"Penulis Harus Idealis, Tapi Juga Realistis"

Oleh: Bambang Joko Susilo, Penulis
Sejak dulu, ada gurauan bahwa orang yang memilih hidup menjadi penulis adalah orang yang nekat dan tersesat. Akan tetapi apa boleh buat, bagi saya menjadi penulis adalah panggilan jiwa, sehingga saya memutuskan untuk serius memenuhi panggilan itu.

Jika ditanya siapa yang paling bertanggung jawab atas nasib penulis, apalagi saat ini cukup banyak penulis yang nasibnya memilukan, apakah pemerintah yang bertanggung jawab? Atau penerbit? Menurut saya yang memikul tanggung jawab paling besar yaa penulis itu sendiri, sudah tahu jadi penulis itu tidak ada jaminan hidup sukses, kok ya masih mau jadi penulis!

Memang sih, pemerintah seharusnya ada andil untuk memperbaiki nasib penulis. Sebagaimana guru, penulis juga kan berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, saya rasa penulis pun memiliki egonya sendiri, yaitu ego untuk menunjukkan bahwa penulis bukanlah manusia cengeng yang mau mengemis-ngemis untuk dikasihani. Justru bagi saya sebagai penulis, dengan pergulatan dan kepahitan yang luar biasa, ditolak penerbit, atau karya diterbitkan tapi dengan honor kecil yang hanya bisa untuk mengebulkan dapur, hal seperti ini malah bisa memacu untuk lebih produktif berkarya. Daripada penulis yang difasilitasi segala macam, tapi malah membuatnya mandul dalam berkarya. Saya rasa penulis itu harus mandiri!

Kalau dikatakan nasib penulis ada pada kejujuran penerbit, saya sebenarnya tidak bisa berkomentar banyak, karena selama ini saya memang tidak pernah komplain pada penerbit, saya menerima dan percaya saja pada perhitungan mereka. Akan tetapi, ada rekan sesama penulis yang bercerita, dan ini juga ditambah pengakuan dari orang dalam penerbit itu sendiri, bahwa ada kasus di mana penerbit berlaku curang, ada sebuah buku yang sebenarnya sudah mengalami cetakan ulang, tapi malah masih dicantumkan "cetakan pertama" agar penulisnya tidak tahu, padahal buku tersebut lux dan harganya di atas tujuh puluh ribu rupiah per eksemplar. Tindakan tidak jujur penerbit tersebut kan sangat merugikan penulisnya.

Bicara mengenai mutu karya para penulis di industri perbukuan saat ini, memang seringkali penulis berkarya tergantung pada tren, kalau yang sedang laku teenlit, ramai-ramai para penulis membuat teenlit, kalau yang sedang tren adalah buku seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, maka banyak penulis lain mengekornya. Bagi saya, tren adalah ritme alam yang tidak terbendung, wajar jika dewasa ini banyak penulis yang berkarya sesuai pesanan atau minat pasar.

Saya sendiri menilai, penulis itu terbagi dua: penulis idealisme dengan penulis realistis. Nah, di zaman sekarang ini menurut saya keduanya harus sejalan, idealis tapi juga realistis! Tidak bisa penulis hanya mengandalkan idealisme saja, tapi perutnya kosong, itu omong kosong. Akan tetapi, penulis yang realistis harus juga dilandasi oleh idealisme, karena idealisme inilah yang bisa menyemangatinya untuk terus menjadi penulis. Tanpa idealisme, realisme penulis akan luntur.

Itulah sebabnya, terkadang saya membagi tulisan karya saya menjadi dua: karya yang idealis dan karya yang realistis. Untuk karya yang idealis, saya tidak bersedia penerbit mengotak-atiknya, kalau mau menerbitkan yaa harus seperti itu, jangan ditambah atau dikurangi! Lebih baik saya mondar-mandir mencari penerbit lain yang mau menerbitkan apa adanya, tidak peduli butuh waktu lama sekalipun, daripada harus direvisi sana sini. Sementara untuk karya yang realistis, yaitu karya yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan perut sekeluarga, saya justru rela kalaupun harus melakukan revisi berulang kali.

Saya setuju sekali jika ada gagasan untuk membentuk Asosiasi Penulis Profesional, forum yang bertujuan untuk mengurus masalah komersial penulis. Yang namanya menulis profesional itu kan berarti menjadikan menulis sebagai profesi, artinya orang bisa hidup dengan mengandalkan pekerjaan menulis saja.

Nah, saya rasa yang perlu diperhatikan oleh forum seperti itu nantinya adalah mengenai negosiasi surat perjanjian antara penulis dengan penerbit, kalau bisa… yang namanya royalti itu diseragamkan saja, kalau mau mematok 10 persen yaa 10 persen untuk semua penerbit, jangan dikurang-kurangi lagi, 10 persen saja bukan jumlah yang besar. Belum lagi dipotong pajak, kalau bisa pajak untuk penulis yang penghasilannya masih kecil ditiadakan saja!

Kemudian mengenai sistem pembayaran beli putus, seringkali penulis dirugikan dengan sistem ini, karena jika karyanya yang dibeli putus itu laris manis, penerbit sering acuh tak acuh terhadap jasa penulisnya. Kalau bisa, dibuat klausul dalam surat perjanjian penerbitan yang menyatakan bahwa jika karya yang dibeli putus tersebut penjualannya mencapai lebih dari sekian ribu eksemplar, maka penulisnya akan memperoleh tambahan bonus sebesar sekian sekian. Dengan demikian, penulis tidak menjadi sapi perah di dunia industri perbukuan. [Syamsa]

sumber: annida-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar