Mitos Seputar Homeschooling

Saat berdiskusi tentang pendidikan, saya sering berusaha menyelipkan topik pendidikan alternatif dan homeschooling atau sekolahrumah. Setiap kali berdiskusi tentang sekolahrumah itu pula, saya selalu diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang berulang mengenai kerugian sekolahrumah bagi anak-anak. Padahal semua pertanyaan itu bersifat mitos yang begitu mudah dibantah karena memang tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Jadi sekarang saya tulis blog post ini agar lain kali bila ada yang bertanya seputar mitos homeschooling saya tinggal menjawab, “Lihat di blog saya saja.” So here goes…

Siswa homeschooling tidak bersosialisasi.

Hmm, seandainya saya diberi Rp 10.000,- setiap kali ada yang bertanya soal yang satu ini, mungkin saya sudah menjadi jutawan sekarang. Sosialisasi dalam homeschooling adalah keberatan yang paling sering diajukan dan selalu ditanyakan pertama kali, padahal ini yang paling mudah dibantah. Mitos ini muncul dari ketidaktahuan tentang kegiatan homeschooling sebenarnya. Banyak orang berasumsi bahwa dalam homeschooling anak tidak keluar dari rumah dan hanya belajar sendiri atau berdua orang tuanya mulai dari pagi sampai sore. Kalau seperti itu ya pasti si anak jadi kuper. Pada kenyataannya, siswa homeschooling lebih sering mengadakan studi lapangan kapan pun mereka mau. Saat waktunya belajar sejarah, mereka pergi ke museum dan berinteraksi dengan komunitas pecinta sejarah. Ingin belajar bisnis? Sambil makan di McDonald’s dan berbincang dengan manajernya dan para karyawannya saja. Siswa sekolah formal berinteraksi hanya dengan teman-teman yang seusia dan dikumpulkan dalam satu kelas seharian. Kalau siswa homeschooling? Dengan banyak orang dari segala lapisan usia dan pekerjaan! Banyak riset yang membuktikan bahwa siswa homeschooling dapat bersosialisasi sebaik, atau bahkan lebih baik, dari para sebayanya di sekolah formal, dan mereka menunjukkan lebih sedikit masalah perilaku pula.

Siswa homeschooling tidak punya teman.

Mirip dengan mitos pertama, mitos yang satu ini berasumsi bahwa rekan sebaya siswa homeschooling yang bersekolah formal memiliki banyak teman sedangkan mereka tidak. Ok, coba kita jujur dulu dalam melihat fakta. Yang bisa didapat seorang anak dari “pertemanan” di lingkungan sekolah formal sebenarnya lebih banyak berupa “peer pressure”. Anak-anak ini saling memberi tekanan agar mereka bisa menjadi sama antara satu dengan yang lain. Silahkan baca blog post yang berjudul “Akhir Masa Kanak-kanak” untuk penjelasan mengenai pemanfaatan peer pressure dalam sistem pendidian untuk membentuk manusia-manusia seragam yang mudah dikendalikan. Seseorang bertanya pada orang tua homeschooler, “Anak-anakmu tidak punya teman dan tidak bisa belajar dari anak-anak sebayanya.” Orang tua homeschooler ini pun menjawab, “Coba kamu pergi ke sekolah formal saat siswanya beristirahat, perhatikan mereka, dan tunjukkan padaku, sifat-sifat mana dari mereka yang pantas ditiru anakku.” Benar juga. Sungguh tidak rugi siswa homeschooling kehilangan “pertemanan” dalam lingkungan sekolah formal bila pada kenyataannya ia bisa berteman dengan teman-teman dari klub olahraga, remaja masjid, paduan suara gereja, kelas musik. Ia pun bisa berteman dengan orang-orang dari segala lapisan usia dan pekerjaan seperti staff museum, manajer restoran, dan lainnya.

Siswa homeschooling tidak belajar berkompetisi.

Orang tua HS yang ditanya mengenai sosialisasi itu ditanya lagi, “Tapi anakmu tidak akan belajar berkompetisi seperti kalau di sekolah formal?” Ia pun menjawab lagi, “Anakku tidak berkompetisi dengan orang lain, namun ia berkompetisi dengan target performa yang ditetapkannya sendiri. Kalau dengan orang lain, ia belajar berkolaborasi.” Lagi-lagi jawaban tepat. Benarkah di sekolah formal anak diajarkan berkompetisi sehat? Dengan segala peer pressure yang ada, anak-anak memang diajarkan caranya menang dalam… office politics! Bukannya diajari berkolaborasi, malah diajari untuk berusaha menjadi yang terunggul di kelas (walaupun mungkin tidak sesuai dengan bakatnya), dengan cara-cara instan pula. Anak-anak sudah biasa kok, mengakali sistem pendidikan kita dengan cara sistem kebut semalam. Belajar fakta-fakta hanya beberapa waktu sebelum ujian. Kalau guru mintanya hanya nilai ujian yang baik, ya itu saja yang akan diberikan siswa. Jangan dikira Game Theory hanya dijalankan orang dewasa. Yang benar adalah anak diajarkan berkompetisi dengan standar performa yang ia tetapkan sendiri dengan bimbingan orang tua. Oh, btw, anak homeschooling juga belajar berkompetisi dalam artian konvensional juga kok. Mereka lebih sering mengikuti perlombaan atau kontes daripada teman-temannya di sekolah formal yang sudah tidak punya waktu lagi di luar kelas sekolah karena jadwalnya sudah penuh untuk ikut LBB untuk persiapan Ujian Nasional, ha3.

Homeschooling sangat mahal.

Jelas masalah uang adalah pertanyaan berikutnya yang muncul setelah pertanyaan pertama bisa dijawab dengan mudah. Sebenarnya mungkin ini adalah pertanyaan terpenting bagi banyak orang, hanya gengsi saja kalau ditanyakan pertama. Faktanya, homeschooling bisa mahal dan bisa murah. Banyak artis dan anak dari kalangan orang tua berada yang bisa menyewa guru-guru privat dan alat-alat pembelajaran yang mahal buat belajar di rumah (walaupun ini sebenarnya cuma memindah sekolah ke rumah, bukan homeschooling “sejati”). Namun ada juga para orang tua yang membentuk komunitas homeschooling bagi anak-anaknya dan berbagi biaya. Malah di daerah Pasar Minggu ada komunitas homeschooling buat anak orang miskin. Masalah biaya sangat tergantung dari bujet dan kreativitas orang tua serta komunitas. Yang jelas, value for money dari homeschooling seharusnya lebih tinggi daripada mengeluarkan biaya untuk sekolah formal.

Siswa homeschooling pemalu dan tidak pernah keluar rumah.

Ok, ini sebenarnya pun sudah terjawab di mitos pertama. Saya akan jelaskan lebih jauh. Soal pemalu, jelas tergantung dari si anak. Di sekolah formal pun ada anak pemalu. Sedangkan masalah tidak pernah keluar rumah, pada dasarnya ini salah. Bagi siswa homeschooling seluruh dunia ini adalah ruang kelas. Proses belajar bisa dilakukan di mana pun dan kepada siapa pun. Tidak seperti rekan-rekannya di sekolah formal yang “didatangi” oleh guru, siswa homeschooling terbiasa “keluar dan mencari jawaban”. Mereka akan pergi ke museum, kebun binatang, restoran, tetangga, bahkan ke mall dengan tujuan untuk belajar. Mereka akan berinteraksi dengan banyak kalangan dari berbagai usia dan pekerjaan, dan mereka akan banyak bertanya dan tidak menunggu diterangkan. Saya pernah mendengar tentang anak homeschooling yang masuk universitas negeri dan terheran-heran dengan sikap teman-temannya yang sangat jarang mengajukan pertanyaan di kelas sedangkan ia sendiri sudah biasa bertanya. Tunggu dulu, apa saya tidak salah tulis nih? Apa benar ada anak homeschooling masuk universitas negeri? Silahkan lanjutkan ke mitos berikutnya.

Siswa homeschooling tidak bisa masuk perguruan tinggi.

Mitos yang dulu bisa jadi benar. Salah satu yang membuat homeschooling kurang berkembang di Indonesia adalah dukungan pemerintah. Tapi itu dahulu, saat ini pemerintah sudah mulai gencar mendorong perkembangan pendidikan alternatif. (Sekaligus sebagai penegasan bahwa saya bukan oposisi buta yang asal menganggap semua yang dilakukan pemerintah itu buruk.) Masuk perguruan tinggi bisa dilakukan oleh siswa homeschooling yang telah mengikuti ujian persamaan Paket C. Sudah banyak siswa homeschooling yang masuk ke perguruan tinggi. Di Inggris, rata-rata siswa komunitas homeschooling yang melanjutkan ke perguruan tinggi tiga kali lebih besar daripada siswa sekolah formal.

Bukan hanya masuk perguruan tinggi, siswa homeschooling bahkan bisa masuk ke sekolah dasar maupun sekolah menengah formal di tingkat mana pun mereka mau. Model ini dinamakan multiple entry and multiple exit. Tentu ada prosedur-prosedur yang harus dilewati. Siswa homeschooling juga bisa bekerja sama dengan sekolah formal untuk menjadi “siswa paruh waktu” di sekolah tersebut. Misalnya, pada hari Senin sampai Rabu ia homeschooling, dan pada hari Kamis dan Jumat ia ikut bersekolah di sekolah formal dekat rumahnya. Ya, ini semua sudah dimungkinkan di Indonesia. Tinggal kembali kepada orang tua untuk melihat semua opsi yang ada dan memilih yang terbaik untuk anaknya.

Orang tua homeschooler harus memiliki sertifikat pengajar.

Banyak orang tua yang takut memilih homeschooling bagi anaknya karena merasa tidak bisa menjadi pengajar yang baik, walaupun sebenarnya mereka telah mengajari anaknya banyak hal setiap harinya saat membesarkan mereka. Namun memang tidak perlu kita menjadi pengajar yang ahli untuk membantu pendidikan anak. Banyak opsi yang bisa dipilih oleh orang tua yang merasa tidak bisa mengajar, seperti memilih kurikulum yang sudah disesuaikan dengan gaya belajar anak dan gaya mengajar dan preferensi keterlibatan orang tua. Anak-anak homeschooler juga bisa dikumpulkan dalam suatu komunitas untuk disewakan guru privat bersama untuk subjek tertentu. Seringkali orang tua malah cukup menjadi pendamping bagi anaknya, sedangkan anaknya bisa mengajari dirinya sendiri dengan berbagai sumber pembelajaran yang bertebaran di internet, perpustakaan, telekursus, dan lainnya. Orang tua juga bisa mencari manual bagi orang tua homeschooler dalam mendidik anak-anaknya.

Siswa homeschooling tidak mendapat kegiatan ekstrakurikuler yang cukup.

Salah besar! Homeschooling adalah metode pendidikan yang sangat efisien. Proses pembelajaran yang dilakukan selama beberapa jam pada homeschooling bisa lebih produktif daripada waktu yang sama di sekolah formal. Artinya, siswa homeschooling akan memiliki lebih banyak waktu untuk menyalurkan hobi, mengembangkan bakatnya dan melakukan hal-hal lain yang mereka suka. Mereka bisa mengikuti kegiatan olahraga dan seni dengan mengikuti klub di mana mereka akan bermain dengan kelompok yang lebih kecil. Di sekolah, dengan kelompok yang besar, tiap siswa hanya akan mendapat sedikit latihan olahraga dan seni. Sebagian besar waktunya akan digunakan untuk menunggu giliran.

Tidak ada laboratorium pengetahuan alam di rumah siswa homeschooling.

Tapi beberapa komunitas homeschooling punya. Orang tua juga bisa menyewa peralatan percobaan ilmiah. Yang lebih baik lagi adalah bila orang tua menggunakan kreativitas dalam membantu anak melakukan percobaan ilmiah. Kebanyakan percobaan ilmiah bisa dilakukan dengan peralatan dan bahan-bahan sederhana yang bisa didapat di rumah atau di pasar/supermarket.

Saya hanya bisa mendampingi satu anak belajar dalam satu waktu.

Mulai pelan-pelan saja. Seiring berjalannya waktu kita akan semakin terbiasa mendampingi anak yang lebih tua memulai proses belajarnya terlebih dahulu, baru kemudian mendampingi yang lebih muda saat yang lebih tua melanjutkan sendiri. Bisa juga kakak diminta mendampingi adiknya, atau salah satu anak melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan lainnya saat Ibu mendampingi anaknya yang lain belajar. Oh ya, Bapak juga harus aktif membantu. Bisa juga minta bantuan nenek, tante, dan lainnya. Orang tua harus menentukan dan mengawasi proses homeschooling, tapi pelaksanaannya bisa berbagi. Homeschooling itu memang kerja tim dan butuh waktu untuk membentuk tim yang solid dan saling mengerti.

Kedua orang tua harus bekerja.

Yakin? “Harus” atau “mau”? Coba cek dulu, untuk apa uang dari second income itu dipakai? Untuk jasa baby sitter yang menjaga anak saat orang tua bekerja? Untuk baju-baju kerja? Untuk makan ke luar karena tidak ada yang sempat menyiapkan makanan di rumah? Bukankah ini pengeluaran yang bisa dihilangkan saat salah satu tidak bekerja? Ada juga kasus di mana single parent bisa sukses melakukan homeschooling dengan cara mengatur jadwal kerja secara kreatif atau malah bekerja dari rumah (apalagi di era dengan kemajuan teknologi seperti sekarang). Bisa juga orang tua minta bantuan saudara seperti nenek atau tante, asal kurikulum dan pengawasan tetap ada di orang tua. Coba dipikir kembali.

Saya tidak bisa berlama-lama dekat dengan anak saya.

Dulu kok mau ya bikinnya? He he. Tapi sejujurnya, ini adalah masalah serius. Kalau kita tidak bisa dekat dengan anak kita sendiri, pasti ada yang salah dan harus diselesaikan. Cari konseling kalau diperlukan.

Homeschooling ok sih, tapi saya kan tiap hari juga ingin jalan ke mall sama teman-teman arisan.

Sumpah, pertanyaan ini pernah saya dapat dari seorang ibu-ibu di Jakarta. Tidak saya jawab karena langsung hilang mood waktu dapat pertanyaan ini. Ha ha.

Mitos-mitos homeschooling terbentuk karena sudah begitu dalamnya kita dicuci otak bahwa satu-satunya pendidikan bermutu yang menjamin kesuksesan anak adalah sekolah formal, serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan komunitas homeschooling itu sendiri. Seiring bermunculannya sekolah-sekolah alternatif, masyarakat mulai terbuka dan bertanya-tanya tentang pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Pendidikan formal tidak lagi dianggap dewa (salah mereka sendiri juga sih), namun masih banyak yang harus diperjuangkan bagi pendidikan alternatif yang juga tidak sempurna. Intinya, dengan semakin banyak pilihan metode pendidikan, jangan hanya terpaku pada sekolah formal, pilih yang terbaik bagi anak-anak kita.

sumber: wajibbelajar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar