Kalau saya punya kampus, saya akan menerapkan Student-Centered Learning secara total. Nah, jalannya perkuliahan akan seperti ini:
Satu, mahasiswa menentukan sendiri materi yang dia ingin pelajari, dan cara belajarnya. Sembilan puluh lima persen dia yang menentukan; dosen atau Prodi hanya memberikan uraian garis besar kurikulum plus penjabaran isi mata kuliah, setelah itu mereka hanya duduk-duduk di ruangannya menunggu permintaan mahasiswa.
Lho, kan mahasiswa tuh masih baru? Masih ijo? Belum tahu apa-apa tentang mata kuliah? Lha ya itu makanya mereka harus memBACA! Baca itu penjabaran isi mata kuliah; kalau tertarik untuk ingin tahu lebih banyak, baru datang ke seorang dosen dan minta diajar. Kalau ternyata sudah tahu, atau merasa bisa belajar sendiri lewat Internet atau perpustakaan, ya datang saja ke perpustakaan dan belajar disana.
Dua, sekelompok mahasiswa yang menyatakan sudah berniat mengikuti satu mata kuliah berunding untuk menentukan cara belajarnya. Paling enak tuh belajar dengan cara membaca materi, terus presentasi di depan teman-teman di bawah supervisi dosen. Dosen ini yang bisa memberitahu jika diskusinya macet atau menyimpang dari arah topik utama, dan pada saat itulah dia memberikan pelurusan lewat ceramah. Jadi nggak ada ceritanya dosen memulai kuliah dengan berbicara pertama kali. Inisiatif atau tindakan belajar pertama SELALU dari mahasiswanya.
Tiga, kalau sekelompok mahasiswa sudah merasa mendapatkan cukup pengetahuan tentang suatu materi, mereka bisa menyetop perkuliahan itu, dan dosennya nggak perlu merasa sakit hati.
Empat, untuk mengukur hasil belajar mahasiswa, dosen memberikan ujian kira-kira dua bulan setelah awal masa kuliah; materi ujiannya adalah segala yang termasuk dalam satu pokok bahasan, misalnya Pengantar Ilmu Ekonomi, terentang dari pertanyaan bertipe Recall sampai Evaluasi pada taksonomi Bloom. Mahasiswa mengukur penguasaannya dengan mengerjakan tes tersebut, dan meminta dosen memberikan nilainya.
Tapi tes ini tidak wajib. Seorang mahasiswa bisa saja tidak percaya bahwa penguasaan suatu topik ditentukan oleh kemampuannya melalap soal-soal tes dan mendapat nilai A. Ya enggak papa, dia nggak usah ikut tes. Nanti di transkripnya diberikan keterangan seperti ini: “Ybs sudah melaksanakan pembelajaran tentang Pengantar Ilmu Ekonomi, yang terdiri dari sekian jam studi di perpustakaan, sekian jam berdiskusi kelompok di bawah panduan dosen, sekian jam menulis paper dengan judul Anu dengan tebal sekian belas halaman”.
Dengan demikian, lenyap sudah problem ngerpek dan segala macam ekses negatif ujian.
Jadi suasana pembelajaran bisa sangat cair, tidak terstruktur, tidak kaku mematuhi standar baku jumlah peserta, jumlah pertemuan, lama pertemuan, jumlah kuis segala macam. Pembelajaran bisa dilakukan di bawah pohon, di kantin, via YM atau milis, di depan laptop atau ruang komputer, atau di kelas; lamanya bisa hanya setengah jam, atau delapan jam penuh, tergantung daya serap dan daya tahan mahasiswa dan dosennya saja.
Hayoo, gimana ya kalau gagasan ini terwujud? Cita-citanya hanya satu: membuat mahasiswa secara mandiri menentukan nasibnya; dengan memberi mereka pilihan mana suka yang bagaimanapun akan menentukan profil kompetensi dan masa depan mereka, mereka pasti terlecut untuk menjadi lebih dewasa. Menjadi lebih dewasa artinya: sadar untuk lebih banyak membaca, mendengarkan penjelasan dengan penuh perhatian, dan mau bersusah payah menempuh proses untuk menjadi lebih tahu.
sumber: http://patrisius.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar