Syndrom itu Bernama UN

Oleh : Hilmi Ahmad Fauzi

Pengantar

UN yang merupakan kepanjangan dari Ujian Nasional telah menjadi sebuah kata yang bagi para murid SD, SMP, dan SMA mungkin menakutkan. Momok UN yang sebentar lagi segera akan dilaksanakan pada bulan April membuat mereka was-was, jantung berdegup kencang bahkan sampai mengakibatkan stress dan depresi, lebih parahnya lagi sampai ada sebagian kasus yang mereka gagal (tidak lulus UN) melakukan bunuh diri. Kasus seperti itu terus berulang setiap kali UN dilaksanakan. Tidak hanya murid yang merasakan kegelisahan seperti itu akan tetapi orang tua, guru-guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan setempat dan pihak-pihak terkait.

Para orang tua yang tidak ingin anak-anaknya gagal (tidak lulus) dalam UN terus melakukan berbagai cara agar anaknya bisa berhasil dalam UN, mulai dari cara yang halal sampai menghalalkan segala cara misalnya dengan memasukan anak untuk ikut bimbingan belajar, melarang anak bermain bahkan sampai cara yang tidak halal seperti membeli soal atau kunci jawaban yang tentunya dengan mengeluarkan kocek yang tidak sedikit, semua itu hanya demi sang anak lulus.

Guru pun tidak kalah repotnya dengan adanya UN ini, kesibukan guru ini dimulai pada saat liburan semester ganjil telah berakhir, tidak ada lagi tawa dan canda mereka. Guru-guru ini disibukkan dengan persiapan menjelang UN, mulai dengan mengadakan pengayaan kepada murid-muridnya sampai dengan cara yang bisa dibilang menghilangkan wibawa seorang guru yaitu dengan memberikan jawaban ketika UN berlangsung.

Murid-murid pun tidak mau ketinggalan dalam kesibukan ini, mereka bekerja (belajar) dengan keras karena hanya itu yang mereka bisa, selain itu usaha lain pun mereka laksanakan mulai dengan curhat dengan para guru demi melepaskan stress dan dengan harapan guru tersebut memperhatikan mereka dan akhirnya bisa membantu mereka untuk lulus, meskipun murid-murid sadar bahwa usaha itu tidak akan berhasil dengan sempurna. Kemudian menilik dari sebagian kasus-kasus yang muncul di atas, timbul sebuah pertanyaan, Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah benar UN itu menjadi sebuah standar yang cocok untuk mengurkur kemampuan (kompetensi) dari murid-murid yang menimba ilmu di Negeri tercinta ini?

Analisis

UN muncul di negera ini sekitar tahun 1990-an yang dahulu disebut dengan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) dan baru pada tahun 2002 muncul istilah UN, dan pada tahun 2009 Mendiknas menerbitkan peraturan No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan SMP/SMA/SMK, ditandatangani oleh Mendiknas Bambang Sudibyo per tanggal 13 Oktober 2009. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.

Merujuk pada Permen (peraturan menteri) bahwa UN dijadikan sebagai syarat kelulusan untuk program/satuan pendidikan yang ada di Indonesia, maka berbagai pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai andil dalam dunia pendidikan dilanda kepanikan, mulai dari peserta ujian sampai ke panitia pelaksana (guru-guru, sekolah, dan pihak terkait). Berbagai cara ditempuh hanya untuk si anak didik lulus, apapun caranya.

Oleh karena hal tersebut berbagai kecurangan pun muncul ketika pra UN, dan semakin menjadi pada saat UN dilaksanakan. Dan parahnya lagi kecurangan itu bersifat sistematis (sudah terencana dengan baik) dan massif. Guru memang dalam posisi terjepit, antara kepentingan murid, orangtua murid, sekolah, dan birokrasi daerah. UN ini memang telah menghasilkan banyak masalah. Kecurangan merupakan efek kecilnya. Persoalannya bukan semata kecurangan itu sendiri, tetapi kebijakan UN itu sendiri harus di evaluasi. Dan nyata-nyata UN itu tidak menimbulkan keadilan bagi siapapun, tidak ada lagi pendidikan karakter yang mengajarkan budi pekerti, kejujuran, keadilan, kesetiakawanan. Jadi bagaimana UN bisa disebut sebagai sarana untuk meningkatkan standar Nasional dinegeri ini apabila ternyata banyak mengabaikan nilai-nilai seperti di atas?

Di sisi lain para stakeholder di Negara ini yang menginginkan mutu pendidikan menjadi baik tak punya solusi (pilihan lain) selain UN tersebut. Bisa diibaratkan UN ini sebagai Buah Simalakama, dilaksanakan anak bangsa menjadi korban dan jika tak dilaksanakan dunia pendidikan kita yang kehilangan mutunya di Nasional bahkan di Internasional. Bandelnya (tak ada bilihan lain) stakeholder di Negara ini adalah dengan tidak menggubrisnya keputusan MK dan MA untuk menghapuskan UN, itu menjadi bukti bahwa para pemangku kebijakan ini telah kehilangan daya kreatifitas dan inovasinya. Mereka (stakeholder) melanggar sebuah ketetapan hokum hanya demi ego (kulitas pendidikan) dan mengabaikan hak-hak kemanusiaan yang dimiliki oleh murid-murid. Lantas apakah masih layak UN tetap dijadikan sebagai syarat kelulusan? Di mana letak keadilan untuk mereka (anak-anak bangsa) yang menimba ilmu sekian tahun?

Penutup

Kesadaran akan sebuah kekeliruan (UN) bisa berwujud pelaziman terhadap kekeliruan tersebut, jika kesadaran tersebut hanya berupa retorika (konsep) dari individu atau golongan tertentu (steak holder).(Dikutip: Artikel Abah)

Kesadaran akan sebuah kekeliruan sebenarnya adalah sebuah energi maha dahsyat yang mampu mengangkat dunia pendidikan ke jenjang yang lebih manusiawi. Seharusnya UN yang dilasanakan dapat menyinggung berbagai aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) yang telah diajarkan oleh guru-guru dan harus menghargai ragam potensi peserta didik/ sekolah, daerah, stake holder, jika hal tersebut telah dilaksanakan maka keadilanpun akan terasa dan UN tidak dijadikan sebagai syarat kelulusan semata. Apabila posisi UN sudah seperti itu semua penilaian akan bersifat objektif dan peningkatan kualitas pendidikan pun perlahan akan menunjukkan kelasnya. Kunci dari semua itu adalah kesabaran dari semua pihak untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan ini tanpa mengabaikan hak-hak kemanusiaannya.

sumber: hilmirancak.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar