1. Sanad
Secara bahasa, sanad berasal dari kata سند yang berarti انضمام الشيئ الى الشيئ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain)[1], karena di dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan[2].
Sementara termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.[3]
Berikut adalah contoh sanad:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi> ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata Sufya>n telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya> ibn Sa’i>d al-Ans}a>ri> telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibra>hi>m al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn Waqqa>s{ al-Lais|i> berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khat}t}a>b ra berkata di atas mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…
2. Matan
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf م- ت- نMatan memiliki makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas.[4] Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hads maka defenisinya adalah:
ألفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى
“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.[5]
Dapat juga diartikan sebagai ما ينتهى إليه السند من الكل (Apa yang berhenti dari sanad berupa perkataan).[6] Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر…
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya (akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan hijrahnya…
3. Rawi
Kata perawi atau al-ra>wi> dalam bahasa Arab dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseoarang kepada orang lain.[7] Dalam istilah hadis, al-ra>wi> adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis.[8] Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi, seperti:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصارى قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر…
Nama-nama yang digarisbawi dalam sanad di atas disebut rawi.
Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi.[9] Singkatnya sanad itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.
4. Mukharrij
Mukharrij secara bahasa adala orang yang mengeluarkan. Kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah orang yang telah menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti kitab al-Bukha>ri>.[10]
Memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya dalam kitab disebut mukharrij. Oleh sebab itu, semua perawi hadis yang membukukan hadis yang diriwayatkannya disebut mukharrij seperti para penyusun al-kutub al-tis’ah (kitab sembilan). Contoh:
رواه البخارى Hadis Riwayat Bukhari (HR. Bukhari)
أخرجه مسلم Hadis Riwayat Muslin (HR. Muslim)
Footnote:
[1]Abu Husain Ahmad bin Fa>ris bin Zaka>riya>, Op.Cit, vol. III, hal. 76.
[2]Mah}mu>d al-T{ah{h{a>n, Taisi>r Mus}t}alah al-H{adi>s, (Cet. VIII; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1407 H./1987 M.), h. 16.
[3]Mahmud al-Thahhan, Op.Cit, hal. 16.
[4]Ibn Mandzur, Lisan al-Arab (Dar Lisan al-Arab, Beirut, tt), h. 434-435.
[5]Al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984, h. 50. Lihat juga Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Ushūl al-Hadīts: `Ulūmuhu wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr: Beirut, 1989, h. 32.
[6]Ibn Shalah, Ulum al-Hadits, al-Maktabah al-Ilmiyyah: Madinah al-Munawwarah, 1972, h. 18.
[7]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), h. 207.
[8]H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (cet. I; Jakarta: Amzah, 2008), h. 104.
[9]H. Mudasir, Op.Cit., h. 63.
[10]HM. Noor Sulaiman, PL, Op.Cit. h. 20.
sumber: mubhar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar