Tayammum




Tayamum secara bahasa berasal dari kata: tayammama - yatayammamu, artinya: al-Qashd (bermaksud atau pindah). Secara terminologi tayamum adalah bermaksud atau pindah ke tanah untuk menyapukannya ke wajah dan kedua tangan dengan niat dibolehkan untuk mengerjakan shalat dan lainnya.

Dasar disyariatkan tayamum

Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman dalam surat al-Maidah, yang artinya: “Siapa yang sakit, atau musafir atau salah seorang darimu datang dari WC atau kamu berhubungan dengan istri dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6).

Adapun dalil dari sunnah, hadits dari riwayat Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah telah jadikan semua permukaan bumi untukku dan ummatku sebagai mesjid (tempat shalat) dan alat yang mensucikan, dimanapun seorang umatku mendapatkan waktu shalat, maka ia memiliki alat untuk bersuci.” (HR. Ahmad)

Kaum muslimin telah sepakat (ijma’) bahwa tayamum itu disyari’atkan sebagai pengganti wudhu’ dan mandi besar pada kondisi khusus.

Faktor yang membolehkan bertayamum

Faktor-faktor yang membolehkan seseorang bertayamum sangat perlu diketahui dan diperhatikan, karena sangat mempengaruhi keabsahan (syahnya) ibadah. Kalau diperhatikan sikap sebagian kaum muslimin dalam bertayamum, akan ditemukan sikap-sikap acuh, dan remeh serta menyepelekan ketentuan-ketentuannya. Ada orang yang bertayamum karena takut antri yang panjang di kamar mandi, sementara shalat telah ditegakkan, ia mengambil jalur yang ringkas dengan bertayamum saja. Hal ini banyak dilakukan oleh jamaah haji Indonesia di masjidil haram atau mesjid nabawi. Penulis akan mencantumkan faktor penyebab dibolehkannya bertayamum.

Semua sebab-sebab ini kembali kepada satu masalah yaitu: ketidakmampuan memakai air. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Jika tidak mendapatkan air, ataupun ada, namun tidak mencukupi untuk bersuci.

Berdasarkan hadits Imran ibn Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam satu perjalanan, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat mengimami manusia. Seketika itu, ada seorang laki-laki memisahkan diri, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk shalat?” Ia menjawab: aku dalam kondisi junub, dan air tidak ada. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bersucilah dengan tanah, karena itu telah mencukupkanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Namun sebelum bertayamum, ia harus berusaha mencari air dari temannya, di sekeliling tempat tinggalnya, atau dari sumber air yang lebih dekat dengannya. Jika dia yakin air tidak ada, atau sumber air yang jauh, maka tidaklah perlu untuk mencarinya. Dengan demikian barulah ia dibolehkan bertayamum.

Jika sakit atau luka dan ia khawatir jika memakai air akan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhan, baik hal itu diketahui berdasarkan pengalaman, atau informasi dari dokter yang dipercaya.

Jika air sangat dingin dan besar kemungkinan akan mencelakakannya bilamana ia tetap memakai air, dengan syarat ia tidak mampu memanaskan air walaupun harus membayar dengan uang, atau tidak mungkin masuk ke kamar mandi.

Jika air itu dekat dari dirinya, namun ia khawatir terhadap dirinya, atau kehormatan dan hartanya. Atau ia khawatir kehilangan teman, atau antara ia dan air dihalangi oleh musuh yang ditakutinya. Atau ia terpenjara, atau ia tidak mampu mengeluarkan air (dari sumur), karena tidak memilik alatnya seperti tali atau ember. Maka walaupun air dekat dari dirinya, namun keberadaan air dalam kondisi ini sama dengan tidak ada air, karena ia tidak bisa menggunakan air tersebut.

Jika ia membutuhkan air pada waktu itu, atau waktu yang akan datang, untuk keperluan minumnya sendiri atau minuman orang yang lain, atau diperlukan untuk memasak, atau untuk membersihkan najis, maka ia boleh bertayamum dan air yang dimilikinya disimpan dengan baik untuk keperluan yang disebutkan tadi. Seperti orang yang memiliki air yang terbatas, kalau ia gunakan untuk berwudhu’ dikhawatirkan ia akan mati kehausan.

Jika ia mampu memakai air, namun dikhawatirkan waktu shalat habis disebabkan oleh waktu yang terpakai dalam memakai air dengan berwudhu’ atau mandi, maka ia bertayamum dan melakukan shalat kemudian ia tidak perlu mengulang kembali wudhu’ atau shalatnya. Hal ini berbeda dengan orang yang bertayamum karena khawatir ketinggalan shalat berjamaah -seperti yang dilakukan oleh kebanyakan jamaah haji Indonesia- sementara waktu shalat masih panjang. Maka hal ini tidak boleh bertayamum, namun ia harus pergi berwudhu’ dengan sempurna.

Bahan untuk bertayamum

Dalam al-Quran dikatakan bahwa alat bertayamum itu adalah al-sha’id. Di dalam kitab Lisan Al-’Arab dikatakan bahwa al-sha’id itu artinya bumi, atau bumi yang baik. Ada yang mengatakan tanah yang baik. Abu Ishaq mengatakan: Al-Sha’id adalah permukaan bumi, maka diwajibkan kepada orang yang mau bertayamum untuk memukulkan kedua tangannya ke permukaan bumi, tanpa menghiraukan apakah di permukaan bumi itu ada tanah atau tidak, karena al-shaid itu bukan tanah, tetapi artinya permukaan bumi, baik di permukaan bumi itu ada tanah atau tidak. Kalau seandainya permukaan bumi itu semuanya batu, dan tidak ada debu atau tanah di atasnya, lalu orang yang melakukan tayamum dengan memukulkan tangannya ke atas batu tersebut, maka hal itu sudah dikatakan bersuci jika ia sapukan ke wajah dan ke tangannya.

Tata cara bertayamum

Orang yang ingin bertayamum hendaklah dimulai dengan niat di dalam hatinya namun tidak dilafazkan, bahwa dia akan bertayamum untuk menghilangkan hadats. Kemudian ia membaca bismillah, lalu ia pukulkan kedua tangannya ke atas tanah yang suci lalu ia sapukan ke wajahnya dan kedua tangannya sampai dengan pergelangan tangan. Pukulan dilakukan hanya sekali untuk penyapuan wajah dan kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan.

Dalilnya adalah hadits Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Aku dalam kondisi junub, dan aku tidak mendapatkan air, lalu aku berguling-guling di atas tanah, lalu aku shalat. Maka aku sebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sebenarnya cukup bagimu untuk melakukan seperti ini, lantas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memukulkan kedua tangannya ke atas tanah, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meniup kedua tangannya kemudian ia sapukan ke wajah dan kedua tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Yang Membatalkan Tayamum

Tayamum batal disebabkan oleh faktor-faktor yang membatalkan wudhu’, yaitu: sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur dan kemaluan), tidur nyenyak yang menghilangkan kesadaran, hilang akan disebabkan oleh mabuk atau sakit, menyentuh kemaluan tanpa alas jika diiringi dengan syahwat, makan daging onta.

Tayamum juga batal jika air didapatkan bagi orang yang bertayamum disebabkan tidak menemukan air, atau mampu memakai air bagi orang yang bertayamum karena tidak mampu memakai air. Namun jika ia shalat dengan bertayamum, kemudian setelah shalat dia mendapatkan air, atau mampu memakai air, maka shalatnya tidak perlu diulang walaupun waktu shalatnya masih tersisa.

Dari Abi Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada dua orang yang mengadakan perjalanan, lalu waktu shalat masuk, sementara mereka tidak memiliki air, lantas mereka bertayamum dengan tanah, lalu mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air pada saat waktu shalat masih tersisa, maka salah seorang dari mereka mengulangi wudhu’nya lantas shalat, dan yang lain tidak mengulangnya. Kemudian mereka berdua mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan kejadiannya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi; “Anda telah menepati sunnah, dan shalatmu sudah sah, lalu berkata kepada yang berwudhu’ dan mengulangi shalat: Anda mendapatkan pahala dua kali”. (HR. Abu Dawud).

Bertayamum dengan dinding

Bertayamum dengan dinding dibolehkan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pergi bersama Abdullah Ibnu Yasar, maula Maimunah istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai kami mendatangi Abi Juhaim Ibn al-Harits Ibn Al-Shammah al-Anshoriy radhiyallahu ‘anhu , maka Abu al-Juhaim radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dari sumur Jamal, lalu seorang berpapasan dengan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberikan salam, namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menjawabnya sampai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap dinding, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyapu wajah dan kedua tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam.” (Muttafuqun ‘Alaihi)

Syeikh al-Albani rahimahullah mengatakan: “Dibolehkan bertayamum dengan dinding, baik dinding itu dari tanah atau batu (tembok), baik diberi cat minyak atau tidak, lalu beliau menuturkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala, yang artinya: “Robbmu tidak pernah lupa”.

Beberapa kesalahan dan kekeliruan dalam bertayamum

  • Terlalu mempermudah urusan bersuci yaitu mengganti wudhu’ dengan bertayamum. Kadang-kadang karena gara-gara sakit sedikit atau tangannya luka lalu ia bertayamum.
  • Memukulkan tangan ke tanah dua kali, yang pertama untuk wajah, dan kedua untuk tangan. Namun yang benar itu adalah hanya dengan satu kali pukulan. Sebagaimana riwayat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu dalam shahih al-Bukhari.
  • Menyapu kedua tangan sampai ke siku, karena mencontoh perbuatan dalam wudhu’. Ini adalah keliru, yang benar adalah menyapu kedua tangan hanya telapak tangan, dan punggung telapak tangan sampai ke pergelangan tangan, inilah yang dinamakan kaffun.
Wallahu a ‘lam.

Penulis: Muhammad Elvi Syam, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar