Membebaskan Diri dari Mitos-Mitos Pendidikan

Bayi kita berceloteh dalam ‘bahasa planet’, lalu pelan-pelan membunyikan suku kata. Kita menyemangatinya sampai akhirnya dia lancar bicara. Batita kita tertatih-tatih melangkah. Ia jatuh terjerembab, lalu berdiri lagi dan kembali melangkah. Kita terus menyemangati.  Balita kita susah payah berusaha mengancingkan bajunya. Kita menahan nafas dan memberi dukungan. Dengan sabar kita menunggu anak kita melampaui semua proses belajar ini dan dengan penuh sukacita merayakan setiap pencapaian mereka, sekecil apa pun capaian itu.

Namun, tanya Jan Hunt – aktivis senior unschooling Amerika dan penulis buku Natural Child yang diwawancari dalam sesi kedelapan Conscious Parenting Summit – mengapa ketika anak masuk ‘usia sekolah’ kita kehilangan iman kita bahwa anak itu pembelajar alami? Mengapa kita pikir bahwa kapasitas belajar itu berkurang atau menghilang kecuali dia masuk ke dalam sistem bernama sekolah? “Harus diceramahi oleh guru, harus duduk diam, harus menjalani berbagai macam ulangan dan tes” – apakah betul tanpa itu semua anak tidak mau belajar? Bagi unschooler seperti Jan Hunt, pernyataan bahwa “anak wajib ke sekolah” atau “sekolah adalah tempat belajar satu-satunya dan utama” adalah mitos-mitos keliru, tidak sesuai dengan kenyataan, yang kita harus bongkar.

Ketika kita begitu mendewa-dewakan sekolah, mata kita tertutup. Lalu kita memaksa anak-anak untuk tinggal di dalam sistem ini, sekalipun kita terus memperoleh lebih banyak bukti bahwa sistem ini tidak efektif. Mengapa tidak efektif? Karena anak dibuat belajar dengan rasa takut. “Anak-anak takut tidak mendapat nilai bagus, mereka takut guru akan memarahi mereka, mereka takut anak-anak lain akan mencemooh mereka.” Persis seperti pada orang dewasa, rasa takut akan mengganggu proses belajar anak-anak, membuat mereka terputus dari kesenangan belajar yang sesungguhnya. Dan jika situasi ini dilanjutkan selama berbelas-belas tahun, apa yang terjadi? “Pada usia 37 tahun, kita masih suka mimpi buruk tentang berada di ruang ujian akhir menghadapi soal yang sulit dan tidak bisa menjawabnya!”

Barangkali sebagian Anda belum akrab dengan istilah unschooling. Ini adalah nama untuk menyebut satu pendekatan spesifik dalam menjalan pendidikan berbasis rumah (home education). Seperti pernah saya bahas di bab 27 buku Cinta Yang Berpikir, gerakan unschooling diawali oleh John Holt, seorang guru Amerika tahun 1970-an. Sekian lama berkecimpung di dunia pendidikan formal, Holt akhirnya yakin bahwa pendidikan ideal yang ia harapkan tidak akan pernah tercapai lewat sistem sekolah, Holt lantas mengkampanyekan model pendidikan tanpa sekolah yang berpusat kepada anak (child-centered).

John Holt bilang bahwa merupakan satu kesalahan fatal ketika orangtua berpikir bahwa pendidikan identik dengan sekolah formal. Menurutnya, pemikiran bahwa sekolah itu sakral, wajib, tak tergantikan, satu-satunya penyedia pengetahuan adalah mitos yang harus dibongkar. Mengapa?

Pertama, sekolah tidak benar-benar memfasilitasi kodrat anak sebagai pembelajar. Holt memperoleh banyak surat dari para orangtua yang mengeluhkan bagaimana sekolah ‘mengkhianati’ rasa cinta belajar anak. Anak terlahir sebagai pembelajar, tetapi atas nama ‘sistem’, sekolah justru mendidiknya untuk tidak suka belajar. “Dia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Di kelas ia mendapati kemampuan membacanya satu sampai tiga tahun lebih maju ketimbang teman-temannya. Tentu saja ia malas mengerjakan latihan-latihan membaca yang kelasnya kerjakan, buat apa belajar apa yang dia sudah bisa lakukan? Tapi ketika dia bersikap seperti ini, dia mendapat masalah. Guru memerintahkannya untuk mengerjakan tugas yang anak-anak lain kerjakan, dan ketika dia berkata bahwa dia tidak mau, guru itu menghukumnya. Mungkin guru itu memarahinya di depan anak-anak lain, menyita bukunya, menyuruhnya berdiri di pojok kelas, menguncinya di dalam kamar mandi, memukulnya, memberinya nilai jelek, menyebutnya ‘hiperaktif’. Seringkali guru seperti ini juga menasihati orangtuanya bahwa kecuali si anak mau mengerjakan apa yang anak lain kerjakan, dia akan gagal dan harus tinggal kelas, yang berarti dia tidak bisa memperoleh bahan bacaan untuk tingkat kemampuan yang lebih tinggi.” (Teaching Your Own, hlm. 18)

Kedua, sekolah memiliki pandangan yang terlalu sempit tentang belajar dan pengetahuan. Sekolah meyakinkan kita bahwa proses belajar hanya terjadi di tempat tertentu (ruang kelas atau lingkungan sekolah), pada waktu tertentu (jam sekolah), dengan kurikulum tertentu, bersama orang berkualifikasi tertentu (guru), untuk mencapai standar tertentu (ijazah). Padahal, kenyataannya pengetahuan itu ada di mana-mana. Anak bisa belajar di mana saja, kapan saja, bersama atau dari siapa saja.

Ketiga, sekolah tidak memfasilitasi gaya belajar yang alamiah. Seharusnya, seseorang belajar berangkat dari kebutuhan dan minatnya. Belajar berdasar kebutuhan atau minat, menentukan sendiri target belajar apa yang ingin dicapai, kemudian mengatur sendiri seberapa intensif kita mau belajar, kegiatan belajar apa saja yang kita perlukan, lalu mencari bahan belajar secara eklektik (dari berbagai sumber), semuanya dikerjakan secara merdeka, itulah gaya belajar alamiah yang kita kerjakan “sebelum memasuki sekolah, juga setelah kita keluar dari sekolah dan memasuki dunia nyata,” kata Holt. Cara belajar di sekolah, ketika gurulah yang aktif mengarahkan pembelajaran, sementara siswa pasif menunggu penjelasan dan instruksi, akan mematikan inisiatif belajar anak. Dari pengalamannya sebagai guru selama bertahun-tahun, Holt mendapati bahwa model pembelajaran seperti ini sangat artifisial. Anak-anak hanya berpura-pura belajar demi nilai yang bagus, tetapi tidak memperoleh pengetahuan.

Jan Hunt sendiri mantap memilih opsi unschooling untuk mendidik anaknya setelah membaca buku-buku John Holt dan testimoni para unschooler lain di majalah Growing Without Schooling. “Saya percaya bahwa Jason sudah membawa kurikulum di kepalanya. Dialah yang paling tahu apa yang paling menarik minat belajarnya dan proses belajar akan terjadi paling efektif saat anak meminati pelajarannya. Tidak mungkin ada guru di sekolah mana pun yang bisa memenuhi kebutuhan belajar anak saya sementara dia harus menghadapi 10, 20, bahkan 30 anak. Kalau setiap anak punya minat yang spesifik pada satu waktu tertentu, perlu berapa banyak waktu bagi guru untuk mengenali semua minat itu, apalagi memenuhinya?”

Dengan  unschooling, tanggung jawab belajar sepenuh dipercayakan kepada anak. Anak bisa belajar apa yang dia mau, ketika dia mau, dengan cara yang dia mau, di tempat yang dia mau, untuk alasan-alasan yang dia mau. Proses pembelajaran sepenuhnya dikendalikan oleh anak. Bantuan dari orang lain, termasuk orangtua, hanya diberikan apabila dikehendaki olehnya. Tidak ada kurikulum, rancangan pelajaran (lesson plan), jadwal, atau agenda, bahkan tidak ada dua keluarga unschooler yang menjalankan unschooling dengan cara yang sama. Itulah yang dikerjakan Jan Hunt bersama Jason sejak anak tunggalnya itu berusia dua tahun – suatu proses belajar yang dia bilang “all fun!”, jauh dari rasa takut atau paksaan.

Ketakutan yang membelenggu para orangtua sehingga mereka tidak berani mempertimbangkan unschooling/homeschooling, kata Jan, antara lain adalah soal sosialisasi. “Di sekolah anak akan punya banyak teman,” kata mereka, “Kalau belajar di rumah bagaimana anak belajar bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya?” Dalam hal ini, Jan menggunakan asas falsifiabilitas dengan “Betulkah?” – lalu mencari bukti kebalikannya. Lalu ia mengangkat contoh salah satu keluarga unschooler yang tinggal di pedalaman Alaska karena sang ayah bekerja sebagai peneliti. Keluarga ini betul-betul terpencil dari masyarakat, sehingga si anak relatif hanya bergaul dengan ayah dan ibunya saja, kecuali saat mereka bisa pergi ke kota. Setelah dewasa dan masuk ke perguruan tinggi, teman-teman kuliah si anak merasa kaget mendengar riwayatnya, “Kau tidak pernah punya teman? Masa iya? Wah, kami sama sekali tak menyangka itu, sebab kau adalah salah satu pribadi paling manis yang pernah kami kenal!” Anak itu menyahut, “Tentu saja, ayah dan ibuku kan orang-orang baik!” Jadi, ternyata premis ‘anak hanya akan pandai bersosialisasi dengan teman sebaya kalau dia bersekolah’ itu adalah mitos juga!

Setahu Jan, anak-anak unschooler pandai-pandai saja dalam bergaul, bahkan relatif lebih percaya diri berinteraksi dengan semua kalangan dari semua umur dibandingkan anak-anak sekolahan. Bergaul dengan orang dewasa OK, dengan bayi pun OK. Bergaul dengan tetangga OK, dengan orang asing pun OK. Mereka tidak merasa bahwa mereka harus berkumpul hanya dengan teman sebaya saja. Lagipula, ketika tidak terus-menerus dikungkung oleh teman-teman sebaya, anak unschooler justru terbebas dari peer pressure. Tidak ada bullying, tidak harus mengikuti tren, mereka bebas merdeka menjadi diri sendiri, dus – menjadi lebih bahagia.

Secara akademis, anak unschooler atau homeschooler juga relatif berprestasi lebih baik. “Sampai-sampai beberapa perguruan tinggi ternama di Amerika, seperti Harvard, sekarang memprioritaskan calon mahasiswa unschooler/homeschooler sebab di kampus mereka selalu tampil menjadi siswa-siswa unggulan,” kata Jan. Rahasia prestasi akademis anak unschooler/homeschooler adalah “mereka mengenali minat mereka sendiri, mereka mengenali kekuatan-kekuatan mereka, jadi kalau mereka mendaftar ke perguruan tinggi, mereka tahu apa alasan mereka ke sana. Mereka kuliah bukan sekedar supaya lulus lalu dapat pekerjaan, tapi untuk mempelajari apa yang mereka sukai.”

Namun, yakin akan pilihan unschooling/homeschooling jangan lalu membuat kita bersikap arogan dan emosional. Belajar dari pengalamannya dulu, Jan menyarankan kepada para keluarga unschooler/ homeschooler untuk menjawab serangan atau kritik – terutama dari keluarga besar – dengan lemah lembut. “Saya sendiri dulu juga diserang habis-habisan oleh keluarga saya dan itu membuat saya merasa sangat tidak bahagia,” kenangnya. “Namun, setelah tahun demi tahun berlalu, anak saya tumbuh besar, mereka melihat betapa dia menjadi anak yang amat sangat baik, dia suka belajar dan begitu cerdas, dia juga bahagia dan baik hati, maka penolakan mereka makin berkurang. Mereka mengkritik karena cemas, sebenarnya. Mereka cemas cucu mereka tidak akan bisa membaca, tapi suatu hari mereka melihat dia sudah bisa membaca. Mereka cemas cucu mereka tidak bisa bergaul, tapi kemudian mereka melihat dia bisa. Dan semua kecemasan yang lain, satu demi satu lenyap karena mereka lihat bahwa segalanya baik-baik saja. Jadi, alat untuk meyakinkan yang terbaik adalah dengan memperlihatkan hasilnya. Dan akan sangat berguna jika Anda belajar teknik berkomunikasi yang tidak menciptakan lebih banyak konflik, jangan menjawab kritik mereka dengan amarah.”

sumber: cmindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar