Media Indonesia, 12 Oktober 2009
Seorang teman Edu mengeluh soal bagaimana anaknya belajar agama di sekolah. Awalnya dia tak cukup peduli dengan pemahaman agama anaknya yang masih duduk di kelas 4 SD, sampai suatu ketika anaknya mengajaknya untuk salat berjemaah. Habis salat, anaknya menunjukkan lembar hasil ulangan agama harian. Dengan perasaan cemas bercampur geli sekaligus, teman Edu akhirnya mencoba membaca hasil ulangan tersebut.
Sebuah pertanyaan terbuka dalam soal ujian agama berbunyi “Di manakah turunnya surah al-Baqarah?” Dengan enteng dan lugu anaknya menjawab “Surah al-Baqarah turun di Klaten.” Jelas sekali si anak memaknai konsep turun seperti konsep keseharian dia yang terbiasa naik-turun bus kota ketika pergi dan pulang sekolah. Artinya, ada yang salah dari guru ketika menyampaikan konsep turunnya sebuah surah di dalam Alquran.
Yang lebih mengagetkan tentu saja ketika anak teman Edu ini menjawab beberapa pertanyaan berbentuk multiple choices. Salah satunya adalah soal yang berbunyi “Siapakah yang wajib menerima zakat?” Dari sekian banyak pilihan, si anak dengan percaya diri menjawab malaikat sebagai satu-satunya makhluk yang berhak menerima zakat.
Terjadinya miskonsepsi pada diri seorang siswa dalam menangkap pesan moral pelajaran agama jelas menunjukkan hal yang sangat ironis. Jawaban-jawaban si anak sangat mengganggu teman Edu, persis karena jawaban anaknya menjadi daya tarik tersendiri yang menggelikan sekaligus mencemaskan. Bagaimana tidak, apa yang sebenarnya terjadi pada proses pelajaran agama anak-anak kita di tengah hiruk-pikuk era digital tentu saja membuat kita khawatir. Kita menjadi bertanya-tanya, apa yang salah dengan cara, metodologi, dan materi agama yang diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah?
Sejauh yang Edu pahami, pelajaran agama sesungguhnya dimaksudkan untuk menumbuhkan keimanan anak-anak. Namun yang terjadi kemudian adalah konsep iman seperti dipaksa untuk diteskan dalam pengertian tes mata pelajaran pada umumnya. Mata pelajaran agama dapat menjadi lahan untuk merangsang dan menumbuhkan iman anak-anak kita, asal dia tidak diujikan melalui nomor-nomor soal untuk dijawab. Dengan geram teman Edu bertanya, “Apakah siswa yang hafal empat rukun iman lebih beriman dari yang hafal dua? Apakah siswa yang dapat menghafal 15 asmaul husna lebih beriman daripada yang hafal 14?”
Sekali lagi pelajaran agama adalah proses menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik, positif, dan prososial. Selain itu, pelajaran agama adalah proses mengembangkan respons etis siswa, supaya (sehingga) mereka tersentuh dan memberikan respons kalau melihat lingkungannya jorok, peduli dan tergerak ketika melihat kemiskinan, dan tergugah setiap kali berhadapan dengan ketidakadilan-baik di kelas, di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat. Di sini kita pada dasarnya melihat iman dalam aksi.
Perlu diingat kembali falsafah pendidikan agama sebagai praktik-bukan hafalan materi. Melalui pelajaran agama, siswa dari berbagai level-dari SD sampai SMA-tidak belajar substansi pelajaran agama dalam rangka menghadapi ujian atau tes dan sesudah itu mereka lupakan. Selain itu, guru juga jangan berperan sebagai pengajar yang mempersiapkan siswanya menghadapi tes pelajaran agama. Agama sebagai praktik berarti agama yang sudah dihayati dan diamalkan di berbagai konteks kehidupan siswa, khususnya di kelas, lingkungan sekolah, dan masyarakatnya.
Menurut teman Edu, hampir semua buku teks pelajaran agama yang ada bukanlah buku yang tepat bagi pentingnya pendidikan agama yang kita maksudkan. Hampir semua soal dalam buku tersebut berbentuk multiple-choice! Seperti kegalauan teman Edu tadi, bahkan konsep-konsep keagamaan pun harus dikaitkan dan dibicarakan dalam konteks pengalaman siswa sehari-hari, tidak diujikan sebagai hafalan apalagi dalam bentuk multiple-choice atau benar-salah.
Karena itu sistem penilaian dalam bentuk portofolio dan bentuk soal yang terbuka terhadap kesadaran siswa merupakan metode yang perlu dilatihkan kepada guru-guru agama kita. Selaras dengan mekanisme penilaian portofolio di atas, penilaian dalam pelajaran agama tidak selalu berarti mengoreksi lembar jawaban soal yang diujikan pada hari dan tanggal ujian. Penilaian guru terhadap siswa bertolak dari bahan-bahan portofolio yang telah dikumpulkan dari minggu ke minggu berdasarkan evaluasi dan revisi terhadap target kinerja siswa. Malcolm Forbes memiliki kata kunci yang baik tentang ini, yaitu The goal of education is to replace an empty mind with an open mind.
sumber: klipingut.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar