Imunisasi atau Tidak Imunisasi?

Isi sesi wawancara ketujuh Conscious Parenting Summit yang kali ini menghadirkan April Renee tidak bisa langsung saya ringkas dan tayangkan di website seperti sesi-sesi sebelumnya. Isyu yang diangkat sangat pelik dan kontroversial, kental dengan urusan riset kedokteran. Begitu selesai menyimak wawancara ini, saya merasa perlu berselancar dulu ke sana kemari, mengunjungi berbagai laman yang muncul di mesin pencari tentang kata-kata dan nama-nama kunci yang April Renee sebutkan, membacai berbagai artikel terkait vaksinasi, sebelum akhirnya saya memutuskan dari sudut pandang mana saya akan menulis ringkasan sesi wawancara ini.

April Renee jelas tegas menempatkan diri sebagai aktivis anti vaksinasi. Sikap ‘garis keras’-nya berawal dari pengalaman amat getir: kehilangan anak pertamanya, yang dia duga terjadi akibat serangkaian vaksinasi. Kemunduran kondisi kesehatan Casi, anak perempuannya itu, terlihat meningkat setiap kali ia memperoleh vaksinasi – tidak bisa merangkak, tidak bisa berjalan, bahkan tidak bisa bicara sesuai tahapan usia yang seharusnya. Casi kemudian didiagnosis mengidap autistik dan akhirnya meninggal pada usia 4 tahun 10 hari. Sejak itu April melakukan riset pribadi, mencari tahu sebanyak mungkin informasi seputar kontroversi vaksin, lalu mendirikan laman Vaccine Information Coalition untuk menyebarkan pengetahuan yang ia kumpulkan. Ia berharap semua orangtua belajar dulu baik-baik seluk-beluk vaksinasi sebelum menyerahkan anak untuk divaksinasi.

“Kita berhak untuk tahu. Saya berhak untuk tahu!” itulah semboyan yang bolak-balik dikumandangkan April selama wawancara. Dan secara pribadi saya amat-sangat setuju dengan semboyan ini, lepas dari apakah saya setuju atau tidak setuju dengan sikap anti-vaksinasi April (NB: Saya belum mempunyai sikap definitif tentang vaksinasi karena merasa data yang saya peroleh masih belum koheren, sebagaimana akan saya bahas lebih lanjut di bagian bawah.)

April sendiri mengakui, ide awal yang membuat vaksinasi tercipta barangkali tidak buruk. Para ahli kesehatan berpikir bahwa dengan memperkenalkan kuman yang sudah dilemahkan ke tubuh anak, sistem kekebalan tubuh anak akan merespons dengan membentuk antibody terhadap kuman tersebut, sehingga kelak ketika kuman sungguhan yang kuat menyerang, tubuh anak sudah siap menghadapinya dan lebih mudah mengalahkannya. Yang April kritik adalah: mengapa para ahli kesehatan menutup-nutupi fakta tentang dampak berbahaya vaksin bagi anak – segala macam logam berat (terutama merkuri) yang dipakai sebagai bahan campuran vaksin, juga virus dan darah binatang (monyet) yang ikut masuk pula ke dalamnya?

“Seandainya ada racun yang masuk ke tubuh kita lewat sistem pencernaan, tubuh masih punya mekanisme untuk mengeluarkannya, entah lewat keringat, diare, atau muntah. Tapi kalau racun itu disuntikkan langsung ke dalam darah? Darah tidak bisa memuntahkannya, men-diare-kannya, bukan? Apalagi yang jadi sasaran adalah bayi-bayi, yang fungsi tubuhnya belum sempurna, yang tidak bisa mengkomunikasikan secara verbal apa yang mereka rasakan,” keluh April.

Tetapi orangtua tidak terinformasi dan dibuat tidak terinformasi – itulah inti kemarahan April. Orangtua terus diintimidasi kalau bukan oleh propaganda iklan maka oleh ancaman-ancaman, “Kalau tidak divaksin, anakmu bisa mati!” “Kalau tidak divaksin, anakmu tidak boleh sekolah!” dan seterusnya. Padahal fakta terus bertambah menunjukkan betapa anak-anak kita sedang mengalami bencana. Angka autisme yang dahulu hanya diidap satu dari sepuluh ribu anak, sekarang telah meningkat berkali-kali lipat menjadi satu dari 67 anak, dan empat kali lebih mungkin terjadi pada anak lelaki ketimbang perempuan. Belum lagi berbagai kejadian maut pada anak pasca imunisasi. Mengapa bisa demikian? Mengapa pemerintah dan dinas kesehatan diam saja? Mengapa ketika ada indikasi bahwa mungkin vaksinasilah penyebabnya, lingkaran pakar justru membuang para peneliti yang mengungkapkan itu? April mencecar dengan gemas.

April menuduh industri farmasi ada di balik semua drama ini. “Big Pharma”, demikian para aktivis anti vaksinasi mengistilahkannya. Big Pharma-lah dalang konspirasi pembungkaman dunia kesehatan soal vaksinasi. Sebab mereka yang membayari semua riset penting, mendanai organisasi-organisasi kesehatan internasional, bermain di dunia politik untuk memastikan bahwa aturan-aturan hukum memihak kepada mereka. April mencontohkan kasus Andrew Wakefield, seorang dokter dan peneliti medis Inggris. Sepanjang karirnya, Wakefield terkenal bereputasi baik dan cemerlang, namun begitu menulis temuannya tentang dugaan keterkaitan antara vaksin MMR dengan gangguan usus dan autisme, ia langsung diserang habis-habisan. Kredibilitasnya dijatuhkan, bahkan ijin prakteknya dicabut. “Temuanmu tidak didukung oleh bukti-bukti penelitian yang lain,” kata arus mayoritas dunia kesehatan Inggris. “Tentu saja tidak ada bukti lain,” sanggah Wakefield, “karena tidak ada usaha mencari bukti-bukti yang mendukung itu.”

Setelah membaca transkrip wawancara Andrew Wakefield dengan editor majalah Latitudes, Sheila Roger, saya jadi merinding membayangkan tingginya konflik kepentingan dalam soal vaksinasi ini. Wakefield membagikan beberapa anekdot tentang bagaimana data seputar riset vaksin diedit, dimanipulasi, dan ‘dibersihkan’ sebelum diserahkan ke pemerintah oleh pihak-pihak yang secara finansial terkait dengan industri farmasi. Para pemegang data kunci, seperti direktur Institute of Vaccine Safety di John Hopkins, hanya minta maaf dan terus mengelak ketika ditanyai soal jumlah total merkuri yang akan masuk ke badan anak jika ia menjalani seluruh rangkaian vaksinasi sesuai jadwal dokter.

“Sungguh aneh sekali,” komentar Wakefield. “Maksud saya, informasi ini ditangani oleh komunitas kesehatan medis dan publik dengan pendekatan yang dirancang untuk melindungi infrastruktur, melindungi status quo, melindungi pribadi-pribadi di dalam lingkaran, bukannya untuk melindungi anak-anak. Seharusnya anak-anak jadi prioritas pertama, seharusnya kita memastikan bahwa kebijakan vaksinasi yang kita terapkan adalah kebijakan yang paling aman. Isyu ini harus dibuka terang-terangan dan diluruskan.”

Tapi inkoheren dengan April Renee, Andrew Wakefield sendiri tidak anti vaksinasi. Menurutnya, bersikap ekstrem dengan menolak semua jenis vaksinasi juga berbahaya. “Kita tidak ingin penyakit-penyakit itu kembali,” katanya. Bagaimanapun juga, ide bahwa vaksinasi bisa membantu meningkatkan kekebalan tubuh anak belum terbukti salah. “Kita butuh lebih banyak riset tentang ini,” simpulnya. Ia mendorong orangtua untuk belajar dan merumuskan sikap: “Apa yang kuyakini? Siapa yang aku percayai – apakah riset dan kisah para orangtua lain, ataukah para pabrik vaksin?”

Sungguh memusingkan! Barangkali yang kita inginkan sebagai orangtua yang awam medis adalah otoritas yang bisa dipercaya, yang bisa menunjukkan pada kita mana yang bagus dan mana yang jelek, lalu kita tinggal mengikutinya. Tapi ketika otoritas itu ternyata meragukan, mau tidak mau kita sendiri harus menyelidik dan membuat kebijakan. Demi kesehatan jangka panjang anak-anak kita, kita musti menjadi informed parents, orangtua yang punya banyak informasi. Kita harus proaktif mengumpulkan serta menimbang semua fakta yang tersedia, lalu meletakkan taruhan di opsi yang paling bijaksana.

Akhir kata, mohon maaf kalau tulisan tidak terlalu banyak membantu Anda membuat keputusan tentang apakah anak Anda harus diimunisasi atau tidak. Seperti yang saya bilang sebelumnya, isyu vaksinasi ini memang pelik dan saya pun belum menentukan berpihak ke mana. Yang pasti saya pro kepada slogan April, “Kita berhak untuk tahu. Saya berhak untuk tahu!”

sumber: cmindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar