Sekolah Bukan ‘Rumah Pejagalan Pikiran’

Ada tiga thesis utama yang dikemukakan Bapak Pendidikan Modern, John Amos Comenius tentang pendidikan. Pertama, pendidikan merupakan daya pemersatu uamt manusia. Comenius yakin bahwa pendidikan universal dapat turut memelihara perdamaian dunia. Kedua, Comenius juga mengaitkan pengetahuan keilahian. Ia percaya bahwa dengan memperoleh pengetahuan, umat manusia pada akhirnya diarahkan kepada Allah. Dan ketiga, para siswa hendaknya tidak terlalu dibebani dengan pelajaran yang tidak cocok dengan usia, daya pemahaman, dan keadaan pada saat itu.

Tiga thesis utama di atas merupakan jawaban Comenius atas kesemrawutan, disorientasi, dan ‘ketidakbecusan’ pendidikan Eropa pada zamannya. Dimana menjamurnya fakta bahwa hanya pria yang dianggap layak mendapat pendidikan, kecuali yang berasal dari keluarga miskin. Pengajaran di dalam kelas sebagian besar dilakukan dengan menjejalkan kata, kalimat, dan tata kalimat untuk semua ilmu pengetahuan.

Guru pun tampil superior sebagai yang cerdas, sementara murid atau para siswa dipandang sebagai ‘tong air’ yang mesti diisi dan atau sebuah ‘alat rusak’ yang mesti diperbaiki. Di hadapan guru, murid atau para siswa tidak dapat mengeksplorasi diri (minat dan bakat). Murid atau para siswa dipandang hanya terdiri atas ‘kepala’ yang tidak punya ‘kaki dan tangan’.

Tidak hanya itu, sistem pendidikan yang ketat dengan tingkat disiplin yang tinggi, kadang-kadang kejam, ditambah suasana moralnya sangat mengerikan, membuat Comenius geram. Menurutnya, sekolah telah mengambil alih peran dan fungsi rumah pejagalan sebagai roh pendidikan. Protes itu amat terang dalam kalimatnya bahwa sekolah-sekolah telah berubah menjadi “rumah pejagalan pikiran”

Protes Comenius sebagai buah dari refleksi atas situasi pendidikan pada zamannya menginspirasi banyak orang. Tidak hanya di negeri kelahirannya Republik Ceko, tetapi hampir ke seluruh penjuru Eropa. Melalui ketiga bukunya yang terkenal yakni The School of Infancy, selanjutnya The Visible World, dan The Great Didactic Comenius memelopori model pendidikan yang kontekstual. Melalui karya dan kiprahnya, Comenius tidak hanya dielu-elukan sebagai jenius, tetapi juga ditahbiskan sebagai Bapa Pendidikan Modern.

Menurut Comenius pendidikan harus menekankan pada metode pengamatan alami dan langsung terhadap dunia. Pengindraan merupakan metode mengajar yang tepat karena segala sesuatu diketahui melalui kegiatan mengindrai. Agar mencapai tujuan pendidikan yang ideal, pengajaran harus mencakup tiga hal mendasar, yakni pertama, meyakinkan dan cermat. Kedua, pasti dan jelas, serta yang ketiga, mudah dan menyenangkan.

Selanjutnya menurut Comenius pendidikan atau mengajar akan menjadi mudah dan menyenangkan apabila mengikuti proses yang terjadi dalam alam. Hal itu terjadi apabila, pertama, memulai sedini mungkin sebelum jiwa dan kepribadian peserta didik, murid atau siswa dirusak oleh berbagai kepentingan. Kedua, jiwa dan kepribadian harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk menerima pendidikan. Situasi dan iklim pendidikan harus diciptakan secara kondusif. Ketiga, pendidikan harus berlangsung dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus, dengan memulai dari hal-hal yang mudah dan berproses menuju ke hal-hal yang sukar. Keempat, murid atau pelajar tidak dibebani dengan banyaknya mata pelajaran.

Kelima, penekanan ada pada proses. Kemajuan tidak dipaksakan, tetapi berproses secara berangsur-angsur. Keenam, tidak memaksakan pengetahuan yang berat. Menurut Comenius, intelektualitas jangan dipaksakan, tetapi berkembang sesuai dengan usia dan menggunakan metode yang alami. Ketujuh, dan terakhir adalah pendidikan harus terlibat dan melibatkan diri di tengah realitas sosial. Para pelajar atau siswa harus diikutsertakan dalam pembangunan masyrakat, dengan menyertakan mereka dalam situasi sosial masyarakat yang ada.

Belajar dari Comenius dengan merefleksikan situasi pendidikan di tanah air, kita mestinya tergugah. Kita mestinya sadar untuk selalu harus mengevaluasi sistem, metode dan iklim pendidikan kita. Apakah kita telah sungguh menjadikan sekolah sebagai ‘ruang kehidupan’ atau sebaliknya menjadi ‘rumah pejagalan pikiran’. Selamat berefleksi. (Dari berbagai sumber)

sumber: krisbheda.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar