Generasi yang pernah hidup semasa dengan Rasulullah, ketika Rasulullah belum diutus, adalah orang-orang yang betul-betul sangat menjaga kredibilitas dan validitas suatu fakta, karena di mata mereka, kejujuran adalah pangkal kemuliaan. Mereka begitu jujur karena kemuliaan adalah segalanya. Biarpun mereka adalah musyrik, tapi pantang bagi mereka untuk berdusta. Sehingga, ketika Rasulullah diutus, tradisi mereka ini pun masih terbawa. Mereka selalu mengabarkan segala perihal tentang Rasulullah terkait syariat Islam kepada yang lain, atas dasar kejujuran yang telah menjadi karakter dasar pribadi mereka.
Seperti dituturkan oleh Anas bin Malik, ”Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah, kami mendengarnya langsung dari beliau, akan tetapi, para shahabat kami memberitakannya kepada kami, dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.” Dan oleh Al-Bara` bin ’Azib, ”Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah (secara langsung), karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadits menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 2/1210-1211]
Namun, sejak pecahnya fitnah kubra, dimana khalifah ’Umar bin Al-Khaththab dan khalifah ’Utsman bin ’Affan menjadi korban pembunuhan berencana, terjadi proliferasi sekte-sekte sesat dan menyimpang, yang menjadi sumber utama bertebarannya hadits-hadits dusta dan palsu atas nama Rasulullah, yang digunakan sebagai legitimasi masing-masing sekte. Dusta atas nama Rasulullah semakin berkembang pada 41 H, pada masa generasi tabi’in. Dan lebih dahsyat lagi pada masa tabi’ut tabi’in. Sebab musababnya mulai fanatisme madzhab, pendeskreditan Islam, diskriminasi etnis dan rasialisme, ekspektasi hampa, hingga tendensi duniawi.
Para pembesar shahabat yang menyadari kerusakan dan ancaman keruntuhan Islam di masa mendatang akibat dusta atas nama Islam ini, kemudian lebih concern lagi dalam menjaga keotentikan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan menggunakan sistem kritik sanad atau isnad sekaligus kritik matan. Sanad adalah sistem transmisi hadits berupa mata rantai mulai dari shahabat yang membawa hadits langsung dari Rasulullah, kemudian hadits ditransmisikan kepada orang lain, baik satu generasi maupun generasi setelahnya, hingga kodifikator hadits.
Menurut penelitian Prof. Dr. Muhammad Musthafa Al-A’zhami, M.A, Ph.D, peraih nobel Studi Keislaman dari Raja Faishal pada 1980, periwayatan khabar dengan sistem sanad ternyata sudah menjadi tradisi sebelum Islam datang, yaitu yang digunakan dalam kodifikasi Mishna, kitab induk Yahudi, dan juga dalam penukilan syair-syair kaum Jahiliyyah. Akan tetapi sistem sanad pada masa itu digunakan asal-asalan, tidak begitu diperhatikan secara serius.
Pada masa generasi tabi’in lah, sistem sanad benar-benar matang, sebagai langkah preventif sekaligus proteksi terhadap hadits-hadits Nabi dari khabar-khabar dusta. Pada perkembangan selanjutnya sistem sanad diterapkan pula pada periwayatan atsar yaitu khabar dari generasi salaf (shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in). Dan tradisi sistem sanad ini kemudian secara simultan menjadi tradisi intelektual Islam. Para ulama Islam sepeninggal generasi salaf sudah terbiasa dengan tradisi ini, sehingga, dalam meriwayatkan maupun mengkodifikasi khabar dari para salaf maupun dokumen sejarah peradaban Islam, mereka menggunakan sistem sanad.
Kekhususan dari Allah
Generasi salaf paham betul betapa urgennya sanad dalam penjagaan otentisitas Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dokumen sejarah Islam lainnya, dan membentenginya dari pabrikasi (buatan, tambahan) dan manipulasi. Seperti tercermin dari ungkapan ’Abdullah bin Al-Mubarak, ”Isnad adalah bagian dari Din (agama Islam). Jika tidak ada isnad, orang akan mengatakan apa saja yang dia mau.” [Shahih Muslim 1/15] Juga dari penuturan Ibnu Hazm dalam Al-Fishal 2/219, ”Penukilan seorang kredibel dari orang kredibel pula sampai kepada Nabi, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, dan tidak dimiliki oleh agama-agama lain.”
Senada dengannya adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 1/9, ”Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Muhammad. Allah menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam mentransmisikan riwayat-riwayat mereka. Demikian pula ahli bid’ah dan sekte sesat dari kalangan umat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah besar dari Allah, yang berpegang kepada Al-Islam dan As-Sunnah. Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang shahih (otentik) dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.”
Yang pertama kali mereka lakukan ketika mendapati perkara yang dinisbahkan kepada Islam adalah mengkritisi sanadnya baru kemudian mengkritisi matannya. Mengkritisi sanad tidak sembarangan. Para salaf memiliki standar tersendiri dalam disiplin ilmu ini. Pertama, mereka mengumpulkan daftar periwayat hadits yang hendak dikritisi sanadnya. Kemudian mereka selidiki kapabilitas, integrasi, kredibilitas, kekuatan ingatannya, validitas, dan kejujurannya.
Jika semua syarat validitas sanad telah terpenuhi, maka hadits akan diterima selama matannya juga shahih. Tapi jika tidak memenuhi, maka khabar tersebut akan ditolak, dan divonis sebagai hadits dha’if ataupun maudhu’. Jadi sanad adalah penentu utama otentisitas hadits. Sebagaimana ditandaskan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ”Jangan kalian (lebih) memperhatikan (matan) hadits, namun (lebih pusatkanlah) perhatian pada sanadnya. Jika sanadnya shahih, maka amalkanlah (karena sudah pasti shahih pula matannya). Tapi jika tidak, jangan Anda tertipu dengan hadits yang sanadnya tidak shahih.” [Siyar A’lam An-Nubala` 9/188]
Kita lihat keteladanan para salaf terkait sikap tegas mereka dalam hal kritik sanad dan periwayatan, sampaipun pada khabar bukan hadits Nabi. Suatu hari, ‘Ufair bin Ma’dan Al-Kila’i berkata, ”Datang kepada kami ’Umar bin Musa di kota Himsh, lalu kami berkumpul kepadanya di masjid, maka ia berkata, ”Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yang shalih…” Ketika ia telah banyak berkata demikian dan demikian, aku berkata kepadanya, ”Siapakah syaikh kami yang shalih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya.” Ia menjawab, ”Khalid bin Ma’dan” Aku bertanya, ”Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Tahun 108 H.” Aku berkata, ”Di mana engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Di perang Armenia.” Aku berkata kepadanya, ”Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104 H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108 H, dan aku tambahkan lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang melawan Romawi.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 1/119]
Bagaimana dengan Agama Lain?
Di atas adalah satu contoh kecil yang membuktikan betapa tegas dan ketatnya para salaf dalam mentransmisikan khabar apapun. Sekarang coba kita bandingkan dengan kitab-kitab suci agama lain. Ambil contoh Bible. Apakah diketahui siapa yang mentransmisikan Bible itu dari Yesus secara langsung? Apakah diketahui siapa sajakah yang mentransmisikan Bible itu hingga sampai ke tangan penginjil kini? Dan terakhir, apa ada jaminan, bahwa Bible yang ada sekarang adalah Bible yang pertama kali ada dari Yesus? Dijamin, para penginjil tidak akan bisa menjawab tantangan ini.
Sungguh sistem periwayatan dengan kritik sanad adalah satu tradisi intelektual yang tiada bandingnya di dunia, dari dulu sampai sekarang. Kita tidak akan menemukan sistem yang menyamainya sampai kapanpun, sebagaimana dikatakan oleh ’Abdullah bin Thahir, gubernur Khurasan pada masa imperium ’Abbasiyyah, ”Meriwayatkan hadits tanpa disertai isnad termasuk perbuatan orang yang berpenyakit. Sungguh, isnad hadits merupakan karamah (kemuliaan) dari Allah untuk umat Muhammad.” [Tarikh An-Naisaburi]
Ironisnya, para muslim radikal, liberal, dan sekuler memandang remeh sanad itu, bahkan menganggapnya hanyalah omong kosong. Mereka terpengaruh oleh para orientalis, salah satunya Joseph Schacht, yang pertama kalimelontarkan tuduhan bahwa sanad adalah pabrikasi (buatan) para hakim untuk melegitimasi pendapat mereka, yang dikenal dengan teori projecting back. Juga terpengaruh oleh Alois Sprenger, missionaris asal Jerman, yang pertama kali menggulirkan wacana bahwa hadits hanyalah anekdot.
Tidakkah orang-orang yang mengesampingkan sanad itu sadar bahwa misi para orientasli dan missionaris adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan agar Islam lenyap dari muka bumi dan ingatan umat Islam? Ingatlah, bahwa awalnya mereka menebarkan keragu-raguan akan eksistensi dan kredibilitas sanad hadits, kemudian matan hadits, kemudian sosok Rasulullah Muhammad, dan yang terakhir menanamkan bahwa Islam adalah agama buatan yang sama sekali tidak bersumber dari Allah. Sadarlah wahai orang yang berakal, ambillah pelajaran, kembalilah ikuti jejak pendahulu kalian, generasi salaf yang diridhai Allah, dan Allah meridhai mereka, dan jangan lagi mengesampingkan sanad! (Lamongan, 27 Ramadhan 1431)
sumber: brillyelrasheed561.wordpress.com
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Majalah Ar-Risalah, milik Yayasan Ar-Risalah, Solo, Jawa Tengah
jazakumullah khairan kepada admin blog ini yang telah mengunggah ulang tulisan kami semoga bermanfaat, kami sangat senang karena insya Allah akan menjadi jariyah kita bersama
BalasHapuswaiyyakum. terimakasih atas dukungan dan kunjungannya.
Hapus