbaik.
***
Setiap penulis, selalu menghadirkan pesan dalam tulisannya. Kadang yang langsung nampak, terkadang butuh beberapa waktu untuk memahami bahwa ada pesan hebat di dalamnya. Semuanya bisa disampaikan dengan teknik yang berbeda-beda terserah kepada penulisnya. Karena di posisi ini, sang penulis adalah penyebar propaganda dan pembacanya adalah massa. Dan setiap penyebar propaganda, selalu berusaha untuk memengaruhi massa. Tentu saja, ini terlepas dari baik dan buruknya pesan yang ingin ia sampaikan. Akan tetapi, bayangkan bila penyebar propaganda kebaikan memiliki teknik paling apik dalam propaganda. Tentu kemudian banyak massa yang akan membawa aksi-aksi brilian perubahan untuk dunia.
sumber: creativewrithink.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar