'Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an (1)
Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Apakah konsep tentang 'Adalah (kejujuran dan sifat keadilan serta dipercaya) Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Pendahuluan
Di Facebook, Jalaluddin Rakhmat mengundang saya untuk mengomentari tulisannya, sebagai berikut: "Posts another article about "Sahabat dalam Timbangan Al-Quran" and invite people who sacralize sahabat to comment, including Abdul Hayyi Al-Kattani and others."
Membaca kalimat di atas, saya tertegun sejenak: apakah konsep tentang 'Adalah Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Salah Paham Tentang Konsep 'Adalah Sahabat.
Di sini, saya melihat ada kesalah-pahaman tentang konsep 'adalah para sahabat. Sebenarnya konsep "'adalah sahabat" sederhana saja. Yaitu menilai diri para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, serta seluk beluk kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.
Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang ma'shum yang tak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat ma'shum atau terhindar dari dosa hanya dimiliki oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saja.
Secara logika, ini sangat diterima. Mengapa? Karena di mana pun di dunia ini, ketika orang ingin mengetahui sejarah dan catatan-catatan tentang kejadian sebelum kelahirannya, pasti memerlukan info dari orang yang hidup sebelumnya. Kita bisa saja lebih berpendidikan dari orang tua kita. Tapi kejadian-kejadian di tengah keluarga kita, sebelum kita lahir, atau ketika kita masih balita, pastilah mereka yang tahu. Sepintar dan sesuci apa pun kita melihat diri kita, tidak mungkin kita lebih tahu dari orang tua kita tentang semua kejadian sebelum kita lahir. Di sini, keinginan kita untuk mengetahui sejarah otentik keluarga kita atau masa-masa balita kita, harus meletakkan orang tua kita sebagai sumber informasi yang terpercaya. Kecuali jika mereka terbukti senang berdusta. Karena jika tidak, kemana lagi kita mesti mencari informasi tersebut?
Membatasi sumber informasi, membuat kita menghasilkan gambaran yang tidak otentik terhadap objek yang ingin kita ketahui.
Demikian juga dengan keinginan kita untuk mengetahui riwayat otentik Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Melalui siapa kita mengetahui semua itu? Tentu jawabnya adalah melalui para sahabat, isteri-isteri beliau dan anak-anak serta menantu beliau yang pernah mengalami hidup bersama beliau atau mendengar suatu riwayat dari beliau.
Di sini kita mesti meletakkan para sahabat sebagai sumber informasi atau riwayat otentik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kecuali jika orang tersebut terbukti pernah berdusta terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sudah memberikan kata pasti bahwa si A adalah sosok yang tidak bisa dipercayai/munafik.
Apakah ada alternatif selain itu untuk mengetahui riwayat otentik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?
Orang bisa mengatakan: "Ada, yaitu lewat anak dan menantu serta keturunannya. Yaitu anak beliau, Fathimah Radhiyallahu 'anha dan menantu beliau, Ali bin Abi Thalib serta kedua anak mereka, Hasan dan Husein. Karena merekalah Ahlu Bait yang masuk dalam hadits Kisaa'."
Tapi nyatanya untuk mengetahui keutamaan (fadhail) diri mereka saja kita harus mengandalkan riwayat-riwayat dari para sahabat. Bayangkan jika kita mencampakkan para sahabat atau isteri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai sumber riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari mana lagi kita mengetahui keutamaan atau fadhaail Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan keluarganya yang disampaikan langsung oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Bukankah hadits Kisaa' yang diagung-agungkan Syi'ah sebagai keutamaan Ali bin Abi Thalib dan keluarganya itu diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?
Orang bisa meneliti, kitab-kitab ulama Syi'ah Imamiyah Ja'fariyah yang mengklaim hanya mengandalkan riwayat dari Ahlu Bait, nyatanya mereka hampir tidak memiliki riwayat-riwayat yang bersambung dengan sanad sahih hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melalui jalur Ahlu Bait. Apakah seperti itu bisa dianggap otentik?
Kalau orang menisbahkan riwayat Ahlul Bait kepada Ja'far As-Shadiq, namun hingga saat ini kita tidak pernah tahu Ja'far As-Shadiq mempunyai kumpulan hadits atau karya tulis yang bisa dijadikan rujukan. Jadi dari mana kita tahu ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang otentik melalui Ahlul Bait?
Dan Al-Qur'an yang sampai kepada kita saat ini juga tidak diriwayatkan melalui Ahlu Bait. Tapi melalui jalur periwayatan para sahabat. Bagaimana jadinya jika kita menolak para sahabat sebagai jalur periwayatan Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Dari mana kita mengetahui teks dan bacaan Al-Qur'an yang benar?
Oleh karena itu, tidak aneh jika para Imam dari kalangan keluarga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengambil riwayat-riwayat Sunnah dari kalangan sahabat serta berdalil dengan perbuatan mereka. Seperti diriwayatkan dalam salah satu dari empat kitab terpenting Syi'ah Imamiyah Ja'fariyah, yaitu kitab Man La Yahdhuruhul Faqih sebagai berikut:
قال الشيخ الصدوق 4242: وروى عبد الله بن ميمون عن أبي عبد الله ، عن أبيه عليهما الصلام قال : ":ان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله بتبوك يعبون الماء ، فقال رسول الله صلى الله عليه وآله : اشربوا في أيديكم فإنها من خير آنيتكم " . ( من لا يحضره الفقيه ج 3 ص 353)
Syekh Shaduq berkata: (4242) Abdullah bin Maimun meriwayatkan dari Abi Abdillah (Ja'far As-Shadiq) dari ayahnya 'Alaihis salam, ia berkata: "Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat di Tabuk minum dengan secara langsung ke tempat air. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Minumlah dengan tapak tangan kalian, karena ia adalah gelas yang paling baik bagi kalian." (Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, jilid. 3, hal. 353).
Konsep 'Adalah Sahabat Menurut Ulama.
Ibn Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (1/306-307): "Dari kalangan sahabat bisa saja seseorang dari mereka melakukan kesalahan, dan berbuat dosa. Karena mereka bukan orang-orang yang ma'shum. Namun mereka tidak mungkin sengaja berdusta. Karena siapa yang sengaja berdusta atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam niscaya Allah subhanahu wata'ala akan membongkar dustanya." Dalil tentang hal itu terdapat dalam kitab Sahih Bukhari (6780) yang berisi tentang seorang laki-laki yang berulang kali dihadapkan ke pengadilan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam untuk dihukum dera karena meminum-minuman keras. Kemudian ketika salah seorang sahabat melaknatnya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencegahnya sambil bersabda:
لا تلعنوه، فو الله ما علمت إنه يحب الله ورسوله
"Jangan kalian laknat dia, Karena demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."
Ibnu Hajar berkomentar: "Dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang menyangka bahwa pelaku dosa besar otomatis kafir. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang melaknatnya. Sambil memerintahkan untuk mendoakan orang itu. Dari situ juga dipahami bahwa tidak ada unsur saling menafikan antara melanggar larangan dengan keberadaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hati pelaku dosa itu. Karena Rasul shallallahu 'alaihi wasallam memberitakan bahwa orang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya, meskipun orang itu melakukan tindakan yang diharamkan." (Lihat: Fathul Bari: 12/78).
Kasus serupa pernah terjadi pada Hathib bin Abi Balta'ah, dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari (4890) dan Muslim (2494). Ia saat itu dituduh melakukan tindakan memata-matai kaum Muslimin. Namun demikian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap tidak memvonis dia sebagai kafir.
Orang yang mempelajari sirah para sahabat Radhiyallahu 'anhum niscaya akan mendapati sahabat yang diberitakan pernah melakukan dosa sangatlah sedikit jumlahnya. Dan diantara yang sedikit itupun tidak dapat dibuktikan kesalahannya.
Jika kita melihat dengan pandangan jujur, niscaya kita dapati para sahabat yang meriwayatkan sunnah tidak didapati melakukan dosa seperti itu. Sedangkan jika pun ada, ternyata yang melakukannya orang yang statusnya sebagai sahabat masih diperdebatkan, seperti Walid bin Uqbah. Dan begitu pun, Walid bin Uqbah tidak pernah meriwayatkan hadits, setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan namanya disebut pada masa hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam semata untuk kepentingan penjelasan hukum atas kasus yang terjadi, sesuai syari'ah.
Al-Alusi berkata dalam kitab Al-Ajwibah Al-'Iraqiyah, hal. 23-24:
"Bukanlah maksud perkataan kami: Seluruh sahabat 'uduul (dipercaya dan jujur), berarti mereka tidak melakukan kesalahan atau dosa sama sekali. Mereka bisa saja melakukan dosa… kemudian yang patut diingat bahwa dari kalangan sahabat yang melakukan dosa, hingga akhirnya dijatuhui hukuman, mereka sangat sedikit jumlahnya, dibandingkan ribuan sahabat yang mulia yang terbukti memegang teguh jalan hidup yang lurus. Dan Allah subhanahu wata'ala menjaga mereka dari dosa dan maksiat, yang besar maupun kecil dan yang lahir maupun yang bathin. Sejarah yang jujur menjadi bukti atas fakta tersebut."
Sedangkan Abu Hamid Al-Ghazali berkata dalam kitab Al-Mustashfa, hal. 189-190 sebagai berikut:
"Yang dijadikan pegangan oleh para sahabat dan jumhur: bahwa 'adalah Sahabat diketahui sesuai dengan pemberian sifat 'adalah itu oleh Allah subhanahu wata'ala kepada mereka. Serta pujian-Nya bagi mereka dalam Al-Qur'an. Ini adalah keyakinan kami tentang mereka. Kecuali jika terbukti secara nyata salah seorang dari mereka melakukan dosa dengan sengaja. Dan hal seperti itu ternyata tidak terjadi. Sehingga terhadap mereka tidak perlu lagi dilakukan screening ke-'adalah-an."
'Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an (2)
Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Apakah konsep tentang 'Adalah Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Bain Al-'Athifah wa Al-Burhan?
Cukup menarik membaca tulisan Jalaluddin Rakhmat di bagian akhir artikelnya. Hal itu mendorong saya mengkaji hal ini terlebih dahulu sebelum mengkaji metodologi membaca Al-Qur'an, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tampak mengecam sahabat, serta kajian atas peristiwa-peristiwa yang dialami sahabat secara detail, seperti yang dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat. Karena menurut saya itu sangat mudah dijawab oleh mereka yang mau membuka tafsir-tafsir Al-Qur'an maupun hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beserta takhrijnya dan sirah Rasul. Inti masalahnya hanya di metodologi bacaan dan pilihan bacaan. Jika itu dijelaskan, akan terjawab semuanya. Jadi pembahasan itu kita lakukan setelah bahasan sekarang ini.
Saya berikan sedikit "bocoran" tentang metodologi yang Jalaluddin Rakhmat gunakan dalam membaca/menilai para sahabat. Menurut saya itu metodologi "wailul lil mushallin". Detailnya Insya Allah nanti ditulis di artikel lanjutannya.
Sekarang, saya ingin mengkaji pernyataan Jalaluddin Rakhmat: Benarkah persoalah sahabat adalah persoalan Bain Al-'Athifah wa Al-Burhan, antara rasa cinta kita kepada sahabat dengan bukti-bukti- baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, maupun kajian-kajian ilmiah?
Benarkah, kita ketakutan untuk membongkar "borok-borok" sejarah karena takut kehilangan tokoh teladan setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Dan benarkah konsep 'Adalah Sahabat bermakna 'Ishmah Shahabah?.
Saya sudah paparkan sebelumnya tentang apa konsep 'Adalah Sahabat tersebut secara mendasar. Dan jelas itu bukan suatu bentuk 'Ishmah Sahabat. Sehingga menurut saya, Dr. Muhammad Zain tidak perlu menulis disertasi dengan judul "Dekonstruksi Sakralisasi sahabat Nabi". Karena tidak ada pensakralan dengan pengertian ishmah (ma'shum) di situ. Jadi yang perlu ditulis adalah sejarah sahabat dengan benar dan berdasar sumber-sumber yang sahih, sambil mengkritisi sumber-sumber sejarah yang ada. Sehingga dihasilkan sejarah sahabat yang benar dan tidak mengandung unsur-unsur yang lemah atau palsu, yang bisa merusak gambaran kita tentang mereka.
Kita, umat Islam, sama sekali tidak takut mengkaji sejarah kita. Malah itu sangat dianjurkan dan orang yang melakukannya Insya Allah dapat pahala karena jasanya bagi Islam. Hal itulah yang mendorong para ulama menulis buku-buku mereka, dengan tebal puluhan jilid. Mereka mengorbankan waktu, harta dan kepentingan pribadi mereka demi mewujudkan semua itu.
Tapi masalahnya: Apakah kita tidak boleh punya 'athifah (cinta) terhadap sahabat ketika mengkaji mereka? Dan apakah ketika kita cinta kepada mereka, secara otomatis kita akan menolak burhan )bukti nyata) berupa Al-Qur'an, sunnah dan kajian-kajian ilmiah?
Menurut saya itu tidak benar sama sekali. Karena cinta kita terhadap sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dituntun oleh burhan (bukti nyata) berupa Al-Qur'an, Sunnah dan kajian ilmiah. Tanpa burhan (bukti nyata), untuk apa kita mencintai orang yang hidup seribu tahun lebih dari kita, yang tidak mempunyai hubungan darah dengan kita, dan bukan pula satu negara dengan kita.
Cinta kita kepada mereka merupakan turunan dari cinta kita kepada Allah subhanahu wata'ala dan Nabi-Nya. Tanpa adanya hubungan mereka dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan peran sentral mereka dalam menyampaikan riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kita sama sekali tidak perlu mencintai mereka.
Dan faktanya, para sahabatlah (termasuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan keluarganya) beserta isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjadi jalur satu-satunya bagi kita untuk mengetahui tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan ajaran-ajaran beliau yang diturunkan dari langit secara utuh. Maka ketika kita mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, secara otomatis kita harus mencintai mereka. Karena dari merekalah kita mengetahui tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tentang Allah subhanahu wata'ala, tentang tata cara beribadah, tentang akhirat, tentang syari'ah, tentang aqidah dan Al-Qur'an. Cinta kita kepada mereka satu paket yang tak terpisahkan dengan cinta kita kepada Allah subhanahu wata'ala, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan keluarganya.
Dan ini sesuai burhan (bukti nyata) dari Al-Qur'an. Seperti dalam ayat berikut:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr: 10).
Dalam ayat tersebut dengan jelas disebutkan bahwa dalam menyikapi sahabat, yang diperintahkan Allah subhanahu wata'ala kepada kita adalah: mencintai mereka, mendoakan mereka, dan tidak menyimpan kedengkian kepada mereka.
Mereka laksana ibu-bapak kita dalam agama. Karena melalui merekalah nasab agama kita bersambung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tanpa mereka, kemana larinya sambungan nasab agama kita? Sebagaimana tidak jelasnya nasab biologis kita jika kita menafikan keberadaan ibu-bapak biologis kita. Alangkah malangnya kita jika kita melakukan hal itu dengan sengaja.
Dan perlakuan kita menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi sebagai bapak dan ibu kita sesuai burhan (bukti nyata) Al-Qur'an, yang menempatkan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai ibu bagi orang-orang yang beriman. Bagaimana jika kita tidak menghormati dan menempatkan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai ibu kita? Bukankah sifat keimanan kita akan dipertanyakan? Karena kita menghilangkan salah satu ciri keimanan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an.
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (QS. Al-Ahzaab: 6).
Ketika membaca ayat-ayat tadi, maka kami segera menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai orang tua dan ibu kami. Menghormati mereka dan tidak berkata buruk tentang mereka. Serta selalu berbaik sangka kepada mereka.
Ketika kami melakukan itu semua, apakah ada yang aneh di sini? Apakah ada yang tidak logis? Apakah ada yang tidak sesuai dengna burhan (bukti nyata)?
Al-Burhan (bukti nyata) dalam Keilmuan Syi'ah Imamiyah Ja'fariyah.
Saya tahu, karena Jalaluddin Rakhmat penganut Imamiyah Ja'fariyah maka pemaparan ayat-ayat Al Qur`an seperti itu terasa "garing" baginya. Hanya cocok bagi kalangan 'Ammah (non Imamiyah Ja'fariyah), dan tidak mengena untuk kalangan Imamiyah Ja'fariyah. Sehingga tidak memuaskan. Belum terasa sebagai "burhan". Karena menurut Imamiyah Ja'fariyah, Al Qur`an itu tidak mampu berbicara sendiri, maka Ali bin Abi Thalib r.a. dan para imam lah yang bisa menceritakan apa yang terkandung di dalamnya. Pemahaman terhadap Al Qur`an tergantung pada penjelasan mereka. Dan penjelasan serta perkataan mereka itulah burhan yang sejati.
Hal itu seperti keterangan yang diriwayatkan oleh al Kulaini dalam kitab Al Kafi, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:
"ذلك القرآن فاستنطقوه فلن ينطق لكم، أخبركم عنه"، (الكافي 1/61).
"Al Qur`an itu, jika kalian pinta dia untuk berbicara niscaya dia tidak akan dapat berbicara kepada kalian. Maka akulah sejatinya yang bisa menceritakan isinya." (Al-Kafi: 1/61).
Dan menurut Imamiyah Ja'fariyah, para imam itulah Al Qur`an yang sebenarnya. Karena Al Qur`an yang tertulis dalam mushaf hanyalah object mati yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menerangkan isinya. Sehingga keberadaan Al Qur`an dipersonifikasikan oleh sosok para imam yang menerangkan kandungan Al Qur`an. Merekalah Al Qur`an yang hidup dan berbicara.
فأهل البيت هم القرآن الناطق ، والثقل الصادق ، لأن القرآن لا ينطق بلسان ، ولا بد له من ترجمان" (الإمامة والتبصرة ، ابن بابويه القمي، مقدمة).
"Ahlul Bait adalah Al Qur`an yang berbicara. Dan sumber yang jujur. Karena Al Qur`an tidak dapat berbicara dengan lisan, sehingga perlu ada yang menerangkan." (Al Imamah wa at Tabshirah, Ibnu Babuwaih al Qummi, muqaddimah).
(Sebagai catatan: Perlu diteliti, barangkali dari sinilah Roland Barthes mengambil inspirasi untuk tulisannya: The Death of the Author, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris di American journal Aspen, no. 5-6 in 1967 dan 1968 dalam bahasa Francis di majalah Manteia, no. 5. Essay ini kemudian diterbitkan dalam anthology essaynya, Image-Music-Text (1977)).
Dengan pemahaman seperti itu, maka orang biasa hanya bisa membaca Al Qur`an secara literal saja. Sesuai huruf dan kata-kata yang tercetak. Sedangkan untuk mengetahui maksudnya yang sebenarnya, ia harus merujuk para imam Ahlul Bait.
فإنما على الناس أن يقرؤوا القرآن كما أنزل ، فإذا احتاجوا إلى تفسيره فالاهتداء بنا وإلينا. (وسائل الشيعة، الحر العاملي، 27/202).
"Orang boleh saja membaca Al Qur`an sebagaimana ia diturunkan. Tapi ketika ia memerlukan penafsirannya, maka mereka harus berpedoman pada kami dan merujuk kami." (Wasa`il asy Syi'ah, oleh al Hurr al 'Amili, 27/202).
Dengan demikian, sejatinya perkataan para imam itulah burhan yang paling kuat menurut Imamiyah Ja'fariyah. Sedangkan Al Qur`an tidak mempunyai kekuatan hujjah kecuali melalui perkataan imam.
'Adalah Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Menurut Para Imam Ahlul Bait.
Dalam artikelnya, Jalaluddin Rakhmat mempersoalkan beberapa hal yang disebutkan oleh para penulis tentang 'Adalah Sahabat. Antara lain:
Ibn Abi Hatim ar Razi yang memaparkan karakteristik sahabat sebagai berikut:
- Sahabat terpelihara dari segala "keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan".
- Sahabat adalah para imam pemberi petunjuk, dan karena itu seluruh perilakunya harus dijadikan teladan.
- Sahabat juga adalah hujjah agama ; artinya, perilakunya dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum-hukum agama.
Ibnu Atsir yang mengatakan bahwa para sahabat: "tidak layak dikenakan kepada mereka kecaman" (Ibn Al-Atsir, Mukadimah Usud al-Ghabah).
Dan Ibn Hajar al 'Asqallani yang mengatakan: "Jika kamu melihat orang mengkritik seorang saja sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , ketahuilah bahwa ia itu zindiq. Karena Rasul benar, Al-Quran benar, apa yang dibawanya benar. Disampaikan kepada kita semuanya oleh sahabatnya. Mereka bermaksud untuk mengecam saksi-saksi agama kita untuk membatalkan Al-Kitab dan Sunnah. Merekalah orang-orang zindiq, yang lebih pantas mendapat kecaman." (Al-Ishabah 1:18).
Saya akan menjawab keberatan Jalaluddin Rakhmat tentang point-point tersebut kepada para imam Ahlul Bait. Kita akan lihat bagaimanakah para imam Ahlul Bait yang merupakan burhan terkuat Imamiyah Ja'fariyah berbicara tentang para sahabat, di kitab-kitab Imamiyah Ja'fariyah? Apakah mereka menolak konsep 'Adalah Sahabat seperti yang dipaparkan oleh para ulama tadi?
Mari kita perhatikan!
Saya coba paparkan dengan mengajukan pertanyaan, untuk kemudian dijawab dengan teks-teks dari para imam.
Pertanyaan pertama: Bagaimanakah kedudukan dan keutamaan Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. menurut imam Ahlul Bait, dalam referensi Imamiyah Ja'fariyah?
Imam ke 11, Hasan al 'Askari berkata dalam tafsirnya:
إن كليم الله موسى سأل ربه : هل في صحابة الأنبياء أكرم عندك من صحابتي؟ قال الله عز وجل: يا موسى! أما عملت أن فضل صحابة محمد صلى الله عليه وآله على جميع صحابة المرسلين كفضل آل محمد على جميع آل النبيين وكفضل محمد على جميع المرسلين) .(تفسير الحسن العسكري ص 32).
"Kalimullah Musa pernah bertanya kepada Rabb-Nya: Apakah diantara sahabat-sahabat para nabi ada yang lebih mulia di sisi-Mu dibandingkan para sahabatku? Allah subhanahu wata'ala. berfirman: "Musa! Apakah engkau tidak tahu bahwa keutamaan sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. atas seluruh sahabat para Rasul yang lain adalah laksana keutamaan keluarga Muhammad atas seluruh keluarga para nabi. Dan seperti keutamaan Muhammad atas seluruh Rasul." (Tafsir Al-Hasan Al-'Askari, hal. 32).
Pertanyaan kedua: Apakah para sahabat Nabi bisa dijadikan hujjah dan teladan dalam beragama?
Imam yang kedelapan, yaitu Ali bin Musa atau yang dikenal dengan Ali ar Ridha menjawab seperti ini:
قال علي بن موسى الملقب بالرضا - الإمام الثامن عند الشيعة - حينما سئل "عن قول النبي صلى الله عليه وسلم : أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم اهديتم ، وعن قوله عليه السلام: دعوا لي أصحابي:؟ فقال: هذا صحيح . (عيون أخبار الرضا (ع)، الشيخ الصدوق ، ج1 ص 93).
Ali bin Musa ar Ridha imam Ahlul Bait ke delapan ketika ditanya tentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Para sahabatku seperti bintang gemintang, dengan siapapun dari mereka kalian mengikut, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk yang benar." Serta tentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."Jangan kalian berbuat buruk kepada sahabatku." Ali ar Ridha menjawab: "hadits itu sahih." ('Uyun Akbar ar Ridha, karya Syekh ash Shaduuq, juz 1 hal. 93).
Pertanyaan ketiga: Apakah para sahabat melakukan perbuatan yang menyimpang atau berubah aqidahnya dari tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. sehingga mereka menjadi orang yang penuh "keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan"?
Ja'far Shadiq, imam keenam, menjawab:
أبو عبد الله عليه السلام قال : كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة ، و ألفان من مكة ، وألفان من الطلقاء ، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي ، ولا صحاب رأي ، كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون : اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز الخمير." (الخصال، الشيخ الصدوق - ص 639 - 640).
"Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. ada dua belas ribu orang. Delapan ribu orang dari Madinah, dua ribu orang dari Mekkah, dan dua ribu orang dari kalangan ath-Thulaqaa` (yang masuk Islam setelah era Fath Makkah). Dalam diri mereka tidak didapati seorangpun yang menganut paham qadariyah, atau murjiah, atau haruriah, atau mu'tazilah atau rasionalis. Mereka itu selalu menangis di waktu malam dan siang (karena rindu kepada Tuhan mereka) dan mereka berdoa: Ya Allah cabutlah nyawa kami sebelum kami sempat makan roti." (Al Khishal, karya Syekh Shaduuq, hal. 639-640).
Pertanyaan keempat: Apakah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. orang yang bersifat munafiq, kurang iman dan cinta kepada Allah sehingga diragukan dan tidak patut diteladani? Dan jika sebaliknya, bagaimanakah cara meneladani mereka? Dan jika kami memuliakan para sahabat, meneladani mereka dalam beragama, menjadikan riwayat mereka sebagai hujjah dalam beragama, dan meninggikan derajat mereka serta tidak pernah mencela mereka, apakah dengan perbuatan itu berarti kami menyematkan sifat 'Ishmah (kemaksuman) kepada mereka?
Muhammad al Baqir, imam yang kelima menjawab:
عن سلام بن المستنير قال: كنت عند أبي جعفر، فدخل عليه حمران بن أعين، فسأله عن أشياء، فلما هم حمران بالقيام قال لأبي جعفر عليه السلام: أخبرك أطال الله بقاك وأمتعنا بك، إنا نأتيك فما نخرج من عندك حتى ترق قلوبنا، وتسلوا أنفسنا عن الدنيا، وتهون علينا ما في أيدي الناس من هذه الأموال، ثم نخرج من عندك، فإذا صرنا مع الناس والتجار أحببنا الدنيا؟
قال: فقال أبو جعفر عليه السلام: إنما هي القلوب مرة يصعب عليها الأمر ومرة يسهل، ثم قال أبو جعفر: أما إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا: يا رسول الله نخاف علينا النفاق، قال: فقال لهم: ولم تخافون ذلك؟ قالوا: إنا إذا كنا عندك فذكرتنا روعنا، ووجلنا، نسينا الدنيا وزهدنا فيها حتى كأنا نعاين الآخرة والجنة والنار ونحن عندك، فإذا خرجنا من عندك، ودخلنا هذه البيوت، وشممنا الأولاد، ورأينا العيال والأهل والمال، يكاد أن نحول عن الحال التي كنا عليها عندك، وحتى كأنا لم نكن على شيء، أفتخاف علينا أن يكون هذا النفاق؟
فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : كلا، هذا من خطوات الشيطان. ليرغبنكم في الدنيا، والله لو أنكم تدومون على الحال التي تكونون عليها وأنتم عندي في الحال التي وصفتم أنفسكم بها لصافحتكم الملائكة، ومشيتم على الماء، ولولا أنكم تذنبون، فتستغفرون الله لخلق الله خلقاً لكي يذنبوا، ثم يستغفروا، فيغفر الله لهم، إن المؤمن مفتن تواب، أما تسمع لقوله: ] إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ ] وقال: ] وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ] (الكافي ، الكليني ، ج2 ص 423- 424).
قال: فقال أبو جعفر عليه السلام: إنما هي القلوب مرة يصعب عليها الأمر ومرة يسهل، ثم قال أبو جعفر: أما إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا: يا رسول الله نخاف علينا النفاق، قال: فقال لهم: ولم تخافون ذلك؟ قالوا: إنا إذا كنا عندك فذكرتنا روعنا، ووجلنا، نسينا الدنيا وزهدنا فيها حتى كأنا نعاين الآخرة والجنة والنار ونحن عندك، فإذا خرجنا من عندك، ودخلنا هذه البيوت، وشممنا الأولاد، ورأينا العيال والأهل والمال، يكاد أن نحول عن الحال التي كنا عليها عندك، وحتى كأنا لم نكن على شيء، أفتخاف علينا أن يكون هذا النفاق؟
فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : كلا، هذا من خطوات الشيطان. ليرغبنكم في الدنيا، والله لو أنكم تدومون على الحال التي تكونون عليها وأنتم عندي في الحال التي وصفتم أنفسكم بها لصافحتكم الملائكة، ومشيتم على الماء، ولولا أنكم تذنبون، فتستغفرون الله لخلق الله خلقاً لكي يذنبوا، ثم يستغفروا، فيغفر الله لهم، إن المؤمن مفتن تواب، أما تسمع لقوله: ] إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ ] وقال: ] وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ] (الكافي ، الكليني ، ج2 ص 423- 424).
"Dari Salam bin al Mustanir ia berkata: Aku suatu hari berada di tempat Abu Ja'far. Kemudian datanglah Hamran bin A'yun. Dan dia pun bertanya kepadanya tentang beberapa masalah. Dan ketika Hamran ingin pamit, ia berkata kepada Abu Ja'far a.s.: "Aku ingin mengadu kepadamu -semoga Allah memanjangkan usiamu dan menjadikanmu selalu memberi manfaat bagi kami- bahwa ketika kami datang kepadamu, selama kami belum keluar pulang dari majlismu, kami merasakan hati kami menjadi lembut, jiwa kami menjadi tidak senang dunia, dan kami tidak silau dengan harta yang ada di tangan manusia. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, dan kembali bergaul dengan orang banyak serta para pedagang, ketika itu kami kembali cinta dunia. Bagaimana itu bisa terjadi?"
Abu Ja'far a.s. menjawab: "Seperti itulah hati manusia. Terkadang sulit dikendalikan dan terkadang mudah." Kemudian Abu Ja'far kembali berkata: "Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam., kami takut mengalami nifaq". Beliau bertanya: "Mengapa kalian berkata begitu?" Mereka menjawab, "Kami ini jika sedang bersamamu, kami merasakan jiwa kami menjadi halus dan merasakan nuansa ilahiah yang mengisi relung bathin kami. Sehingga kami pun lupa terhadap dunia dan tidak ada keinginan meraihnya. Sehingga kami seakan-akan melihat akhirat, surga dan neraka secara kasat mata, ketika kami berada bersamamu. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, masuk kembali ke rumah kami, kemudian mencium anak-anak kami, melihat isteri dan keluarga kami, serta kembali berurusan dengan harta, maka saat itu kami merasakan mengalami perubahan dari kondisi ketika berada bersamamu, sehingga seakan-akan kami tidak memiliki perasaan tadi lagi. Apakah itu tanda kemunafikan diri kami?"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. menjawab mereka: "Itu sama sekali bukan tanda kemunafikan kalian. Itu hanyalah salah satu bentuk godaan syetan yang ingin membujukmu agar mencintai dunia. Demi Allah, jika kalian terus berada dalam kondisi ruhaniah seperti yang kalian ceritakan sebelumnya, niscaya kalian akan disalami oleh malaikat, dan kalian bisa berjalan di atas air. Tapi jika kalian tidak berbuat dosa sehingga kemudian Allah mengampuni kalian, niscaya Allah akan menciptakan makhluk lain yang akan berbuat dosa untuk kemudian mereka bersimpuh meminta ampunan kepada Allah, dan Allah pun mengampuni mereka. Karena itulah orang beriman itu bersifat kerap mengalami fitnah (sehingga berbuat dosa) untuk kemudian meminta ampunan Allah. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah subhanahu wata'ala: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat." (Qs. Al Baqarah 2: 222) dan firman Allah subhanahu wata'ala: "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya." (Qs. Hud 11: 3). Lihat dalam kitab (Al-Kafi, karya Al-Kulaini, vol. 2 hal. 423-424).
Pertanyaan kelima: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam? Dan apakah kita boleh berkata buruk tentang mereka, mencela mereka dan membenci mereka, dan betulkah orang yang mencerca sahabat dapat dinamakan sebagai orang zindiq?
Imam ke 11, Hasan al 'Askari menjawab:
إن رجلاً ممن يبغض آل محمد وأصحابه الخيرين، أو واحداً منهم يعذبه الله عذاباً لو قسم على مثل عدد خلق الله لأهلكهم أجمعين. (تفسير الحسن العسكري ص196 ، و بحار الأنوار للمجلسي ج 26 ص 331).
"Orang yang membenci keluarga Muhammad dan para sahabatnya yang mulia, atau terhadap salah seorang dari mereka, niscaya Allah akan adzab mereka dengan adzab yang jika ditimpakan kepada seluruh makhluk Allah niscaya binasalah mereka seluruhnya." (Tafsir al Hasan al 'Askari, hal. 196. Juga lihat di Biharul Anwar karya Al Majlisi, juz 26, hal. 331).
Dan saya tutup ungkapan para imam Ahlul Bait itu dengan wasiat penghulu para imam Ahlul Bait, yaitu Ali bin Abi Thalib r.a. tentang para sahabat yang mulia dan persaksian ta'dil dia terhadap mereka:
وأوصيكم بأصحاب نبيكم ، لا تسبوهم ، وهم الذين لم يحدثوا بعده حدثا ، ولم يأتوا محدثا ، فإن رسول الله ( صلى الله عليه وآله) أوصى بهم. (الأمالي ، الشيخ الطوسي ، ص 522 - 523).
"Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi kalian. Jangan kalian cerca mereka. Karena mereka tidak melakukan suatu perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka juga tidak mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. juga berwasiat seperti itu tentang mereka." (Kitab Al-Amaali, karya Syekh Ath-Thuusi, hal. 522-523).
Demikianlah penuturan para imam Ahlul Bait tentang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Saya pikir ungkapan para imam tadi sangat mencukupi untuk menjawab semua keberatan Jalaluddin Rakhmat tentang konsep 'Adalah Sahabat yang dipaparkan oleh Ibnu Abi Hatim ar Razi, Ibn Atsir, dan Ibn Hajar al 'Asqallani.
'Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an (3)
Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Membaca Al-Qur'an dan peristiwa sejarah dalam Islam secara parsial dengan cara pembacaan secara utuh dan integral, sungguh dua hal yang berbeda, hasilnya pun akan berbeda pula.
Maka Kecelakaanlah bagi Orang-orang yang Shalat?
Setelah kita mengetahui bahwa maksud 'Adalah Sahabat secara mendasar adalah "menilai diri para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam., serta seluk beluk kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya."
Dan karena itu kita sudah dapati bahwa menerima konsep 'Adalah Sahabat merupakan suatu keharusan, secara logika maupun dalil syar'i, dalam memahami dan mendapatkan Islam yang otentik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Kita bahkan sudah mendapati jawaban dan konfirmasi bagi karakteristik-karakteristik sahabat yang dipaparkan oleh Ibn Abi Hatim, Ibn Atsir serta al 'Asqallani. Meskipun semua karakteristik tersebut secara lahir tampak "wah".
Dengan catatan bahwa teori-teori para ulama tersebut, maupun karakteristik yang mereka paparkan, tetap membuka diri bagi adanya kajian-kajian lebih jauh.
Sehingga dengan begitu, menurut hemat saya, masalah masyru'iyyat atau legalitas 'Adalah Sahabat sudah terjawab dengan sangat memadai dan tidak lagi perlu diperdebatkan.
Kemudian tinggal sekarang, bagaimanakah kita memahami ayat-ayat Al-Qur'an serta kejadian yang menampilkan sebagian sahabat sebagai sosok yang, menurut Jalaluddin Rakhmat: ragu dalam agamanya, menentang dan membangkang perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam., pernah meninggalkan ibadah, menyakiti Rasul shallallahu 'alaihi wasallam., lari dari medan pertempuran, mengeraskan suaranya di hadapan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam., dan tidak membayar zakat atau perbuatan dosa lainnya?
Bagi sebagian orang, hal itu menghasilkan suatu kontradiksi tersendiri: antara perintah bagi kita untuk menghormati dan meneladani sahabat, dengan kenyataan sebagian mereka tercatat melakukan perbuatan-perbuatan dosa seperti itu.
Bagaimana ini?
Pada titik inilah, menurut saya, Jalaluddin Rakhmat tergoda dan selanjutnya terjebak metodologi "Wailul Lil Mushallin" dalam melihat para sahabat.
Apa itu metodologi "Wailul Lil Mushallin"? Secara literal ia adalah potongan dari surah Al-Ma'un ayat 4, yang bermakna: "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat …"
Secara terminologis, ia bisa dijelaskan sebagai: metodologi membaca ayat atau peristiwa secara parsial atau sepotong-sepotong untuk kemudian dijadikan landasan untuk menetapkan penilaian atas keseluruhan.
Cara membaca dan memandang seperti itu menurut saya sangat tidak tepat dan bisa berakibat fatal. Ia akan mengantarkan kita pada pembentukan gambaran-gambaran yang buruk tentang peristiwa-peristiwa maupun tokoh-tokoh agung seperti para Nabi sekalipun.
Misalnya, ketika kita ingin mengetahui gambaran Nabi Adam dan Hawa dengan hanya berdasarkan pada ayat berikut:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.." (Qs. Al-Baqarah 2:36).
Maka kita akan menilai Nabi Adam dan Hawa sebagai dua sosok yang hina dan dibenci serta dicampakkan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Ketika kita membaca kisah Nabi Musa a.s hanya berdasarkan potongan ayat:
" Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)." (Qs. Al Qashash 28: 15)
Ini akan mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa Nabi Musa a.s adalah seorang bengis, pembunuh, dan berperangai sangat buruk.
Ketika kita membaca kisah Nabi Yunus a.s hanya dengan melihat ayat ini:
"Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)." (Qs. Al-Qalam 68: 48)
Kita akan menangkap kesan Nabi Yunus a.s yang disinggung sebagai "orang yang berada dalam perut ikan" dalam ayat tersebut sebagai orang yang tidak layak diteladani, tempramental dan seorang yang dimurkai oleh Allah subhanahu wata'ala.
Ketika kita membaca kisah Nabi Yusuf a.s hanya dengan melihat potongan ayat:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu". (Qs. Yusuf 12:24) Niscaya akan terbentuk dalam otak kita pikiran-pikiran "ngeres" tentang Nabi Yusuf a.s.
Ketika kita membaca sejarah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. hanya berdasarkan ayat:
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al Anfaal 8:67). Kita akan menangkap kesan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai sosok Nabi yang telah melakukan perbuatan yang tidak patut, senang dunia dan tidak senang akhirat.
Menurut saya, metodologi membaca Al-Qur'an seperti ini sangat berbahaya dan mengantarkan kita kepada kesimpulan yang jauh sekali dari kebenaran.
Demikian juga halnya jika kita menggunakan metodologi itu dalam membaca sejarah para sahabat dan kejadian-kejadian yang pernah mereka lewati bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Saya bisa pastikan tidak ada seorang pun sahabat yang selamat dari kecaman jika kita menggunakan metodologi itu. Termasuk Ali bin Abi Thalib r.a. dan Fathimah r.a.
Jika para Nabi yang mulia, bahkan malaikat sekali pun, tidak bisa selamat dari kecaman jika kita menggunakan metodologi tadi, maka bagaimana mungkin sahabat bisa selamat?
Lantas bagaimanakah metodologi yang tepat untuk membaca Al-Qur'an, sejarah para sahabat dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan?
Membaca Al-Qur'an dan Peristiwa Sejarah Secara Utuh dan Integral.
Seorang pembaca artikel saya ini di Facebook, bernama Islisyah Asman, ketika mendapati saya berhenti di sini cukup lama, tanpa segera menjelaskan contoh-contoh pemotongan ayat di atas, langsung teriak: "Ustazh, bahasan di atas sepertinya menggantung ceritanya. Beri saja penjelasan atas semua pertanyaan yang ada pada tulisan itu. Saya khawatir apabila tulisan itu dibaca oleh orang awam, kasihan, mereka tidak dapat menangkap dengan mudah maksud yang terkandung di dalamnya. Maaf, ini saran saya. Mudah-mudahan bisa diterima."
Begitulah, hati yang beriman dan akal yang sehat tidak menerima jika kita hanya berhenti pada potongan-potongan tersebut, ketika kita berbicara tentang orang-orang agung dalam sejarah.
Dan di situlah bahayanya jika kita menggunakan secara sepotong-sepotong ayat Al-Qur'an maupun peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam tanpa memperhatikan runtutan penjelasan ayat maupun kisah tersebut secara utuh dalam Al-Qur'an.
Maka metodologi yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an maupun peristiwa dalam sejarah Islam adalah dengan membaca kisah itu secara keseluruhan. Tidak hanya sebagian. Untuk kemudian memahamai fragment-fragment yang pernah terjadi yang tampak "tidak bagus" dalam bingkai pemahaman global tersebut.
Dengan cara tersebut, maka kita tidak lagi terjebak dengan metodologi "Wailul Lil Mushallin" atau "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat …", karena kita tahu bahwa runtunan lengkap ayat-ayat tersebut adalah:
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (Qs. Al Ma'uun 107: 4-7).
Dari bacaan atas ayat-ayat secara lengkap itulah kita segera tahu bahwa orang yang celaka itu adalah orang-orang lalai ketika shalat, berlaku riya dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain.
Bandingkan hal itu dengan pemahaman yang kita dapatkan hanya dari potongan ayat tadi. Tentu jauh sekali.
Demikian juga dengan kisah Nabi Adam dan Sitti Hawa. Ketika kita membaca kisah tersebut secara lebih utuh, justru kita menemukan bahwa Nabi Adam dan Sitti Hawa setelah mengalami ketergelinciran dan keterusiran dari surga, keduanya malah mendapatkan anugerah berupa ampunan dan kasih sayang Allah subhanahu wata'ala..
Bacalah ayat 36 surah Al Baqarah ini setelah saya lengkapi lanjutan ayatnya dengan ayat no 37:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (Qs. Al-Baqarah 2:36-37).
Gambaran kita yang negatif tentang Nabi Musa a.s ketika kita hanya membaca ayat dari surah Al Qashash 28: 15, akan segera berubah menjadi positif ketika kita membaca penuturan Al-Qur'an tentang Nabi Musa a.s secara utuh. Dan saat kita melanjutkan bacaan kita atas surah Al Qashash 28: 15 dengan ayat no 16 dan 17, kita dapati bahwa Nabi Musa a.s telah meminta ampunan kepada Allah subhanahu wata'ala. atas tindakannya yang tidak disengaja itu. Dan Allah subhanahu wata'ala. pun mengampuninya.
Kita baca:
"Musa mendoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerah-kan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (Qs. Al-Qashash 28: 16-17).
Ketika kita membaca kisah Nabi Yunus 'Alaihis salam, setelah membaca surah Al-Qalam 68: 48:
"Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)." (Qs. Al-Qalam 68: 48).
Dan kita lanjutkan dengan surat Al-Qalam 68: 49-50. Gambaran negatif kita tentang Nabi Yunus a.s segera tergantikan dengan kekaguman. Karena ternyata setelah itu Allah subhanahu wata'ala memberikannya ni'mat dan memilihnya serta menjadikannya sebagai orang saleh. Mari kita baca:
"Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh." (Qs. Al-Qalam 68: 49-50).
Pikiran ngeres kita tentang Nabi Yusuf a.s, yang timbul ketika kita hanya membaca potongan ayat:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu". (Qs. Yusuf 12: 24).
Akan tergantikan dengan kekaguman dan hormat kita kepadanya, ketika kita membaca ayat surah Yusuf 12:24 secara lengkap. Karena dalam ayat yang lengkap itu kita dapati ternyata Allah subhanahu wata'ala. selalu menjaganya dari perbuatan-perbuatan nista, dan menjadi makhluk Allah yang terpilih. Mari kita baca ayat tersebut:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Qs. Yusuf 12: 24).
Dan gambaran kita yang tampak buram saat membaca sejarah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. hanya melalui potongan ayat ini:
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al Anfaal 8: 67).
Akan segera berubah cemerlang ketika kita membaca dan menelusuri surah dan ayat-ayat dalam Al-Qur`an secara utuh yang menceritakan beliau. Akan terbentuk gambaran sosok yang agung nan mulia yang selalu mendapatkan bimbingan, teguran dan petunjuk dari Allah subhanahu wata'ala. Segala gerak-gerik beliau selalu berada dalam pengawasan Allah subhanahu wata'ala. Dan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut beliau adalah kebenaran semata. Sesuai firman Allah subhanahu wata'ala: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat." (Qs. An Najm 53: 3-5).
Dan teguran dalam surah Al-Anfaal: 67 itu merupakan bagian dari proses turunnya aturan-aturan Syari'ah dari Allah subhanahu wata'ala kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dan itu menjadi rahmat serta kemudahan bagi umat beliau. Mari kita baca lanjutan ayat Al-Anfaal 8: 67 tersebut dengan ayat Al-Anfaal 8: 68-69:
"Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Anfaal 8: 68-69).
Demikianlah, kita bisa saksikan dan rasakan, jauhnya perbedaan antara membaca Al-Qur'an dan peristiwa sejarah dalam Islam secara parsial dengan cara pembacaan secara utuh dan integral.
'Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur'an (4)
Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Ternyata tulisan Jalaluddin Rakhmat tentang sahabat menggunakan metodologi "Wailul Lil-Mushallin". Buktinya bisa dilihat dalam artikel. Inilah metodologi profesor doktor syiah. Mazhab syiah membuat seorang profesor melupakan kaedah ilmiah.
Catatan:
Dalam komentarnya terhadap artikel saya, Jalaluddin Rakhmat berkata: "Saya sama sekali tidak menggunakan metode tafsir Fa wayl lil mushallin -metode tafsir yang sama sekali baru saya dengar dari Al Kattani. BIskah Al-Kattani tunjukkan rujukan tentang metode ini dalam kitab-kitab ulum al-Quran. Judulnya saja sudah aneh dan maaf -menggelikan."
Saya jawab: Memang benar para ulama tidak menjelaskan metodologi tersebut dalam kitab-kitab Ulum al Qur`an. Karena itu memang metodologi menyimpang yang tidak dipakai oleh para ulama. Dan mereka hanya menyebut metodologi tersebut ketika menemukan seseorang yang menggunakan metodologi itu dalam berwacana maupun berdalil dengan Al Qur`an dan sumber-sumber lainnya.
Berikut ini saya kasih link Dr. Muhammad Imarah, seorang ilmuwan Mesir yang mengkritik Paus Roma, yang dia dapati menggunakan metodologi wailul lil mushallin dalam membaca teks-teks ulama Islam. Sehingga akhirnya dihasilkan gambaran yang cacat dan buruk tentang Islam, karena metodologi bacaan dan kutipannya itu…
Di akhir artikelnya: Jalaluddin Rakhmat menulis:
"… banyak bukti bahwa sahabat ternyata pernah ragu dalam agamanya .. pernah menentang dan membangkang perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam… pernah meninggalkan ibadat dan sebagainya…"
Oleh karenanya, menurut Jalaluddin Rakhmat, kita harus memilih sahabat yang betul-betul telah lolos uji, dan tidak pernah salah atau menolak perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam…
Dia berkata, "Untuk Anda ketahui, ada lebih dari 114 ribu sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Di antara mereka ada yang -berdasarkan bukti-bukti- memenuhi karakteristik yang disebutkan oleh Al-Razi. Pilihlah sahabat yang lolos dari batu uji al-Razi. Sahabat yang betul-betul adil. Dari mana kita tahu? Melalui kajian ilmiah yang tekun bersama orang-orang, yang demi kebenaran "la yakhâfûna lawmatan lâim" (Qs. Al-Quran 5:54), "tidak takut pada kecaman orang-orang yang mengecam."
Siapakah orang yang dia maksud itu?
Jalaluddin Rakhmat memberi indikasi bahwa: dia adalah Ali bin Abi Thalib dan syi'ahnya. Dengan berdasarkan hadits Ibn Asakir dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata: "Kami sedang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah Ali. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Demi yang diriku ada di tangannya. Sesungguhnya ini dan Syi'ahnya sungguh orang-orang yang berbahagia pada hari kiamat." Dia juga menyebut riwayat Ibn Adi dan Ibn Asakir dari Ibn Abbas, dan riwayat Ibn Mardawayh dari Ali r.a.
Di sinilah kita dapati ternyata Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi "Wailul Lil-Mushallin" dalam membuat kesimpulan seperti itu. Dan tampak tidak melalui kajian ilmiah yang tekun, seperti yang dia anjurkan kepada orang lain .
Penjelasannya sebagai berikut:
Pertama: Pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam., tidak pernah ada kelompok bernama Syi'ah. Jadi bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. menyebut-nyebut Syi'ah di situ. Orang yang berpikir kritis dan mau mengkaji sedikit sejarah akan tahu itu. An Naubakhti (310 H), dalam kitabnya Firaq Syi'ah (hal. 14-15) -yang merupakan salah satu kitab sejarah firqah Syi'ah tertua- mengatakan seperti itu. Bahwa Syi'ah baru timbul setelah wafarnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan itupun bentuknya baru berupa kecenderungan beberapa orang yang menganggap Ali bin Abi Thalib (lebih) layak untuk menjadi Khalifah.
Sedangkan kelompok Syi'ah yang mulai melakukan pencercaan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah kelompok Syi'ah Saba`iyyah, yang dimotori oleh Abdullah bin Saba`. Oleh Ali bin Abi Thalib, orang ini pernah diasingkan ke Madain. Namun ketika Ali bin Abi Thalib meninggal, ia kembali beraksi. (Lihat: Firaq Syi'ah, An-Naubakhti, hal. 32).
Kedua: Hadits yang dijadikan hujjah tersebut ternyata hadits maudhu' (palsu). Jalaluddin Rakhmat dengan semena-mena menolak seluruh ayat Al Qur`an yang berisi pujian kepada para sahabat. Dan sebagai gantinya dia menghadirkan hadits palsu yang dikutip dari tafsir Durrul Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, demi mengangkat nama Ali bin Abi Thalib serta Syi'ah. Kepalsuan hadits tersebut bisa dilihat dalam adh Dhu'afa oleh Ibn Hibban (1/140), dan al Maudhu'at karya Ibnu al Jauzi (1/348-349).
Tindakan seperti ini sebelumnya sudah dilakukan oleh Abdul Husain Syarafuddin al Mushallallahu 'alaihi wasallami, yang mengeksploitasi tafsir Durrul Mantsur untuk mendukung pemikiran-pemikiran Imamiyah Ja'fariyahnya dengan mengambil hadits-hadits maudhu' beraroma Imamiyah Ja'fariyah dari situ. Akhirnya dari hadits-hadits tersebut, lahirlah buku al Muraja'aat, yang berisi dialog imajiner (palsu) dengan Syekh Al Azhar Salim al Bisyri. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Haidar Bagir (Mizan) dengan judul Dialog Sunnah- Syi'ah, yang menjadi best seller dan menggemparkan Indonesia.
Ketiga: Jalaluddin Rakhmat, karena ketidak tahuannya atau kesengajaannya, tidak menyebut Ali bin Abi Thalib r.a. dalam kasus Hudaibiyah. Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. juga menolak perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. saat itu. Keterangannya seperti dipaparkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya dari Bara` bin 'Azib, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. memerintahkan Ali bin Abi Thalib seperti ini:
قَالَ لِعَلِيٍّ : اكْتُبْ الشَّرْطَ بَيْنَنَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالَ لَهُ الْمُشْرِكُونَ: لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ تَابَعْنَاكَ وَلَكِنْ اكْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ. فَأَمَرَ عَلِيًّا أَنْ يَمْحَاهَا. فَقَالَ عَلِيٌّ لَا وَاللَّهِ لَا أَمْحَاهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرِنِي مَكَانَهَا فَأَرَاهُ مَكَانَهَا فَمَحَاهَا وَكَتَبَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ - صحيح مسلم
Tiba-tiba orang Musyrik menyela: "Seandainya kami tahu engkau adalah Rasul Allah, niscaya kami akan mengikutimu. Karena itu, cukup tulislah, Muhammad bin Abdillah."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. memerintahkan Ali untuk menghapus tulisan tersebut. Namun Ali Menolak perintah Rasul itu dan berkata: "Demi Allah, saya tidak akan menghapusnya!".
Mendapati hal itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tunjukkanlah kepadaku tempat tulisan tersebut." Maka ia menunjukkan tempat kata tersebut kepada beliau, dan beliau pun menghapusnya sendiri. Untuk kemudian diganti dengan tulisan: …Ibnu (putra) Abdillah." (Sahih Muslim. Hadits no 3336).
Jadi ketika penolakan atas perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. di Hudaibiyah dijadikan bahan oleh Jalaluddin Rakhmat untuk mentajrih atau mencacat sahabat, dapat dikatakan tidak ada lagi sahabat yang selamat dari pencacatannya. Karena Ali bin Abi Thalib juga turut menolak perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. saat itu. Jadi ia ikut dicacat oleh Jalaluddin Rakhmat.
Dan ketika kita cermati ajakannya ini: "Pilihlah sahabat yang lolos dari batu uji .. Sahabat yang betul-betul adil."
Yang kita tanyakan padanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih, dan dipilih untuk apa?
Keempat: Demikian juga ketika para sahabat tidak segera menjalankan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. untuk memotong rambut dan memotong hewan kurban di Hudaibiyah, Jalaluddin Rakhmat menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat. Padahal saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang menjalankan perintah itu. Dan itu berarti Ali bin Abi Thalib juga ikut terlibat di situ. Sehingga Jalaluddin Rakhmat tanpa ia sadari juga sedang mencacat Ali bin Abi Thalib r.a.
Maka kembali kita bertanya kepadanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih?
Kelima: Jalaluddin Rakhmat tidak mengetahui bahwa keberanian para sahabat untuk bersuara, bertanya, mendebat, dan mengkaji strategi dalam militer dan politik, merupakan satu bagian dari proses pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bagi para sahabatnya. Sehingga para sahabat beliau terlatih untuk merancang strategi politik dan militer sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam proses tersebut, para sahabat diberikan jaminan akan diberikan maaf dan dimintakan ampunan kepada Allah jika salah berijtihad. Karena mereka memang dalam proses belajar di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan itu sesuai dengan petunjuk Allah subhanahu wata'ala yang diberikan dalam Al Qur`an surah Ali Imran 3: 159. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Qs. Ali Imran 3: 159).
Maka alih-alih menarik pelajaran dari keterbukaan dan musyawarah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dengan para sahabat, Jalaluddin Rakhmat malah menjadikan keberanian para sahabat untuk mengutarakan pikiran dan aspiranya itu sebagai suatu cacat dalam agama.
Keenam: Jalaluddin Rakhmat menutup peristiwa Hudaibiyah dengan kesedihan. Tapi Al-Qur`an justeru menutupnya dengan kebahagiaan. Karena setelah selesai peristiwa tersebut, Allah subhanahu wata'ala menurunkan ayat-Nya yang memberi penilaian kepada semua sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut bahwa mereka lulus dengan istimewa. Dan Allah subhanahu wata'ala menilai apa yang mereka lakukan dalam peristiwa tersebut didorong oleh hati yang bersih.
Misalnya Umar didorong oleh semangatnya yang sangat tinggi untuk menegakkan agama Allah membuat dirinya melakukan tindakan yang tampak "menyerempet-nyerempet" bahaya.
Demikian juga Ali bin Abi Thalib, karena ghirahnya kepada status Nabi sebagai Rasul, dan ia tidak mau nama Nabi direndahkan oleh orang musyrik, maka ia pun sempat menolak perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian juga sahabat yang semula tampak tak segera menuruti perintah Nabi untuk bercukur dan menyembelih hewan, itu mereka lakukan karena mereka menunggu kemungkinan ada perintah lain yang lebih mengangkat nama Islam dalam peristiwa itu.
Karena itu, Allah subhanahu wata'ala memberikan penilaian istimewa kepada semua peserta Hudaibiyah dengan ayat-Nya yang diturunkan saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. dan para sahabat dalam perjalanan pulang ke Madinah:
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al-Fath 48 : 18-19).
Perhatikanlah ayat tersebut. Tidak saja Allah subhanahu wata'ala memberi penilaian istimewa kepada mereka, namun Dia juga menjanjikan kemenangan yang dekat bagi mereka, dan harta pampasan perang yang banyak. Dan menurut para penafsir, itu adalah kemenangan perang Khaibar. Sehingga kebahagiaan mereka menjadi berlipat-lipat.
Kebahagiaan mereka makin melimpah, ketika dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa semua peserta Hudaibiyah itu insya Allah tidak akan masuk neraka. Artinya semuanya masuk surga.
في صحيح مسلم أن أم بشر سمعت النبي صلى الله عليه وآله وسلم يقول: (لايدخل النار -إن شاء الله- من أصحاب الشجرة أحد الذين بايعوا تحتها). صحيح مسلم حديث رقم 3567
Ketujuh: Benarkah ada pahlawan perang Badar dan Uhud yang tidak membayar zakat?
Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ayat dari surah Al-Taubah 9: 75-77 adalah berkenaan dengan salah seorang pahlawan perang Badar dan Uhud. Yaitu ayat berikut:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ -التوبة 75-77
Saya katakan: Tentang orang yang dimaksud dalam ayat tersebut, ada banyak pendapat.
Ibnu Hajar al 'Asqallani mengatakan dalam Fathul Bari (5/35) bahwa benar ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib al Anshari. Tapi dia bukan pahlawan perang Badar dan Uhud. Dan benar Ibn Ishaq menyebut nama Tsa'labah bin Hathib diantara nama para pahlawan perang Badar, tapi menurutnya orang yang disebut itu bukan Tsa'labah yang disinggung dalam ayat tersebut. Karena Tsa'labah yang pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud. Sedangkan Tsa'labah yang disinggung dalam ayat tersebut hidup hingga masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a…
Pendapat ini diamini oleh pengarang tafsir Ruuh al Ma'aani yaitu al Alusi: dia berkata ketika menafsirkan surah at Taubah 9: 75-77, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsa'lab bin Hathib yang dikenal dengan Ibnu Abi Hathib. Dan dia bukan seorang pahlawan perang Badar. Karena pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud.
Sementara ath Thabari dalam tafsirnya, juga Ibnu Katsir, Jalaluddin as Suyuthi, Ibnu 'Ajibah, dan Ibnu Athiyyah dalam tafsir mereka masing-masing, mereka hanya mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib. Dan mereka tidak menyinggung jika orang itu pahlawan perang Badar dan Uhud atau bukan.
Jadi yang secara pasti mengatakan secara jelas bahwa Tsa'labah bin Hathib yang disinggung dalam ayat tersebut seorang pahlawan perang Badar dan Uhud adalah Ibn Abdil Barr dalam al Isti'abnya.
Seandainya benar ia adalah pahlawan perang Badar dan Uhud, maka dalam pengungkapan kasusnya itu justru menjadi bukti bagi kita bahwa dalam hal-hal yang jelas untuk membongkar kesalahan seseorang yang benar-benar salah menurut Allah dan Rasul-Nya, maka Al Qur`an tidak secara malu-malu menyebutnya. Dan perlakuan yang kemudian diberlakukan baginya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. adalah dengan mengucilkannya atau tidak melihatnya lagi sebagai bagian dari kaum Muslimin, atau setidaknya sebagai orang munafik. Perlakuan ini pula yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar ash Shiddiq r.a. dan sahabat yang lain.
Jadi di sini, dalam melihat sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. kita harus melihat bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. memperlakukan mereka. Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sudah menetapkan suatu tindakan tertentu bagi orang tertentu, menurut sumber yang benar-benar sahih, maka tentu kita harus mengikuti apa yang telah ditetapkan beliau itu. Sementara jika tidak ada celaan atau tindakan tertentu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atas sahabat tertentu, yang kemudian tindakan itu diikuti oleh para sahabat, atau hal itu hanya dikatakan oleh sumber palsu dan tidak terbukti kesahihannya, maka sangat bahaya bagi kita berkata buruk atau berkesimpulan yang tidak baik bagi sahabat yang telah dididik secara langsung oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Ada yang bertanya, mengapa Tsa'labah tidak diperangi sebagaimana suku-suku yang menolak membayar zakat diperangi oleh Abu Bakar ash Shiddiq r.a, Umar r.a. dan Ali r.a.? Jawabnya: karena dalam Al Qur`an dia diindikasikan sebagai munafik, bukan sebagai orang kafir. Hal itu bisa dipahami dengan melihat kenyataan Tsa'labah bin Khathib datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. untuk membayar zakat, dan perbuatannya itu secara lahir menunjukkan bahwa dia ingin bertaubat. Namun karena ayat Al Qur`an sudah menetapkan keputusan bagi Tsa'labah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. tidak bisa mengubah apa yang sudah diputuskan oleh Al Qur`an. Dari sisi ini, bisa dipahami bahwa Tsa'labah statusnya dilihat sebagai munafik. Sebagaimana yang disinggung dalam ayat at Taubah 9: 77.
Perhatikan teks ayat tersebut:
"Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta." (Qs. At-Taubah 9:77).
Sedangkan suku-suku yang murtad dan menolak membayar zakat itu diperangi karena mereka adalah kekuatan politik-militer riil yang menjadi ancaman bagi negara Islam di Madinah. Juga mereka tidak menunjukkan indikasi bertaubat atau mengubah pendirian diri mereka dari menolak membayar zakat. Sehingga penanganan terhadap pribadi munafik tentu berbeda dengan penanganan terhadap kekuatan kafir yang berwujud komunitas politik-militer yang riil.
Seperti itu juga ketika Allah subhanahu wata'ala memberi ancaman bagi kemungkinan ada orang yang ingin mempermainkan ayat-ayat Al Qur`an. Di sana dikatakan:
"Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan(nya). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (Qs. Al-Haaqqah 69: 43-52).
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut, jelaslah orang yang bermain-main dengan ayat-Nya akan segera mendapatkan adzab dari Allah subhanahu wata'ala Dan karenanya, tidak ada sahabat yang berani bermain-main dalam menyampaikan amanah Al Qur`an ke generasi berikutnya.
Jadi kasus Tsa'labah bin Hathib tidak bisa ditarik menjadi bukti bahwa terjadi gerakan murtad besar-besaran di kalangan sahabat setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Sedangkan hadits Haudh yang terkenal itu, menurut ulama, ditujukan bagi suku-suku Arab yang sepeninggal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. menyatakan bahwa mereka mempunyai Nabi baru, atau jelas murtad atau menolak membayar zakat, yang berarti juga masuk dalam hukum murtad. Dan mereka itu semuanya kemudian diperangi oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, termasuk oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dengan berpedoman pada hadits Haudh tadi.
Sedangkan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. yang mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam., yang ketika beliau meninggal mereka itu dalam keadaan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka dipersaksikan bahwa mereka semua selalu berada dalam jalan yang lurus.
Hal itu seperti persaksian para imam Ahlul Bait tentang diri mereka di bagian awal artikel ini. Terutama yang kita pahami dari wasiat Ali bin Abi Thalib r.a. tentang diri mereka berikut ini yang menepis kemungkinan maksud hadits haudh itu ditujukan kepada para sahabat yang dididik langsung oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.:
وأوصيكم بأصحاب نبيكم ، لا تسبوهم ، وهم الذين لم يحدثوا بعده حدثا ، ولم يأتوا محدثا ، فإن رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) أوصى بهم. ) الأمالي ، الشيخ الطوسي ، ص 522 - 523(
Kedelapan: Berakhlaq bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Ahli Baitnya.
Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. telah menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sesuai dengan ayat dalam Al Qur`an surah al Ahzab 33: 53 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Dan bentuk tindakan sahabat menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam., menurut Jalaluddin Rakhmat adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi berikut ini yang ia kutip dari tafsir ad-Durr al Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, yaitu:
"Al-Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas: Salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Apakah Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam) menghalangi kami untuk menikahi saudara-saudara sepupu kami, sementara ia boleh menikahi mantan istri-istri kami sepeninggal kami. Jika sesuatu terjadi kepadanya, kami akan kawini istri-istrinya sepeninggalnya. Makan turunlah ayat ini. Perkataan ini menyakiti hati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." (al-Durr al-Mantsur 5:404).
Kita dapati di sini, lagi-lagi Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi "Wailul lil Mushallin" dalam berdalil dengan ayat tersebut.
Akibatnya, Jalaluddin Rakhmat memilih hadits dhaif dalam memahami ayat tersebut, dan meninggalkan hadits sahih.
Sebenarnya, dalam menafsirkan ayat tersebut, Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsir ad Durr al Mantsur banyak memaparkan hadits sahih di awal pemaparan ayat tadi. Tapi Jalaluddin Rakhmat justru memilih hadits yang hampir paling akhir disebut oleh Jalaluddin as Suyuthi, yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas.
Hadits itu dhaif/lemah karena hadits riwayat Al Baihaqi dalam sunannya dari Ibnu Abbas r.a. itu dalam sanadnya terdapat:
- Muhammad bin Humaid ar Razi. Menurut Ibnu Hajar al 'Asqallani dalam Taqrib at Tahdzib , orang ini "dhaif".
- Mihran bin Abi Umar. Menurut al Mizzi dalam Tahdzib al Kamal (28/597) bahwa Al Bukhari mengatakan: "Aku pernah mendengar Ibrahim bin Musa menilai dha'if Mihran ini." Bukhari juga mengatakan bahwa dalam hadits Mihran terdapat idhthirab. Sedang an Nasaa`i mengatakan bahwa Mihran bukan periwayat yang kuat "laisa bil qawiy".
Padahal kalau saja Jalaluddin Rakhmat memilih hadits-hadits di bagian pertama yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi, niscaya ia akan mendapatkan hadits-hadits sahih.
Mengapa Jalaluddin Rakhmat menghindar dari hadits sahih dan justru memilih hadits dhaif? Kita perlu meminta penjelasan darinya.
Mari kita lihat 2 hadits pertama yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi ketika menafsirkan ayat tadi, yang justru dihindari oleh Jalaluddin Rakhmat.
Jalaluddin as Suyuthi menulis dalam tafsir ad Durr al Mantsur, ketika menafsirkan ayat Al Ahzab 33: 53 tadi, sebagai berikut:
أخرج البخاري وابن جرير وابن مردويه عن أنس رضي الله عنه قال : قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : يا رسول الله يدخل عليك البر والفاجر ، فلو أمرت أمهات المؤمنين بالحجاب ، فأنزل الله آية الحجاب .
"Bukhari, Ibnu Jarir dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dengan sanad mereka dari Anas r.a. bahwa ia berkata: Umar bin Khath-thab r.a. berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, banyak orang yang bertamu kepadamu, baik orang yang saleh maupun yang bukan, maka mengapa engkau tidak memerintahkan saja para isterimu ummahatul mukminin untuk memasang hijab/tirai. Maka kemudian Allah subhanahu wata'ala menurunkan ayat hijab."
Sedangkan hadits kedua berbunyi sebagai berikut:
وأخرج أحمد وعبد بن حميد والبخاري ومسلم والنسائي وابن جرير وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه والبيهقي في سننه من طرق عن أنس رضي الله عنه قال : " لما تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم زينب بنت جحش رضي الله عنها دعا القوم ، فطعموا ثم جلسوا يتحدثون ، وإذا هو كأنه يتهيأ للقيام فلم يقوموا ، فلما رأى ذلك قام ، فلما قام قام من قام ، وقعد ثلاثة نفر ، فجاء النبي صلى الله عليه وسلم ليدخل ، فإذا القوم جلوس ، ثم إنهم قاموا ، فانطلقت فجئت ، فاخبرت النبي صلى الله عليه وسلم أنهم قد انطلقوا ، فجاء حتى دخل ، فذهبت أدخل ، فألقى الحجاب بيني وبينه ، فأنزل الله تعالى { يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوت النبي ...
Artinya: "Imam Ahmad, Abd bin Humaid, Bukhari, Muslim, an Nasaa`i, Ibnu Jarir, Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawaih, dan Baihaqi dalam sunannya meriwayatkan melalui jalur periwayatan Anas r.a. bahwa ia berkata: "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. menikah dengan Zainab binti Jahsy r.a., beliau mengundang orang banyak. Kemudian mereka makan dan duduk sambil berbicara. Dan ketika beliau tampak ingin bangun dari duduknya, para undangan tetap tidak bergerak bangun dari duduknya. Ketika mendapati hal itu, maka beliau bangun berdiri. Dan ketika beliau berdiri, maka para sahabat berdiri. Tapi ada tiga orang yang tetap duduk. Selanjutnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ingin masuk ke kamarnya, tapi ketiga orang tersebut tetap duduk. Selanjutnya ketiga orang itu baru menyadari dan segera bangun dari duduknya. Maka aku (sebagai khadim beliau) memberitahukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa ketiga orang itu telah pergi. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. pun masuk, dan aku pun menyusul masuk. Kemudian aku letakkanlah hijab antara diriku dengan dirinya. Dan Allah subhanahu wata'ala menurunkan ayat ini: "
يا أيها الذين آمنوا لا تدخلوا بيوت النبي . . .
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)..." (Qs. Al-Ahzab 33: 53).
Lihatlah, betapa jauhnya gambaran yang dibentuk oleh apa yang dipaparkan oleh Jalaluddin Rakhmat dibandingkan dengan paparan yang ditunjukkan oleh hadits sahih. Inilah pentingnya kita meneliti riwayat-riwayat yang sahih dalam membaca penafsiran Al Qur`an dan sejarah.
Dalam ayat tersebut banyak dijelaskan aturan-aturan hukum baru yang berkenaan dengan berakhlak bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Seperti bagaimana berakhlak bersama isteri-isteri beliau. Termasuk tidak boleh menikahi isteri-isteri beliau sepeninggal beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Karena isteri-isteri beliau adalah ibu bagi orang-orang beriman. Sesuai surah Al-Ahzab 33: 6.
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (Qs. Al-Ahzab 33: 6)
Aturan-aturan tersebut, bertujuan untuk menjaga kemuliaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. serta isteri-isteri beliau yang merupakan Ahlul Bait beliau.
Lihatlah ayat berikut ini, yang menunjukkan bagaimana Allah subhanahu wata'ala ingin memuliakan isteri-isteri beliau: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (Qs. Al-Ahzab 33: 33).
Sedangkan hadits Kisaa`, yang menyebut Ali bin Abi Thalib r.a. bersama Fathimah r.a. dan Hasan r.a. serta Husein r.a., dalam lingkup Ahlul Bait, itu merupakan perluasan dari makna Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Dan hadits Kisaa` itu pun diucapkan dalam konteks doa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Karena ayat tersebut pada dasarnya berbicara tentang isteri-isteri Rasul shallallahu 'alaihi wasallam.
Perhatikanlah redaksi ayat tersebut dengan saksama, yang berbicara secara khusus tentang isteri-isteri Nabi.
Dan jika tindakan duduk yang terlalu lama di tengah keluarga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. dan isteri beliau, dinilai menyakiti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam., maka bagaimanakah hukumnya orang yang melaknat dan mencerca isteri-isteri beliau?
Silakan ini direnungkan.
Kesembilan: Etika Berbicara dan Berperilaku bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jalaluddin Rakhmat kembali menghadirkan ayat yang menurutnya menunjukkan cacat para sahabat, yaitu ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ
إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman!, janganlah kami meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari."
"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar." (Qs. Al-Hujurat 49: 2-3).
Dengan penafsiran ayat tersebut dengan hadits berikut:
"Dari Abi Mulaikah: Ia berkata: hampir-hampir kedua orang baik celaka; yakni, Abu Bakar dan Umar. Mereka mengeraskan suaranya di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika datanag rombongan Bani Tamim. Yang satu menunjuk Al-Aqra' bin Habis; yang lain menunjuk lelaki yang lain -Ia berkata: Nafi', aku tidak hapal namanya- Berkatalah Abu Bakar kepada Umar, "kamu hanya ingin membantahku. Umar berkata: Aku tidak ingin membantahmu. Maka keraslah suara keduanya di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala menurunkan ayat ini. Kata Ibn Zubayr: Tidak pernah lagi Umar memperdengarkan suaranya kepada Rasulullh shallallahu 'alaihi wasallam setelah turun ayat ini sampai ia memperoleh pengertian. Ia tidak menyebut bapaknya, yakni Abu Bakar" (Shahih al-Bukhari 6:171; Sunan al-Turmudzi 5:387; al-Durr al-Mantsur 7:546; Sunan al-Nasai 8:226 dan lain-lain).
Di sini, kita kembali mendapati Jalaluddin menggunakan metodologi "wailul lil mushallin" dalam membaca ayat tersebut.
Secara keliru Jalaluddin Rakhmat menulis bahwa ayat tersebut adalah dari Surah al Jumu'ah (tolong artikel Anda diedit di situ), padahal ia adalah surah al Hujurat 49: 2-3.
Ayat tersebut benar diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khath-thab r.a., seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits. Namun teguran tersebut harus kita letakkan dalam rangkaian diturunkannya aturan-aturan akhlak bagi kaum Muslimin dalam berbicara dan bersikap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena aturan akhlak seperti ini belum diturunkan sebelumnya.
Oleh karena itu, ayat-ayat di awal surah al Hujurat itu dua kali diawali dengan kata-kata "Hai orang-orang yang beriman…" Dan itu justru menjadi persaksian keimanan bagi orang yang disinggung dalam ayat itu, dan penyempurna akhlaknya. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Jalaluddin Rakhmat yang menjadikan teguran itu sebagai cacat dalam agama.
Kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara lengkap, dan saya tambahkan sekalian ayat pertama, dari surah al Hujurat itu:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar." (Qs. Al-Hujurat 49: 1-3).
Kita perlu melihat kemudian, bagaimanakah orang yang ditegur itu? Bagaimanakah sikapnya setelah ditegur? Dan bagaimanakah sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. terhadapnya?
Kita dapati dalam riwayat Bukhari sebagai berikut:
قال ابن الزبير: فما كان عمر يسمعُ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية حتى يستفهمه.
Ibnu Zubair berkata: "setelah turunnya ayat ini, maka Umar tidak pernah lagi bersuara dengan intonasi keras kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sehingga kerap kali ketika Umar berbicara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. harus bertanya lagi kepadanya karena tak tertangkapnya suaranya.
Sedangkan tentang Abu Bakar ash Shiddiq r.a., Jalaluddin AsSuyuthi dalam ad Durr al Mantsur memaparkan hadits berikut:
وأخرج البزار وابن عدي والحاكم وابن مردويه عن أبي بكر الصديق قال : لما نزلت هذه الآية { يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي } قلت يا رسول الله : والله لا أكلمك إلا كأخي السرار .
"Al Bazzar, Ibnu Adi, al Hakim dan Ibnu Marduwaih dari Abu Bakar ash Shiddiq r.a. ia berkata: "Ketika turun ayat "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi …", maka aku segera berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu kecuali dengan berbisik…".
Seperti itulah para sahabat didikan Rasul ketika mendapatkan pelajaran dari Al Qur`an dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Pertanyaan bagi kita: Apakah kita sudah meneladani mereka? Dan apakah kita sudah menjadikan sunnah Rasul lebih tinggi dibandingkan suara keinginan ego dan kepentingan kita? Ini tentu menjadi pelajaran sangat berharga bagi umat Islam sampai hari kiamat.
Dan di samping para sahabat mendapatkan pelajaran baru dalam berakhlak dan bersikap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, teguran itu bagi sebagian mereka ternyata menjadi berkah dan anugerah. Perhatikanlah hadits berikut yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi dalam ad Durr al Mantsur:
أخرج أحمد والبخاري ومسلم وأبو يعلى والبغوي في معجم الصحابة وابن المنذر والطبراني وابن مردويه والبيهقي في الدلائل عن أنس قال : " لما نزلت { يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي } إلى قوله { وأنتم لا تشعرون } وكان ثابت بن قيس بن شماس رفيع الصوت فقال : أنا الذي كنت أرفع صوتي على رسول الله صلى الله عليه وسلم حبط عملي أنا من أهل النار ، وجلس في بيته حزيناً ففقده رسول الله صلى الله عليه وسلم فانطلق بعض القوم إليه فقالوا له : فقدك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لك؟ قال : أنا الذي أرفع صوتي فوق صوت النبي صلى الله عليه وسلم وأجهر له بالقول ، حبط عملي ، أنا من أهل النار ، فأتوا النبي صلى الله عليه وسلم فأخبروه بذلك فقال : لا بل هو من أهل الجنة ، فلما كان يوم اليمامة قتل " .
"Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Ya'la dan al Baghawi dalam Mu'jam ash Shahabah, Thabrani, Ibnu Marduwaih, dan Baihaqi dalam Dalail, dari Anas ia berkata: Ketika turun ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi .. hingga .. sedangkan kamu tidak menyadari." Saat itu ada sahabat bernama Tsabit bin Qais bin Syammas yang bersuara lantang. Maka mendengar ayat itu, ia segera berkata: "Aku adalah orang yang sering bersuara lantang kepada Rasulullah, maka binasalah amalku sudah, dan aku menjadi ahli neraka." Kemudian ia berdiam diri di rumahnya dalam keadaan sedih. Ketidak hadirannya di majlis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menanyakan keberadaannya. Maka beberapa orang sahabat mendatanginya dan mereka berkata kepadanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencari-cari dirimu, kemana saja kamu? Apa yang terjadi dengan dirimu?" Maka dia menjawab: "Aku adlah orang yang sering meninggikan suaraku melebihi suara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam., dan sering bersuara lantang kepada beliau. Karena itu maka binasalah sudah amalku. Dan aku menjadi penghuni neraka." Setelah mendengar penuturannya itu, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar laporannya beliau bersabda: "Dia bukan penghuni neraka, tapi dia penghuni surga." Dan saat perang perang Yamamah, Tsabit bin Qais pun syahid."
Kesepuluh: Benarkah Sahabat Pernah Lari dari Salat Jum'at?
Saya jawab: Benar!
Surat Al Jum'ah ayat 11 memang menceritakan kejadian larinya beberapa orang sahabat ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sedang berkhotbah. Perhatikan ayat tersebut dengan saksama:
"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki." (Qs. Al Jumu'ah 62: 11).
Tapi kembali Jalaluddin Rakhmat lalai ketika menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat. Mengapa?
Karena Jalaluddin Rakhmat tidak memperhatikan kapan kejadian tersebut? Jika kita tahu kapan kejadian tersebut maka mafhumlah kita.
Peristiwa tersebut terjadi di tahun-tahun pertama hijrah. Dan saat itu khutbah Jum'ah disampaikan setelah selesai shalat Jum'at. Seperti saat kita menunaikan shalat 'Eid al Fithri dan 'Eid al Adh-ha. Demikian juga, para sahabat Nabi ketika itu belum mendapatkan banyak penjelasan tentang tata cara ibadah. Maka ketika shalat Jum'at sudah selesai, dan dilanjutkan dengan khutbah, mereka sangka khutbah Jum'at itu bukan bagian dari ibadah shalat Jum'at. Sehingga ketika ada rombongan pedagang datang atau ada keramaian, mereka pun meninggalkan khutbah yang sedang disampaikan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Karena mereka pikir ibadah shalat Jum'at sudah selesai dan lengkap. Sedangkan khutbah hanya sebagai pelengkap, sehingga bisa ditinggal. Hal itu seperti yang sering dilakukan orang saat ini ketika shalat Eid al Fithri dan Eid al Adh-ha, yaitu mereka meninggalkan khathib yang sedang menyampaikan khutbah selepas ibadah shalat Eid, karena menyangka itu bukan bagian dari shalat 'Eid.
Maka ayat ini menjadi penjelasan bagi para sahabat tentang status khutbah itu. Bahwa ia adalah bagian dari ibadah shalat Jum'at yang tidak bisa ditinggal. Oleh karena itu kita perhatikan ayat yang berisi teguran tadi datang tidak dengan kata-kata yang keras atau mengecam. Tapi dengan kata-kata yang datar dan informatif.
Keterangan tersebut dapat kita lihat dalam tafsir ad Durr al Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi, ketika menafsirkan surah Al Jumu'ah 62: 11 itu, sebagai berikut:
وأخرج أبو داود في مراسيله عن مقاتل بن حيان قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي الجمعة قبل الخطبة مثل العيدين ، حتى كان يوم الجمعة ، والنبي صلى الله عليه وسلم يخطب ، وقد صلى الجمعة ، فدخل رجل فقال : إن دحية بن خليفة قد قدم بتجارة ، وكان دحية إذا قدم تلقاه أهله بالدفاف ، فخرج الناس ولم يظنوا إلا أنه ليس في ترك الخطبة شيء ، فأنزل الله { وإذا رأوا تجارة أو لهواً انفضوا إليها } فقدم النبي صلى الله عليه وسلم الخطبة يوم الجمعة وأخر الصلاة .
"Abu Daud meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan bahwa ia berkata: Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. menunaikan shalat Jum'at dengan cara seperti dua shalat Hari Raya. Hingga kemudian ketika datang hari Jum'at dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. sedang berkhutbah, setelah selesai menunaikan shalat Jum'at, datanglah seseorang yang berkata: bahwa Dihyah bin Khalifah telah datang sambil membawa barang dagangan. Dihyah ini jika datang ke Madinah disambut oleh orang-orang Madinah dengan tabuhan rebana. Mendengar berita tersebut, maka keluarlah jama'ah Jum'at, karena mereka sangka boleh saja meninggalkan masjid dan tidak mendengarkan khutbah. Maka Allah subhanahu wata'ala menurunkan ayat: "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya." ( Al Jumu'ah 62: 11) Setelah turunnya ayat tersebut, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. mendahulukan Khutbah Jum'ah, dan mengakhirkan shalat Jum'at setelah khutbah."
Demikianlah, ketika kita tahu penyebab dan latar belakangnya, tidak heranlah kita. Karena hal itu ternyata terjadi sebagai bagian dari proses diturunkannya aturan-aturan Syari'at dalam Islam. Karena aturan-aturan Syari'at Islam memang diturunkan secara gradual atau berangsur-angsur. Tidak seperti saat ini ketika semua aturan Syari'at sudah kita temukan tertulis dalam Al Qur`an, hadits dan kitab-kitab para ulama secara lengkap. Sedangkan pada era Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam., aturan-aturan tersebut diturunkan secara berangsur. Dan para sahabatlah yang menjadi orang-orang pertama yang mendengarnya dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. dan menjalankan aturan-aturan Syari'at itu.
Tapi Jalaluddin Rakhmat, tanpa memperhatikan sejarahnya, langsung menjadikan hal itu sebagai cacat bagi para sahabat.
Kesebelas: Benarkah para Sahabat Pernah Melarikan Diri dari Medan Pertempuran?
Jawab saya: Benar! Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu.
Ini sesuai dengan ayat dalam surah Ali Imran 3: 144 berikut ini:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (Qs. Ali Imran 3: 144)
Ayat ini benar menceritakan peristiwa perang Uhud dan adanya beberapa orang sahabat yang lari dari medan perang. Detail tentang peristiwa tersebut dapat dibaca di kitab-kitab sirah dengan jelas.
Namun yang jadi masalah, ternyata Jalaluddin Rakhmat menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat. Dan kesimpulannya itu ternyata berbeda dengan Al Qur`an. Karena Al Qur`an sendiri menyatakan telah mengampuni mereka.
Perhatikan ayat Al Qur`an surah Ali Imran 3: 155 berikut ini yang menjadi lanjutan penjelasan apa yang disinggung dalam Ali Imran 3:144 tadi.
"Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Qs. Ali Imran 3: 155).
Sedangkan tentang siapa saja yang lari dari medan perang saat itu, kita boleh saja melihat pendapat Ibn Ishaq. Namun riwayat-riwayat Ibn Ishaq yang ditampilkan oleh Jalaluddin Rakhmat tersebut tidak memiliki validitas seperti hadits sahih. Sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Apalagi untuk mencacat para sahabat. Karena riwayat-riwayat yang dia sampaikan tidak melalui penyaringan yang ketat seperti yang dilakukan oleh para ulama hadits. Lagi pula Al Qur`an dengan jelas telah memberikan maaf dan ampunan kepada para pahlawan perang Uhud. Maka mencoba mencacat para sahabat dengan kejadian perang Uhud tersebut sangat tidak mempunyai landasan sama sekali dan malah bertentangan dengan Al Qur`an.
Perang Uhud sendiri terjadi pada tahun ke 3 hijriyah. Itu berarti para sahabat masih pada fase-fase awal pendidikan mereka di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan perang Uhud itu dapat dikatakan sebagai perang besaran-besaran pertama yang dijalani oleh Umat Islam di Madinah. Dengan menghadapi musuh yang mempunyai persiapan sangat matang dan berjumlah beberapa kali lipat dari pasukan Islam.
Ibn Ishaq mengatakan bahwa pasukan Musyrikin terdiri dari 3000 orang pasukan dengan 200 orang pasukan berkuda dan 700 pasukan berperisai. (Sirah ibn Hisyam: 3/8-12)
Sementara di barisan Islam sendiri belum terbangun kekuatan yang solid dengan pasukan terlatih. Sehingga saat perang tersebut, pasukan Islam hanya terdiri dari 1000 orang, dengan 2 orang pasukan berkuda dan 100 orang pasukan berperisai.
Barisan pasukan Islam ini makin lemah ketika di tengah perjalanan sekelompok orang munafiq di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul mengundurkan diri, membawa 300 orang. Sehingga pasukan Islam tinggal 700 orang saja.
Maka dari itu, wajar saja jika pasukan Islam ketika perang berkecamuk mudah terjebak trik-trik musuh yang terlatih. Apalagi sistem informasi dan komando Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. belum canggih dan terasah. Sehingga dengan mudah tersusupi berita-berita yang mengacaukan konsentrasi dan daya juang pasukan Islam. Diantaranya berita bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sudah meninggal saat itu. Oleh karena adanya berita itu, sebagian dari sahabat akhirnya memilih lari dari medan perang. (Ibn Jauzi, Zadul Masir: 1/483)
Karena kenyataan seperti itulah, kita bisa memahami mengapa Al Qur`an memberikan maaf kepada pasukan Islam. Dan tidak melihatnya sebagai cacat para sahabat. Seperti kita temukan dalam surah Ali Imran 3: 155 tadi.
Kejadian ini menjadi pengalaman sangat berharga bagi Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. dan para sahabat dalam menyiapkan sistem komando, sistem informasi, pemilihan pasukan, strategi formasi barisan dan cara-cara menggembleng diri mereka. Sehingga di perang-perang berikutnya, kaum Muslimin selalu memenangi pertempuran.
Hasil didikan tersebut tampak jelas dalam kematangan diri para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Khath-thab r.a. yang hanya berlangsung sepuluh tahun, kaum muslimin dengan pasukan yang sudah terlatih dan kenyang pengalaman itu mampu mengalahkan dua super power dunia sekaligus: Imperium Romawi di Barat dan Imperium Persia di Timur.
Mari kita simak hikmah, kedalaman ilmu dan pengalaman mereka itu dalam kata-kata Ali bin Abi Thalib r.a. saat memberikan nasihat kepada Khalifah Umar bin Khath-thab r.a. yang berencana memimpin langsung pasukan Islam yang akan berperang dengan pasukan Imperium Persia:
قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: "إن هذا الأمر لم يكن نصره ولا خذلانه بكثرة ولا قلة. وهو دين الله الذي أظهره، وجنده الذي أعده وأمده، حتى بلغ ما بلغ، وطلع حيث طلع. ونحن على موعود من الله. والله منجز وعده وناصر جنده. ومكان القيم بالأمر مكان النظام من الخرز يجمعه ويضمه . فإن انقطع النظام تفرق وذهب، ثم لم يجتمع بحذافيره أبدا. والعرب اليوم وإن كانوا قليلا فهم كثيرون بالإسلام وعزيزون بالاجتماع , فكن قطبا، واستدر الرحى بالعرب ، وأصلهم دونك نار الحرب ، فإنك أن شخصت من هذه الأرض انتقضت عليك العرب من أطرافها وأقطارها، حت يكون ما تدع وراءك من العورات أهم إليك مما بين يديك . إن الأعاجم إن ينظروا إليك غدا يقولوا هذا أصل العرب فإذا قطعتموه استرحتم ، فيكون ذلك أشد لكلبهم عليك وطمعهم فيك . فَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ مَسِيرِ اَلْقَوْمِ إِلَى قِتَالِ اَلْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ اَللَّهَ سُبْحَانَهُ هُوَ أَكْرَهُ لِمَسِيرِهِمْ مِنْكَ وَ هُوَ أَقْدَرُ عَلَى تَغْيِيرِ مَا يَكْرَهُ وَ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ عَدَدِهِمْ فَإِنَّا لَمْ نَكُنْ نُقَاتِلُ فِيمَا مَضَى بِالْكَثْرَةِ وَ إِنَّمَا كُنَّا نُقَاتِلُ بِالنَّصْرِ وَ اَلْمَعُونَةِ. نهج البلاغة ج2 ص 29-30
"Ali bin Abi Thalib r.a. memberi nasihat kepada Umar bin Khath-thab r.a.:"Jihad ini kemenangannya dan kekalahannya bukan ditentukan oleh banyak atau sedikitnya pasukan. Karena Islam adalah agama Allah yang akan Dia menangkan, dan tentaraNya yang akan Dia siapkan dan Dia tolong. Hingga tercapailah apa yang tercapai dan terwujudlah apa yang terwujud. Kita semua berada dalam janji Allah subhanahu wata'ala Dan Allah subhanahu wata'ala akan mewujudkan janji-Nya serta menolong tentara-Nya.
Sedangkan kedudukan pemimpin dalam perang adalah seperti tali bagi butiran-butiran kalung, yang menyatukan dan mengumpulkan butiran-butiran itu. Maka jika tali tersebut terputus, niscaya butiran-butiran itu terpisah dan tercerai-berai. Kemudian butiran-butiran tersebut tidak pernah tersatukan lagi.
Orang Arab saat ini, meskipun bilangan mereka sedikit, namun nilai mereka menjadi banyak karena Islam, dan mereka mulia karena persatuan. Oleh karena itu, jadilah poros bagi mereka. Dan jika tidak ada engkau, niscaya akan terjadi perang diantara mereka. Karena jika engkau perhatikan tanah (Arab) ini , niscaya suku-suku Arab dari ujung ke ujung berpusat ke sini. Sehingga menjaga persatuan Arab itu lebih penting bagimu dibandingkan jika engkau ikut perang ke Persia.
Sedangkan orang-orang asing, ketika mereka melihatmu di medan perang besok, niscaya mereka mengatakan "inilah pemimpin orang Arab, dan jika kalian bunuh dia niscaya tenanglah kalian (karena pasukan Arab tidak mempunyai pemimpin lagi untuk maju memerangi Persia)." Sehingga kehadiranmu di medan perang itu justru akan memancing mereka membidikmu dan memusatkan segala daya upaya mereka untuk membunuhmu.
Sedangkan tentang apa yang engkau katakan itu, bahwa pasukan musuh sedang bergerak untuk memerangi kaum Muslimin, maka Allah subhanahu wata'ala tentu lebih tidak senang dibandingkan dirimu terhadap pergerakan pasukan musuh itu. Dan Allah tentu Maha Berkuasa untuk mengubah apa yang Dia tidak senangi. Sedangkan tentang jumlah pasukan yang engkau bilang (sedikit) itu, maka kita dahulu berperang bukan dengan mengandalkan banyaknya pasukan. Namun kita berperang dengan mengandalkan bantuan dan pertolongan Allah subhanahu wata'ala" (Nahjul Balaghah: 2/29-30).
Kita bisa saksikan dua sahabat agung hasil didikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. tersebut saling bahu membahu memperjuangkan agama Islam. Mereka berdua saling bertukar pikiran untuk mewujudkan kejayaan bagi perjuangan Islam. Karena kematangan dan pengalaman mereka di bawah bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka tak heran jika dalam priode mereka kekuatan Islam bisa mengalahkan dua super power dunia kala itu sekaligus, yaitu Imperium Romawi dan Imperium Persia.
Di samping hubungan persahabatan yang dekat seperti itu, kita juga dapati ternyata Ali bin Abi Thalib r.a. menjalin ikatan nasab dengan Umar bin Khath-thab r.a. Hal itu dengan menikahnya Umar bin Khath-thab r.a. dengan Ummu Kultsum yang merupakan puteri Ali bin Abi Thalib r.a. dan Fathimah az-Zahra r.a.
Dari perkawinan tersebut kemudian lahirlah Zaid bin 'Umar al Akbar dan Ruqayyah. Tentang peristiwa perkawinan tersebut dapat dibaca di Usud al Ghabah: 1/1459, sedangkan dari kitab Imamiyah Ja'fariyah bisa kita temukan fakta tersebut dalam al Kafi, karya Al Kulaini juz 6 hal 115 dan 116.
Dalam nasihat Ali bin Abi Thalib r.a. kepada Umar bin Khath-thab r.a. tadi, kita mendapati kebenaran apa-apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. itu. Dengan menangnya pasukan Islam menghadapi pasukan Imperium Persia. Juga kemudian menangnya pasukan Islam menghadapi pasukan Imperium Romawi.
Kebenaran kata-katanya itu juga terlihat dalam nasihatnya tentang pribadi Umar bin Khath-thab r.a.
Mari kita perhatikan nasihatnya ini:
"Sedangkan orang-orang asing, ketika mereka melihatmu di medan perang besok, niscaya mereka mengatakan "inilah pemimpin orang Arab, dan jika kalian bunuh dia niscaya tenanglah kalian (karena pasukan Arab tidak mempunyai pemimpin lagi untuk maju memerangi Persia)." Sehingga kehadiranmu di medan perang itu justru akan memancing mereka membidikmu dan memusatkan segala daya upaya mereka untuk membunuhmu."
Ternyata apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang diri Umar bin Khath-thab r.a. benar adanya, yaitu dia akan menjadi sasaran pembunuhan dari pihak-pihak yang dikalahkannya.
Itulah yang benar terjadi kemudian. Ketika Abu Lu'lu'ah Fairuz seorang Majusi Persia menikam Umar bin Khath-thab r.a. saat dia sedang memimpin shalat Shubuh. Sehingga meninggal-lah beliau pada tahun 23 Hijriyah.
Dan ternyata, pembunuhan terhadap diri Umar bin Khath-thab tidak hanya ditujukan kepada fisiknya, namun juga ditargetkan untuk membunuh karakternya atau nama baiknya.
Sehingga tidak heran jika kemudian disebarkan kebencian dan permusuhan terhadap nama Umar bin Khath-thab r.a. dengan mengatas namakan cinta kepada keluarga Ali bin Abi Thalib r.a. Padahal jika orang mau berfikir sedikit saja, akan segera tahu, bahwa Umar bin Khath-thab r.a. juga keluarga Ali bin Abi Thalib, karena dia telah menikahi puteri Ali bin Abi Thalib.
Namun pembunuhan karakter itu tampak berjalan mulus, dan banyak orang yang menjadi korban pemutar balikan opini terhadap Umar bin Khath-thab yang demikian besar jasanya dalam Islam itu.
Sehingga tak heran jika berkembang di sebagian kelompok suatu kebencian yang sangat mendalam terhadap pribadi Umar bin Khath-thab. Akibatnya, pembunuhnya justeru diagung-diagungkan. Sementara Umar bin Khath-thab sendiri selalu dilaknat dan dicerca.
Anda bisa buktikan hal itu dengan melihat kubur (replika kubur) Abu Lu`lu`ah yang telah membunuh menantu Ali bin Abi Thalib r.a. dan mertua Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. itu. Anda akan dapati kuburan orang yang telah berbuat kejahatan sangat besar itu justeru saat ini dijadikan tempat ziarah yang ramai. Dan dirinya dinamakan sebagai "Sahabat yang mulia calon penghuni surga: Abu Lu`luah", di Qasyan, Iran.
Anda bisa lihat kemegahan kubur pembunuhnya Umar bin Khathab itu di situs ini:
http://www.yahosein.com/vb/showthread.php?t=36557&pp=15 (situs milik Syiah -red.)
Pintu Gerbang Kuburan Abu Lu'lu' |
Orang-orang syiah berpesta di dekat kubur Abu Lu'lu' |
Dan Anda bisa baca bagaimana ungkapan-ungkapan kebencian kepada Umar bin Khath-thab r.a. tersebar di sana.
Seperti itulah harga yang harus dibayar oleh para sahabat dalam memperjuangkan agama Islam. Sehingga Islam bisa tersebar ke seluruh dunbia, hingga sampai ke Indonesia yang sangat jauh dari pusat turunnya Islam. Semua keberhasilan itu mereka bayar dengan air mata, harta, tenaga, darah,jiwa raga dan harga diri mereka.
Maka bagi mereka yang ingin berkata buruk tentang para sahabat Nabi yang mulia itu, setelah perjuangan dan pengorbanan mereka yang sangat besar itu. Terutama tentang Abu Bakar ash Shiddiq r.a., Umar bin Khath-thab r.a., dan Utsman bin Affan r.a., saya sampaikan perkataan Imam Ahlul Bait ke empat, Ali bin Husain Zainal Abidin ini kepada mereka. Seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Shabbag, seorang pengarang Imamiyah Ja'fariyah, dalam kitabnya al al Fushul al Muhimmah fi Ma'rifat al Aimmah: 2/864-865, sebagai berikut:
قدم على علي بن الحسين ( عليه السلام ) نفر من أهل العراق فقالوا في أبي بكر وعمر وعثمان ما قالوا ، فلما فرغوا من كلامهم قال لهم علي بن الحسين ( عليه السلام ) : ألا تخبروني من أنتم ؟ أنتم ( المهجرين الذين أخرجوا من ديارهم وأموالهم يبتغون فضلا من الله ورضوانا وينصرون الله ورسوله و أولئك هم الصادقون ) قالوا : لا ، قال : فأنتم ( والذين تبوءو الدار والايمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون في صدورهم حاجة ممآ أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة ) فقالوا : لا ، فقال : أما أنتم فقد تبرأتم أن تكونوا من هذين الفريقين ، وأنا أشهد أنكم لستم من الذين قال الله في حقهم ( والذين جآءو من بعدهم يقولون ربنا اغفر ‹ صفحة 865 › لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين ءامنوا ) اخرجوا عني فعل الله بكم وصنع. الفصول المهمة في معرفة الأئمة - ابن الصباغ - ج 2 - ص 864 - 865 )).
"Kepada Ali bin Husain Zainal Abidin a.s. datang sekelompok orang dari Iraq. Kemudian ketika bertemu dengannya, mereka berkata-kata buruk tentang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Setelah mereka selesai mengungkapkan perkataan mereka, maka Ali bin Husain Zainal Abidin a.s. bertanya kepada mereka:
Bisakah kalian beritahukan kepadaku siapakah kalian? Apakah kalian dari kelompok yang disebut dalam ayat ini:
الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (8) الحشر
"…Orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar…" (Qs. Al-Hasyr 59: 8)
Mereka menjawab: "Bukan."
Ia bertanya lagi: "Apakah kalian termasuk dari kelompok yang disebut dalam ayat berikut ini?
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9) الحشر
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (Qs. Al-Hasyr 59: 9)
Mereka menjawab: "Juga bukan."
Maka Ali bin Husain Zainal Abidin berkata: "Jika kalian mengaku bukan dari kedua kelompok tersebut, maka aku bersaksi bahwa kalian juga bukan bagian dari orang-orang yang sifat mereka dijelaskan oleh Allah subhanahu wata'ala dalam ayat-Nya ini:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (10) الحشر
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Hasyr 59: 10 ).
Ali bin Husain Zainal Abidin melanjutkan: "Karena itu, pergilah kalian dari majlisku. Karena Allah subhanahu wata'ala telah menetapkan keburukan bagi kalian." (Al-Fushul al Muhimmah fi Ma'rifat al Aimmah, Ibn Shabbag, juz 2, hal. 864-865).
Demikianlah tanggapan saya terhadap artikel Jalaluddin Rakhmat yang berjudul "Sahabat dalam Timbangan Al Qur`an".
Semoga Allah subhanahu wata'ala selalu memberikan hidayahNya kepada kita semua ...
وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم
Kairo, Kamis 23 Mei 2009 - Jam 4.39 sore.
Abdul Hayyie al Kattani
sumber: [nosra.islammemo/syiahindonesia.com].
se andainya kaum syiah membaca penjelasan yg bgtu gmbalng dn ilmiah ini, pstinya mreka ttap mengingkarinya.,
BalasHapuskarena hatinya telah mati., sbb telah trlalu bnyak mlakukan dosa-dosa syirik kpd Allah SWT.,
mereka (syiah) persis spt yg digambarkan oleh Allah:
Hapus"Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS 2:8-10)