Educotton: Mainan Edukasi dari Buku Jahitan Katun

Kebutuhan anak untuk belajar menjadi potensi pasar bagi Evy Nur Shakuntala (30). Celah bisnis inilah yang kemudian diwujudkan Evy dengan menawarkan beragam buku dari bahan katun yang disebutnya educottonbermerk Alea.

“Anak bisa belajar warna, tekstur, fokus mata, termasuk belajar membaca buku dari kain katun ini,” jelas Evy kepadaKompas Female, di SMEsCo UKM Festival 2010, Sabtu (17/7/2010) lalu.

Produk mainan edukasi berupa buku berbahan katun buatan Evy bukan yang pertama hadir di pasar. Ide menjalankan bisnis muncul karena perempuan asal Yogyakarta ini pernah mendapatkan mainan serupa saat usia TK.

Evy bercerita, buku dari katun berisi ragam gambar dengan penamaan berbahasa Inggris pertamakali didapatinya sebagai oleh-oleh dari Singapura. Pengalaman inilah yang menjadi inspirasi Evy memulai bisnisnya sejak satu tahun lalu.

Meski tak mau mengklaim produknya yang pertama di pasar Indonesia, Evy mengaku buku bergambar dari katun ini belum banyak di pasar lokal. Ide awalnya lahir dari keinginan memanfaatkan sisa bahan jahitan pakaian. Maklum, Evy memang sudah lebih dahulu berbisnis konveksi sejak 2007.

“Awalnya ingin memanfaatkan sisa jahitan konveksi menjadi barang yang berguna dan bernilai jual. Akhirnya terpikir membuat buku dari katun dengan menjahit semua konten bukunya, seperti angka, huruf, gambar,” jelas lulusan sarjana komunikasi yang gemar berwirausaha sejak masih kuliah ini.

Ide memanfaatkan sisa potongan produk konveksi, kemudian melahirkan bisnis buku bergambar dengan jahitan bahan katun bermodalkan Rp 20 juta. Bisnis ini mengantarkan Evy mengikuti berbagai ajang pameran kerajinan dan UKM di Jakarta. Produksi buku terus bertambah, rata-rata 100 buku setiap bulannya. Belum lagi mainan edukasi seperti perkalian atau penambahan, atau kalender sepanjang masa, juga gambar hewan yang semuanya dibuat dari jahitan dan kain katun.

“Rata-rata produksi setiap bulan 100 untuk buku, 100 untuk mainan edukasi lain. Kebanyakan dikerjakan dengan manual, seperti membentuk huruf atau membuat pola. Karenanya satu buku bisa dibuatkan oleh empat orang dalam waktu dua hari,” Evy menjelaskan proses produksi yang 20 persennya menyisakan produk gagal tak layak jual. Ia mendambakan alat potong pola atau huruf yang bisa membantunya meningkatkan kapasitas produksi.

Ide kreatif dan kerja keras Evy bersama dua tenaga marketing, tiga pekerja tetap, dan beberapa pekerja borongan, diklaimnya bisa membantu proses belajar anak.

Misalnya saja, buku bergambar buah yang dijahit dari katun bisa membantu anak usia satu tahun untuk mengenal bentuk dan warna. Anak usia 2 – 3 tahun bisa melatih motorik tangan dengan buku edukasi yang disebut Dress Up.

“Buku edukasi Dress Up berupa gambar perempuan dengan rambut tergerai, dan bisa dikepang oleh anak. Semuanya menggunakan bahan katun dan dijahit dalam buku berbahan katun,” jelas Evy.

Evy memang menyasar kebutuhan edukasi anak. Karenanya ia menawarkan produknya melalui lebih dari 10 sekolah di Yogyakarta.

Retailer dengan sistem bayar tunai

Evy membangun kemitraan untuk menjalankan bisnis buku dan mainan edukasi dari katun. Kesempatan menjadi distributor dibukanya lebar, agar pasar semakin mengenal produk kreasinya.

Hanya, Evy menegaskan, sistem pembayaran yang diterima hanya bayar tunai. Dengan pembelian dalam jumlah tertentu, Evy bahkan berani memberikan diskon mulai 20 persen. Sistem paket juga disediakan untuk distributor, seperti pembelian 10 buku senilai Rp 600.000, atau paket kartu kata senilai Rp 125.000.

Sistem bayar tunai bagi distributor dipilih Evy karena pertimbangan produksi. Tak mudah memproduksi buku dari jahitan katun yang selalu berinovasi dengan produk baru setiap tiga bulan.

“Sistem beli putus atau membayar tunai akan lebih memudahkan,” katanya, menambahkan retailer harus membeli minimal enam item.

Evy juga menekankan pentingnya kesepakatan awal saat membangun kemitraan, terkait penentuan harga. Jika membeli produk dalam jumlah besar secara tunai untuk dijual kembali, Evy membebaskan retailer untuk menetapkan harga pasar. Namun kebebasan penetapan harga ini tak berlaku bagi mitra yang menggunakan sistem pemesanan.

“Perlu ada kesepakatan antara saya dengan retailer tentang penetapan harga pasar, sesuai dengan cara pembelian dan pembayaran mereka. Tempo waktu pembayaran juga perlu diperjelas. Harapannya satu minggu, jika menggunakan sistem pemesanan. Lebih baik lagi jika membayar tunai,” kata Evy.

Evy menjelaskan skema pembayaran perlu dipertegas agar perputaran bisnis berjalan lancar dan tak terkendala urusan pembayaran. Biaya produksi yang tinggi menjadi alasan utama Evy menerapkan sistem ini. Evy juga tidak menggunakan sistem konsinyiasi, yang menurutnya menghambat produksi untuk skala bisnis yang masih berkembang seperti miliknya.

Untuk pembelian satuan, Evy siap melayani permintaan dengan mengirimkan e-mail sebagai tanda pemesanan. Baginya, mengenalkan produk lebih luas lagi menjadi sasarannya kini. Apalagi Evy meyakini, produk kreasinya tak sekadar mendidik bagi anak namun juga solusi bagi orangtua dalam memberikan mainan edukasi yang aman untuk segala usia.

Produk unik dengan nilai tambah tentu akan menggaet pasar lebih besar, bukan? Bagaimana dengan kreasi Anda?



sumber: liputanusaha.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar