Antara Efek Mozart dan Efek Murottal

by : Alwi Alatas, SS

Kehidupan ini sungguh unik, banyak hal-hal yang sudah langka dan banyak ditinggalkan orang, tiba-tiba dipasarkan ulang secara besar-besaran dan laku keras. Salah satu barang antik yang kini sedang naik daun adalah musik klasik. Selama bertahun-tahun, jenis musik ini hanya dinikmati oleh kelompok sosial tertentu yang sangat terbatas jumlahnya. Jika kita bertanya pada remaja-remaja perkotaan yang umumnya menyukai musik dan menguasai judul lagu-lagu berikut isinya, mungkin tidak satupun di antara mereka yang tahu tentang musik klasik karya-karya Mozart, Vivaldi dll. Jangankan kalangan remaja, orang-orang dewasa pun mungkin hanya tahu nama-nama pemusik klasik sekadarnya saja, adapun lagu-lagu klasiknya sendiri boleh jadi tidak pernah mereka dengar.

Namun, kini keadaannya menjadi berbeda. Musik klasik sekarang menjadi dewa yang dilahirkan kembali. Atas nama penelitian-penelitian intensif di negara-negara Barat, musik klasik dipromosikan sebagai sebuah produk seni yang tidak sekadar berefek menghibur (entertaining effect), tapi juga punya efek menunjang belajar (learning-support effect) serta efek memperkaya fikiran (enriching-mind effect).

Dalam perkembangan pendidikan terbaru saat ini, musik klasik (dengan ketukan tertentu yang selaras dengan detak jantung manusia—jadi tidak semua jenis musik klasik) menjadi sarana penting dalam belajar di ruang-ruang kelas. Buku-buku pendidikan dengan penjualan best seller international, seperti Quantum Learning, Quantum Teaching dan The learning Revolution, semuanya mempromosikan musik klasik untuk digunakan sebagai program belajar. Sebagai dampak dari ide yang kompak dan serempak ini, beberapa lembaga pendidikan saat ini sedang berlomba-lomba membunyikan musik klasik sebagai pengiring kegiatan belajar mengajar di kelas. Fenomena ini bisa kita sebut sebagai “efek promosi Quantum Learning”. Efek promosi Quantum Learning ini juga merembet ke lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah. Banyak lembaga-lembaga kursus dan pelatihan di kota-kota besar Indonesia saat ini yang memperdagangkan program-program learning skill berbasis Quantum Learning.

Lalu mengapa musik klasik? Atau bahkan mengapa musik digunakan dalam program belajar? Alasannya karena musik merupakan salah satu “makanan” penting dari otak kanan. Selama ini program belajar hanya memfungsikan otak kiri semata yang melulu bersifat linear, logis dan matematis. Penggunaan otak yang tidak seimbang ini kemudian cepat menimbulkan kelelahan dan kejenuhan bagi orang yang belajar. Otak kanan yang tidak punya kerjaan tadi kemudian berfungsi sebagai pengganggu saudaranya, otak kiri yang sedang pusing dengan rumus-rumus dan hafalan. Di sinilah fungsi musik klasik (begitu pula warna-warni dan gambar) dalam belajar. Ia memberi sebuah aktifitas bagi otak kanan sehingga ia tidak lagi mengganggu otak kiri di saat belajar.

Pengalaman penulis sendiri, pada semester terakhir di SMP (kira-kira 10 tahun yang lalu), penulis selalu ditemani musik radio saat belajar. Tentu saja musik yang didengarkan adalah musik pop, bukan musik klasik. Pada saat itu memang ada perubahan yang sangat signifikan dalam stabilitas semangat belajar serta hasilnya. Penulis yang tidak pernah mendapat ranking sepuluh besar sepanjang belajar di SMP (bahkan sejak di SD), muncul dengan NEM tertinggi di sekolah yang tentu saja membuat banyak siswa lain terkejut. Musik tentu saja bukan satu-satunya faktor sukses, tapi siapa tahu ia memang memberi pengaruh positif dalam mendukung kegiatan belajar.

Bagi kalangan muslim, hal ini tentu saja tidak sederhana, karena musik pop atau bahkan musik klasik tidak mendapatkan pembolehan dari mayoritas ulama Islam yang terpercaya karena alasan-alasan yang syar’i. Namun, pada saat ini nasyid berkembang dengan baik di berbagai belahan dunia muslim. Jadi, bagi setiap muslim, tidak perlu mendengarkan musik-musik pop yang isinya seronok dan melalaikan itu untuk meningkatkan hasil belajar, dengarkan saja nasyid Islami sebagai alternatif. Hasilnya juga tentu tidak kalah dari musik klasik.

Apa yang dibahas di atas merupakan efek pendukung belajar dari musik klasik. Musik klasik juga punya efek memperkaya fikiran. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa musik klasik yang diperdengarkan secara terpola pada janin di dalam kandungan bisa meningkatkan kecerdasan janin-janin ini kelak ketika lahir. Dalam buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan oleh Van de Carr dan Lehrer, diceritakan tentang seorang konduktor simfoni terkenal, Boris Brott, yang suatu hari merasa akrab dengan irama selo yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Ketika ia menceritakan hal itu pada ibunya yang merupakan seorang pemain selo profesional, ibunya menjadi heran. Ternyata musik selo tersebut sering ia mainkan ketika Brott masih di dalam kandungannya.

Ketika membaca cerita ini, penulis tersentak dan teringat dengan banyak ulama klasik dan modern yang mempunyai prestasi-prestasi raksasa. Banyak dari para ulama ini yang sangat cerdas dan mampu menghafalkan seluruh Al-Qur’an pada usia sepuluh atau belasan tahun, sebut saja misalnya Imam Syafi’I, Hasan Al-Banna atau Sayyid Qutb. Mungkinkah ini karena bacaan Al-Qur’an orang tua mereka sangat efektif dan memberi stimulus (rangsangan) bagi akal para ulama ini sejak mereka masih di dalam kandungan? Jadi bagi setiap muslim yang memiliki keimanan di dalam hatinya ketika mendengar tentang teori-teori terbaru yang ada sekarang terkait dengan efek musik (klasik) terhadap kecerdasan janin hendaknya jangan terlalu kaget, terperangah apalagi merasa inferior. Semua hal positif dari penelitian-penelitian itu sudah menjadi tradisi Islam sejak lama. Jadi ketimbang anda ikut-ikutan jadi korban promosi “Efek Mozart” ala Barat, lanjutkan saja tradisi “Efek Murottal” para ulama Islam, dan silahkan bandingkan hasilnya.

Sumber :
medicalzone.org
ruqyah-online.blogspot.com
khaznah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar