1. Syiah meyakini bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu adalah imam yang makshum (suci dan terjaga dari dosa). Tapi kita jumpai, ternyata beliau menikahkan puteri beliau, Ummu Kultsum, saudara perempuan sekandung Al Hasan dan al Husain dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu. Ini berkonsekuensi terhadap salah satu dari dua hal bagi Syiah;
Pertama, Ali Radhiyallahu ‘Anhu tidak makshum karena menikahkan puterinya dengan orang kafir (menurut keyakinan mereka, yaitu Umar Radhiyallahu ‘Anhu). Ini bertentangan dengan dasar-dasar madzhab, bahkan ini berkonsekuensi bahwa para imam selain beliau tidak makshum pula.
Kedua, Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘Anhu adalah Muslim. Ali Radhiyallahu ‘Anhu menjadikannya sebagai menantu. Tapi orang-orang Syiah yang mengaku sebagai pengikut Ali Radhiyallahu ‘Anhu justru mengafirkannya.
Ini adalah dua jawaban yang harus dipilih oleh orang-orang Syiah.
2. Setelah wafatnya Fathimah—radhiyallahu ‘anha, Ali Radhiyallahu ‘Anhu menikah dengan sejumlah wanita yang melahirkan sejumlah anak untuknya, di antaranya; Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali, Ja’far bin Ali, dan Utsman bin Ali. Ibu mereka adalah Umm al Banin binti Hizam bin Darim. (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al A’immah, Ali al Arbili, 2/66).
Juga Ubaidullah bin Ali, Abu Bakar bin Ali. Ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud. (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al A’immah, Ali al Arbili, 2/66). Juga Ruqayyah binti Ali, Umar bin Ali—yang meninggal dunia pada usia 35 tahun. Ibu keduanya adalah Ummu Habib binti Rabi’ah. (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al A’immah, Ali al Arbili, 2/66).
Pertanyaan: Apakah mungkin seorang ayah menamakan buah hatinya dengan nama musuh bebuyutannya. Lalu bagaimana halnya jika sang ayah ini adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu? Bagaimana mungkin Ali Radhiyallahu ‘Anhu menamakan anak-anaknya dengan nama orang-orang yang dianggap Syiah bahwa mereka adalah musuh-musuh Ali Radhiyallahu ‘Anhu?
3. Syiah menyangka bahwa Fathimah—radhiyallahu ‘anha, darah daging Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terpilih, telah dihinakan pada zaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya hendak dibakar, dan janinnya yang mereka namakan al Muhsin digugurkan.
Pertanyaan: Di manakah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dari semua ini? Mengapa beliau tidak menuntut hak istrinya, padahal beliau adalah seorang pemberani dan kuat?
4. Al Kulaini menyebutkan dalam kitab-nya, Ushul al Kafi (1/239), “Sesungguhnya kita benar-benar memiliki mushaf Fathimah. Tahukah mereka apakah mushaf Fathimah itu?” Aku bertanya, “Apakah mushaf Fathimah itu?” Ia menjawab, “Yaitu mushaf yang di dalamnya seperti Qur’an kalian ini tiga kali lipatnya. Demi Allah, di dalamnya tidak ada satu huruf pun dari Qur’an kalian.”
Bayangkan, tidak ada ? (alif), tidak ada ? (ba), dan seterusnya.
Pertanyaan: Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui mushaf Fathimah? Jika beliau tidak mengetahuinya, maka bagaimana ahli baitnya mengetahuinya tanpa sepengetahuan beliau, padahal beliau adalah utusan Allah? Jika beliau mengetahuinya, mengapa beliau menyembunyikan-nya dari ummatnya? Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya:
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al Ma’idah: 67).
5. Syiah menuduh bahwa khulafaur Rasyidin adalah kafir, lalu mengapa Allah menolong dan menaklukkan negeri-negeri lewat tangan mereka. Islam jaya dan berwibawa di masa mereka, di mana kaum Muslimin tidak pernah melihat satu masa di mana Allah ? lebih memuliakan Islam dibandingkan pada masa mereka.
Apakah ini sejalan dengan sunnah Allah yang telah ditetapkan untuk menghinakan kaum kafir dan munafik? Sebaliknya, kita lihat pada masa “al Ma’shum” (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu) yang kepemimpinan beliau dijadikan rahmat bagi manusia—seperti yang dikatakan Syiah—umat berpecah belah dan saling memerangi, sehingga musuh memangsa Islam dan pemeluknya.
6. Syiah menyangka bahwa Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu adalah kafir. Kemudian kita dapati bahwa al Hasan bin Ali—radhiyallahu ‘anhuma—turun dari tampuk kekhalifahan untuknya—padahal al Hasan di antara imam Syiah yang makshum—maka konsekuensinya, mereka harus mengakui bahwa al Hasan telah turun dari tampuk khilafah untuk diserahkan kepada orang kafir. Ini menyelisihi kemakshuman beliau, atau berarti Muawiyah itu muslim?
7. Syiah mengatakan, sebab gaibnya imam mereka yang kedua belas di tempat persembunyiannya adalah karena takut dizalimi. Namun mengapa kegaiban ini terus berlanjut meskipun kekuatiran itu telah sirna dengan berdirinya negara-negara Syiah sepanjang sejarah, seperti al Ubaidiyyun, al Buwaihiyyun, ash-Shafawiyyun, dan terakhir negara Iran sekarang?
Mengapa ia tidak keluar sekarang, padahal Syiah mampu membela dan melindunginya di negeri mereka? Jumlah mereka jutaan dan akan menebusnya dengan jiwa mereka di waktu pagi dan petang? Apakah mereka tidak malu kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam—yang mereka kafirkan—yang berani mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk membela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
8. Mengapa Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu berani memerangi kaum murtad—yang menolak membayar zakat—dan mengatakan, “Sekiranya mereka menghalangiku mengambil anak kambing/unta yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, niscaya aku memerangi mereka karenanya.”
Sementara Syiah mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu tidak mengeluarkan mushaf yang ditulisnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena takut orang-orang akan murtad. Padahal beliau seorang khalifah, memiliki sifat-sifat dan pertolongan ilahi sebagaimana yang diklaim Syiah. Kendati demikian, beliau tetap menolak mengeluarkan mushaf karena kuatir orang-orang akan murtad, dan rela membiarkan orang-orang dalam kesesatan. Sementara Abu Bakar memerangi murtaddin karena anak onta yang mereka menolak membayarkannya.
9. Sunni dan Syiah dengan semua sektenya bersepakat bahwa Ali Radhiyallahu ‘Anhu seorang pemberani tak tertandingi, dan beliau tidak pernah takut dalam menegakkan agama Allah terhadap celaan siapa pun. Keberanian ini tak pernah putus walau sejenak, sejak awal kehidupan beliau hingga terbunuh di tangan Ibnu Muljam. Syiah, seperti diketahui, memaklumatkan bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu adalah penerima wasiat sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tanpa tenggang waktu.
Apakah keberanian Ali Radhiyallahu ‘Anhu terhenti setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sehingga beliau membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan ??
Apakah Ali Radhiyallahu ‘Anhu tidak mampu—dan tidak mungkin beliau demikian—untuk naik ke atas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam walau sekalipun dari masa kekhalifahan salah satu dari ketiganya dan mengumumkan bahwa kekhalifahan telah dirampas dari dirinya? Dan bahwa dirinyalah yang paling berhak dengan hal itu karena beliau sebagai penerima wasiat?
Mengapa Ali Radhiyallahu ‘Anhu tidak melakukan ini dan menuntut haknya, padahal beliau seorang pemberani? Dan beliau memiliki banyak pembela yang mencintainya?
10. Pembebasan masjid al Aqsha terjadi pada masa Umar Radhiyallahu ‘Anhu. Lalu pada masa panglima Sunni, Shalahuddin al Ayyubi—rahimahullah.
Lalu apa keberhasilan Syiah sepanjang sejarah? Apakah mereka berhasil menaklukkan walau sejengkal tanah musuh-musuh Islam?
11. Syiah menyangka bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu membenci Ali Radhiyallahu ‘Anhu, lalu ternyata, Umar Radhiyallahu ‘Anhu menyerahkan kepemimpinan Madinah kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu saat Umar Radhiyallahu ‘Anhu pergi untuk menerima penyerahan kunci-kunci Baitul Maqdis? Ini mengingat karena Ali Radhiyallahu ‘Anhu akan menjadi khalifah atas kaum Muslimin bila terjadi peristiwa yang tak diinginkan pada Umar. Lantas di manakah letak kebencian Umar?
12. Syiah berkeyakinan bahwa para imam dikandung oleh ibu mereka di lambung dan dilahirkan dari paha kanan (Itsbat al Washiyyah, al Mas’udi, hal. 196).
Bukankah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang nabi dan rasul, manusia paling mulia, dikandung di perut ibunya dan keluar dari rahim ibunya?
13. Apakah masuk akal, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam gagal dalam memilih sahabat-sahabatnya, sebaliknya Khomeini berhasil dalam hal itu?
14. Syiah tidak bisa menyangkal, Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘Anhu Ajmain telah membaiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di bawah pohon. Allah Subhaanahu Wata’ala mengabarkan bahwa Dia telah ridha kepada mereka dan mengetahui isi hati mereka. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath: 18).
Lalu datanglah Syiah, mengingkari firman Allah dan menuduh yang sebaliknya? Seakan-akan mereka mengatakan, “Engkau, wahai Rabb, tidak mengetahui tentang mereka sebagaimana yang kami ketahui.” Wal ‘iyadzu billah.
15. Ketika kita melihat Syiah mendekatkan diri kepada Allah dengan mencaci maki para pemuka sahabat, terutama tiga khulafaur rasyidin; Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu Anhu Ajmain, ternyata kita tidak menjumpai seorang Sunni pun mencaci maki seorang pun dari ahlul bait. Bahkan mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dengan mencintai mereka. Ini yang tidak bisa dipungkiri oleh Syiah, walaupun dengan kedustaan.
16. Agama Islam telah sempurna pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, berdasarkan firman-Nya, artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (QS. Al Maidah: 3).
Sementara Syiah, baru muncul setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
17. Bagaimana mungkin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimakamkan di kamar ‘Aisyah—radhiyallahu ‘anha—sementara orang-orang Syiah menuduhnya sebagai kafir dan munafik? Bukankah ini bukti bahwa beliau mencintainya dan ridha kepadanya?
18. Pertanyaan yang semisal dengannya, “Bagaimana mungkin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dikuburkan di antara Abu Bakar dan Umar, padahal keduanya—dalam pandangan Syiah—adalah kafir? Orang Muslim tidak dikubur di tengah kaum kafir, lalu bagaimana halnya dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Berarti Allah Subhaanahu Wata’ala tidak memeliharanya dari bersandingan dengan kaum kafir setelah kematiannya?
Wallahu A’lam, semoga shalawat dan salam terlimpah atas Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para shabatnya.
Sumber: As’ilah Qadat Syabab asy-Syi’ah ilaa al haq, Sulaiman bin Shalih al Kharasyi.
(Al Fikrah No.24/Tahun XI/11 Dzulqa'dah 1430 H)
sumber: wahdah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar