Diskusi dengan Quraniyyun (Ingkarussunnah)

Dalam suatu diskusi ataupun debat yang baik, kedua belah pihak harus mengerti posisi-posisi masing-masing; dimana mereka sependapat dan dimana berbeda pendapat, dimana titik temu dan dimana harus berpisah. Kalau tidak, perdebatan akan berlarut-larut dan menjadi debat kusir yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Diskusi jadi tidak bermanfaat. Maka disini akan saya uraikan sejelas dan sesingkat mungkin dimana titik temu dan titik pisah kita. Untuk mempersingkat, dalil-dalil (aqli maupun naqli) tidak kami cantumkan, dengan asumsi peserta diskusi sudah memiliki kapasitas untuk mencari sendiri referensinya.

Pertama.

Allah menurunkan al-Quran kepada Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) untuk menjadi petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang haseperti dan yang bathil. Di sini kita semua sependapat. Kalau ada yang tidak sependapat, kita berpisah, diskusi selesai.

Kedua.

Rasul mengemban tugas, tidak hanya untuk membacakan ayat-ayat al-Quran yang diturunkan kepadanya itu. Kalau sekadar untuk membacakan ayat-ayat itu, menyuruh orang menghafalkannya agar bacaan itu tetap lestari turun-temurun; apa bedanya dengan buku, hikayat, syair atau dongeng pengantar tidur lainnya. Tidak akan ada ekses dan gejolak di masyarakat. Tidak begitu. Rasul diperintah untuk menyampaikan, mengamalkan, dan menegakkan ajaran al-Quran itu, bahkan menghapus seluruh ajaran agama maupun adat yang bertentangan dengannya. Karena itulah Rasul mengalami penentangan dan perlawanan dari kaumnya.

Barangkali kita sepakat hal ini. Kalau ada yang tidak sependapat, kita berpisah dan diskusi selesai.

Ketiga.

Rasul membacakan ayat-ayat al-Quran, memahami artinya, menjelaskannya, mengamalkannya, dan menyuruh pengikutnya untuk memahami, mengamalkan dan menyebarkannya seperti cara beliau memahami dan mengamalkannya. Kalau ada pemahaman dan pengamalan yang keliru, salah atau menyimpang; beliau akan segera membetulkan dan meluruskannya. Kalau ada pemahaman dan pengamalan yang tidak salah atau boleh, beliau mengiyakan atau minimal mendiamkannya (taqrir). Jadi tidak setiap orang bisa memahami dan mengamalkan al-Quran dengan benar, bahkan semuanya harus merujuk dan mencontoh pemahaman dan pengamalan Rasul yang kepadanya diturunkan al-Quran itu.

Kalau masih sependapat dengan point ini, diskusi lanjut. Kalau tidak, kita berpisah, diskusi selesai.

Keempat.

Implikasi dari point ketiga di atas, bisa kita lihat bagaimana para Sahabat Rasul, baik sewaktu Nabi masih hidup apalagi sepeninggal beliau seperti berikut:

1) Para Sahabat sangat berhati-hati dalam berbicara dan berbuat dalam urusan agama, kuatir tidak sejalan apalagi bertentangan dengan maksud Allah dalam al-Quran serta pemahaman dan pengamalan Rasul-Nya.
2) Para Sahabat sangat berhati-hati dalam menerima kabar atau berita tentang ucapan atau perbuatan Rasul. Jangan sampai ada berita (Khabar/ Hadits) tentang Rasul itu yang cacat, salah ingat, apalagi dusta. Karena itu berarti mereka akan salah dalam memahami dan mengamalkan al-Quran dan Dinullah.

Masih sependapat? Kalau sependapat, kita lanjut. Kalau tidak, kita berpisah dan diskusi selesai.

Kelima.

Karakter dan tradisi generasi Sahabat dalam menyikapi dan memperlakukan Hadits Nabi dengan sangat hati-hati dan teliti ini, terus dilanjutkan dari generasi ke generasi; oleh generasi Tabi'in, Tabi'uttabi'in dan seterusnya oleh para ulama yang mengikuti karakter dan tradisi mereka. Tradisi ini kemudian dituangkan dalam suatu disiplin ilmu dan metodologi berupa ilmu Mushthalah Hadits yang kemudian membuahkan kitab-kitab kumpulan Hadits.

Jadi Hadits-hadits Nabi dicari, diperiksa, diteliti, disaring, dikumpulkan dan diklasifikasi oleh para ulama Ahlulhadits seperti itu; tidak lain dilandasi atas dua aksioma yang sudah dipaparkan di atas:

1) Karena para Sahabat, Tabi'in, ulama serta seluruh ummat yang mengikutinya sudah yaqin, sepakat, ijma', ma'lum tanpa ragu sedikitpun (ma'lum fiddin biddharurah) bahwa pemahaman dan pengamalan terhadap al-Quran harus mengikuti petunjuk dan tuntunan Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam).
2) Karena mereka ma'lum bahwa berita, khabar, atau hadits tentang Nabi yang disampaikan oleh para pewarta (rawi) pasti tidak luput dari kekeliruan, kelupaan, bahkan kedustaan yang terjadi karena banyak faktor dan motif. Baik itu faktor kelemahan hafalan, usia, salah dengar, motif politis maupun fanatisme golongan, termasuk penyusupan dari kalangan zindiq dan munafiq.

Maka mereka pun menyusun suatu metodologi standar penelitian dan penyeleksian Hadits tersebut sebagai suatu usaha untuk menemukan dan mendapatkan as-Sunnah atau petunjuk dan pengamalan yang benar dari Nabi terhadap al-Quran.

Sependapat? Kalau tidak, jangan ragu-ragu untuk bilang tidak sependapat agar diskusi kita akhiri sampai point kelima ini saja. Karena point keenam nanti makin riskan dan rawan untuk diterima bila point kelima ini belum diterima baik dan diyakini betul.

Keenam.

Para ulama Ahlulhadits bukannya tidak tahu bahwa dengan segala upaya dan jerih payah serta keikhlasan mereka, tentu masih ada saja hadits-hadits dha'if bahkan mungkin mawdhu' yang terselip di kitab-kitab hadits shahih. Itu adalah hal yang manusiawi. Mereka sadar betul akan hal itu. Tapi mereka yakin bahwa dengan mengikuti sistem dan disiplin ilmiah tersebut, kecolongan itu bisa diminimalisir, relatif sedikit, dan bisa dinetralisir dengan hadits-hadits shahih yang jumlahnya, diyakini secara disiplin ilmiah, jauh lebih banyak daripada hadits-hadits dhaif yang dikira shahih.

Keyakinan ilmiah dari para ulama Ahlulhadits ini bukanlah keyakinan semu, sepihak, dan tidak ada landasan agamanya (dalil naqli). Asumsi ilmiah mereka itu didasarkan atas dua aksioma:

1) Untuk memahami dan mengamalkan al-Quran dengan baik dan benar, membutuhkan dan wajib berpedoman pada as-Sunnah.
2) Dinul Islam adalah agama terakhir yang diturunkan dan dijaga oleh Allah untuk seluruh manusia hingga hari kiamat.

Konsekwensinya. Kalau tidak ada Islam tanpa al-Quran, dan tidak ada (pemahaman dan pengamalan) al-Quran tanpa as-Sunnah, sedang (eksistensi ajaran) Islam itu diturunkan dan dijaga oleh Allah hingga hari kiamat, maka pastilah as-Sunnah juga akan dijaga oleh Allah. Bagaimana caranya? Tentunya lewat keikhlasan dan kerja keras para Sahabat, Tabi'in dan seterusnya dilanjuntukan oleh para ulama' Ahlulhadits yang menyusun musthalah hadits dan kitab- hadits. Adakah jalan dan sumber lain yang lebih ilmiah, masuk akal, dan lebih bisa dipercaya untuk menemukan as-Sunnah selain cara, metode, dan jalan mereka?
Tidak berlebihan bila tatkala ditanya tentang firqah najiyah (golongan yang selamat), Ahmad bin Hanbal menjawab: "Kalau mereka bukan Ahlulhadits, saya tidak tahu lagi siapa mereka."

Di point ini mungkin anda tidak sependapat dan kita harus berpisah. Anda membuat hipotesa bahwa para ulama Ahlulhadits telah memanipulasi sistem mushthalah hadits, utamanya dalam kriteria jarh wa ta'dil, untuk mendukung ulama yang semadzhab dengan mereka dan para penguasa pun turut berperan dalam meluluskan dan meloloskan hadits-hadits yang menguntungkan mereka secara politis. Sedangkan kami menilai bahwa keberadaan Ijma' Sahabat, ahlussunnah waljama'ah adalah suatu kemestian untuk mendukung eksistensi as-Sunnah sebagai prasyarat untuk memahami dan mengamalkan al-Quran. Ketiganya adalah asas Dinul Islam yang akan tetap ada hingga hari kiamat, sesuai janji Allah dan Rasul-Nya.

Praduga dan hipotesa sejarah yang anda gunakan tidak jauh beda dengan cara-cara syiah dalam menolak Ijma' Sahabat, Ahlussunnah dan Jama'ah kaum muslimin. Strategi penolakan seperti itu adalah strategi bertahap dan jangka panjang yang dirancang yahudi (Abdullah bin Saba'). Menolak prinsip Ijma' Shahabat dan ahlussunnah waljama'ah sebagai firqah najiyah, akan berlanjut pada penolakan al-Hadits, kemudian menjadi penolakan as-Sunnah sebagai sumber hukum, dan ujung-ujungnya akan meragukan keotentikan al-Quran, bahkan kebenaran al-Quran sebagai wahyu. Maka akan tersebarlah khurafat, bid'ah dan syirik dalam ummat manusia. seperti yang sudah dicontohkan dan diperagakan dengan sangat gamblang oleh syiah dalam berbagai tingkat kesesatan dan kekufurannya. Syiah ghulat (ada yang sampai mempertuhankan Ali bin Abi Thalib) dan syiah belum ghulat hanya berbeda tahapan saja untuk menuju kekufuran yang sesungguhnya. Kesesatan yang dibiarkan terus akan mengarah dan menuju kepada kekufuran. Itulah cita-cita tertinggi Iblis yang terlaknat.

Kesimpulannya, untuk memahami dan mengamalkan Islam dengan benar, harus menggunakan al-Quran, as-Sunnah, dan al-Ijma' agar tidak terjatuh dan terseret dalam fitnah dan firqah kesesatan yang sudah merupakan tabiat sejarah manusia.

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia menempuh jalan kesesatannya dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS 4:115)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar