Riddah atau Murtad

Penulis: Ahmad Sarwat, Lc., MA

Tiga Jenis Penyebab Murtadnya Seorang Muslim

Menurut umumnya para ulama, setidaknya ada tiga cara seseorang untuk bisa jadi murtad, yaitu terkait dengan keyakinan tertentu di dalam hati, atau tindakan nyata tertentu dalam bentuk perbuatan, atau ucapan tertentu secara lisan.

Para ulama umumnya membuat batas-batas yang bisa dijadikan patokan untuk diperhatikan, antara lain;

1. Murtad Terkait Dengan Keyakinan

Di antara bentuk kemurtadan secara keyakinan misalnya mengingkari sifat Allah, atau menolak kebenaran Al-Quran, atau mengingkari kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

a. Mengingkari Sifat Allah

Para ulama sepakat bahwa siapa saja dari umat Islam yang meyakini bahwa tuhan itu tidak ada alias atheis, dia telah murtad dari agama Islam. Demikian juga bila mengingkari satu dari sifat-sifat Allah yang jelas, tegas, dan tsabit, maka dia telah murtad keluar dari agama Islam, seperti menyatakan Allah punya anak, istri dan sebagainya. Termasuk bila seseorang mengatakan bahwa Allah itu tidak abadi, atau sebaliknya malah mengatakan alam ini kekal abadi, maka dia telah murtad.

b. Mengingkari Kebenaran Al-Quran

Orang yang menolak kebenaran Al-Quran, bahwa kitab itu turun dari Allah subhanahu wata'ala kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, turun dengan tawatur, melalui Jibril alaihissalam, dengan bahasa Arab, serta menjadi mukjizat buat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan dengan itu Allah menantang orang Arab untuk membuat yang setara, maka dia sudah murtad. Termasuk di dalamnya kategori murtad adalah orang yang menolak kebenaran satu ayat dari ribuan ayat Quran, kecuali bila ayat itu memang multi tafsir atau sudah dinasakh hukumnya.

c. Mengingkari Kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam

Menolak kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam termasuk keyakinan yang sesat dan mengakibatkan murtad dari agama Islam. Sebab dasar agama Islam itu diletakkan pada keyakinan bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang nabi yang menjadi utusan Allah secara resmi. Maka mengingkari kenabian beliau shallallahu 'alaihi wasallam sama saja menngingkari keberadaan agama Islam. Berarti orang yang mengingkarinya telah ingkar atau kafir dari agama Islam.

2. Murtad Terkait Dengan Perkataan

Selain dengan jalan penyimpangan keyakinan, kemurtadan itu bisa terjadi akibat ucapan atau lafadz secara lisan, yaitu apabila seseorang mengucapkan sab (سبّ). Selain itu murtad juga bisa terjadi ketika seseorang melontarkan tuduhan kafir (takfir) kepada seorang muslim tanpa hak.

a. Sab

Istilah sab (سبّ) sering diartikan sebagai penghinaan atau kalimat yang merendahkan, menjelekkan, mencaci, melaknat, menghina.

Menghina Allah

Para ulama telah mencapai kata sepakat bahwa orang yang menghina Allah subhanahu wata'ala, atau mencaci, memaki, menjelekkan-Nya sebagai orang yang murtad dan keluar dari agama Islam. Walaupun hal itu hanya sekedar candaan, atau main-main belaka. [1] Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wata'ala di dalam Al-Quran :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. At-Taubah : 65-66)

Menghina Rasulullah

Demikian juga para ulama sepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa orang yang menghina Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah murtad. Termasuk ke dalam penghinaan ketika seseorang menghina kekurangan baik pada diri beliau shallallahu 'alaihi wasallam, atau nasab dan agama. Termasuk juga melaknat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mengejeknya, menuduhnya dengan tuduhan palsu.[2]

Menghina Para Nabi

Di antara para nabi dan rasul yang jumlahnya mencaiap 124 ribu orang itu, sebagiannya ada yang sudah jelas identitasnya dan kita mengenalnya dengan baik. Kedudukan mereka menurut para ulama sama dan sederajat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka menghina atau menjelekkanpara nabi dan rasul, sama dengan dengan menghina Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka perbuatan seperti itu termasuk juga hal-hal yang berakibat pada kemurtadan.[3] Sedangkan menghina orang-orang yang belum masih jadi perbedaan pendapat ulama tentang status kenabiannya, meski tidak termasuk perbuatan murtad, namun menghinanya tetap saja bisa dihukum, walaupun bukan hukuman mati.

Menghina Istri-istri Nabi

Para ulama telah sepakat bahwa menghina istri Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, khususnya Asiyah radhiyallahuanha termasuk perbuatan murtad. Pelakunya bisa divonis kafir dan halal darahnya dengan dasar yang hak. Sebab pelakunya berhadapan dengan ayat Al-Quran yang sharih tentang kesuciannya di dalam surat [4]

يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَن تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. An-nuur : 17)

Sedangkan istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selain Aisyah, apakah kedudukannya sama, dalam arti kalau ada yang menghinanya bisa divonis kafir dan halal darahnya? Pada ulama agak berbeda dalam hal ini. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyamakan antara semua istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan Aisyah dalam kemuliaan dan kedudukannya. Maka orang yang menghina salah satu istri beliau shallallahu 'alaihi wasallam, bisa divanis murtad dan halal darahnya. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah berpendapat bahwa kedudukan para istri nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang lain selain Aisyah sama dengan para shahabat nabi yang lain. Yang menghina mereka tentu dihukum tetapi bukan divonis kafir dan murtad, serta tidak dihukum mati.

b. Takfir

Para ulama sepakat bahwa salah satu penyebab kemurtadan adalah ketika seorang muslim menuduh saudaranya yang muslim sebagai kafir tanpa bisa mempertahankan tuduhannya secara legal di majelis mahkamah syar'iyah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

أَيُّماَ امْرِئٍ قَالَ لأَِخِيْهِ: ياَ كَافِر فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كاَنَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa pun orang yang menyapa saudaranya yang muslim, 'wahai kafir', maka dia akan mendapat salah satu dari kedunyanya, yaitu benar tuduhannya atau tuduhannya kembali kepadanya. (HR. Muslim)

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِاْلكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
Orang yang menyapa seorang muslim dengan kafir atau memanggilnya dengan sebutan 'musuh Allah', padahal tidak benar, maka tuduhan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri. (HR. Muslim)

Dari kedua hadits di atas bisa disimpulkan bahwa menuduh seorang muslim sebagai kafir atau musuh Allah, akan beresiko besar. Sebab tuduhan itu harus bisa dibuktikannya di mahakamah syar'iyah. Bila tuduhannya benar, maka penuduhnya selamat. Namun bila tidak bisa dibuktikannya, maka dirinya sendirilah yang beresiko menerima vonis kafir atau murtad. Kurang lebih ada kemiripan dengan tuduhan zina (qadzaf), dimana penuduhnya justru diancam dengan 80 cambukan apabila tidak bisa membuktikannya di mahkamaha syar'iyah.

3. Murtad Terkait Dengan Perbuatan

Di antara contoh bentuk murtad dengan perbuatan misalnya membuang mushaf ke tempat sampah, bersujud kepada berhala, meninggalkan shalat fardhu atau zakat sambil mengingkari kewajibannya.

a. Membuang Mushaf ke Tempat Sampah

Orang yang membuang mushaf Al-Quran dengan sengaja dan diniatkan untuk menghinanya, hukumnya murtad dari agama Islam, karena termasuk melakuka penghinaan kepada agama. Sedangkan bila karena ketidak-sengajaan, ada tulisan yang merupakan ayat Quran tetapi terbuang ke tempat sampah, hukumnya tidak murtad. Karena tidak dilakukan dengan sengaja dan tidak diniatkan untuk menghina Al-Quran. Untuk itu apabila ada sobekan kertas yang tidak berguna, namun terdapat potongan ayat Al-Quran, sebaiknya dibakar saja. Dasarnya adalah ketika khalifah Utsman bin Affan radhiyallahuanhu melaksanakan proses penulisan ulang khat Quran, mushaf-mushaf yang pernah ditulis oleh shahabat sebelumnya dikumpulkan lalu dibakar. Sehingga yang tersisa hanya mushaf yang sudah menjadi standar penulisan yang resmi.

b. Sujud Kepada Berhala

Seorang muslim yang bersujud kepada berhala dengan sengaja dan berniat untuk mengagungkan atau menyembahnya, maka dia telah murtad dari agam Islam. Yang termasuk berhala bukan hanya patung, tetapi juga matahari, bulan atau bintang di langit.

c. Meninggalkan Shalat Fardhu

Seorang muslim yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu lima waktu, dengan disertai keyakinan bahwa shalat itu tidak wajib atasnya, maka dia termasuk orang yang murtad dari agama Islam. Dalam istilah fiqih, orang yang mengingkari kewajiban shalat fardhu lima waktu disebut jahidus-shalah (جاحد الصلاة).

d. Mengingkari Kewajban Zakat

Demikian juga seorang muslim yang menolak membayar zakat, seraya mengingkari kewajiban zakat di dalam syariat Islam.

Footnote:
[1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 8 hal. 565
[2] Asy-Syamil, jilid 2 hal. 171
[3] Al-Qalyubi, jilid 4 hal. 175
[4] Hasyiatu Ibnu Abdin, jilid 4 hal. 237

Hukuman Dan Konsekuensi Murtad

Di antara konsekuensi vonis murtad adalah gugurnya amal, haramnya menggauli istri, haramnya pernikahan serta gugurnya hak waris. Namun dari kesemuanya, yang paling berat adalah bahwa vonis murtad dari pengadilan atau mahkamah syar'iyah adalah halalnya darah orang yang murtad, alias hukuman mati.

1. Gugur Amal Sebelumnya

Seorang muslim yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka gugurlah amal-amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wata'ala :

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 217)

Al-Alusy dalam kitab tafsir beliau, Ruhul Ma'ani, menyebutkan bahwa makna hubuth di dalam ayat di atas adalah fasad atau rusak.[1]

وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5)

An-Naisaburi menyebutkan orang yang murtad datang dengan amal yang tidak ada faidahnya, justru yang dibawa adalah madharat. Artinya, amal-amal yang dibawanya nanti di akhirat dianggap sah secara syariah.[2]

Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa yang dimaksud dengan terhapusnya amalan orang yang murtad adalah hilangnya pahala. Sedangkan amalnya dianggap masih ada.[3]

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa hilangnya amal orang murtad itu hanya apabila dia telah wafat. Sedangkan bila masih hidup, amal-amalnya tidak hilang. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wata'ala yang menyebutkan bahwa orang itu mati.

وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran. (QS. Al-Baqarah : 217)

Bila orang murtad itu bertaubat, dia hanya kehilangan pahala amalnya saja, sedangkan amalnya sendiri dianggap sudah sah, sehingga tidak perlu diulangi lagi. [4]

Para ulama mengatakan bisa seorang sudah pernah mengerjakan ibadah haji dalam Islam, lalu murtad dan kembali lagi masuk Islam, maka ibadah haji yang pernah dikerjakannya menjadi gugur, seolah-olah dia belum pernah mengerjakannya. Dan oleh karena itu ada kewajiban untuk mengulangi ibadah haji.

2. Haram Menggauli Istri

Seseorang yang murtad keluar dari agama Islam, maka bila dia punya istri atau suami, secara otomatis menjadi haram untuk melakukan hubungan suami istri. Hal itu karena Islam mengharamkan terjadinya pernikahan antara muslim dan kafir.

Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bila salah satu pasangan murtad dari agama Islam, maka status pernikahan mereka menjadi fasakh (dibatalkan) tetapi bukan perceraian.

Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa bila salah satu pasangan suami istri murtad, maka statusnya adalah talak bain. Konsekuensinya, mereka diharamkan menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri. Bila yang murtad itu kembali lagi memeluk agama Islam dengan bersyahadat, maka mereka harus menikah ulang dari awal.

Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa bila salah satu pasangan murtad, maka belum terjadi furqah di antara mereka berdua kecuali setelah lewat masa iddah. Dan bila pada masa iddah itu, si murtad kembali memeluk Islam, mereka masih tetap berstatus suami istri. Namun bila sampai lewat masa iddah sementar si murtad tetap dalam kemurtadannya, maka hukum pernikahan di antara mereka bukan cerai tetapi fasakh.

3. Haram Menikah Dengan Siapa pun

Pasangan suami istri bila salah satunya murtad, maka terlepaslah ikatan pernikahan di antara mereka berdua. Tetapi bila orang yang murtad ini belum menikah, maka para ulama sepakat bahwa haram hukumnya untuk menikah, baik dengan pasangan muslim, atau pun pasangan yang beragam lain, atau pun dengan pasangan yang sama-sama murtad.

Hal itu karena orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Disini ada perbedaan mendasar antara murtad dan pindah agama. Murtad itu sebatas divonis keluar dari agama Islam, namun tidak lantas memeluk agama yang lain. Jadi status orang murtad itu tidak memeluk agama Islam dan juga tidak memeluk agama selain Islam, dia adalah orang yang statusnya tanpa agama.

4. Gugurnya Hak Waris

Jumhur ulama, diantaranya Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal sepakat bahwa oang yang murtad dan keluar dari agama Islam, maka haknya seorang ahli waris gugur dengan sendirinya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal radhiayllahuanhu mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta dari pewaris orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah :

الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Islam itu unggul dan tidak ada yang mengunggulinya

Sedangkan menurut mazhab Al-Hanafiyah, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan bahwa seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.

5. Hukuman Mati

Seluruh ulama sepakat bahwa hukuman buat orang yang murtad adalah hukuman mati atau dibunuh. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits-hadits berikut ini :

لاَ يَحِلُّ دَمٍ امٍرَئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنّيِ رَسُولُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Aku (Muhammad) utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; nyawa dengan nyawa (qishash), tsayyib (orang sudah menikah) yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah (umat Islam)". (HR. Bukhari)

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Orang yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia (HR. Bukhari)

6. KonsekuensiHukuman Mati

Selain dihukum mati dengan cara dibunuh, ada konsekuensi lainnya, yaitu

a. Jenazahnya Tidak Dimandikan

Para ulama sepakat bahwa jenazah orang yang murtad dan dihukum mati tidak perlu dimandikan secara syar'i, karena statusnya sudah bukan muslim lagi. Padahal kewajiban memandikan jenazah hanya berlaku pada jenazah muslim.

b. Jenazahnya Tidak Dishalatkan

Para ulama juga menyepakati haramnya menshalati jenazah orang yang murtad dan dihukum mati. Karena jenazah orang yang murtad sama kedudukannya dengan jenazah orang kafir yang tidak boleh dishalatkan.

وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواْ وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. At-Taubah : 84)

c. Jenazahnya Tidak Dikuburkan di Kuburan Muslim

Para ulama juga sepakat bahwa jenazah orang yang murtad dan dihukum mati tidak boleh dikuburkan di pekuburan orang-orang Islam. [5]

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Footnote:
[1] Al-Alusy, ruhul Ma'ani, jilid 2 hal. 157
[2] Tafsir Al-Kabir, jilid 11 hal. 148
[3] Hasyiatu Ibnu Abdin, jilid 4 hal. 400
[4] Al-Qalyubi, jilid 4 hal, 174
[5] Kifayatul Akhyar jilid 4 hal. 204

sumber: rumahfiqih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar