Posisi dan Fungsi Suami dan Isteri yang Islami

Suami sebagai Nakhoda

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S An Nisaa [4]: 34)

Allah telah menentukan suami sebagai pemimpin keluarga. Dia yang mendapat mandat dari Allah dengan kemampuan memimpin dan menafkahi istri dan anak-anaknya, suamilah nahkodanya. Kelayakannya dalam memimpin ditentukan karena statusnya sebagai laki-laki. Dengannya dia dituntut memiliki kapasitas sebagai pemimpin dan pemecah masalah. Juga, kemampuannya menafkahi keluarga.

Namun demikin, bukan berarti suami sebagai pemimpin keluarga didasarkan kepada kemampuannya untuk memimpin dan menafkahi. Dia sebagai pemimpin semata-mata karena dia laki-laki. Jika suami mempunyai kekurangan dalam dua hal tersebut, maka istri dapat membantu dan mendorong agar suami memperbaiki diri. Jika suami sama sekali tidak berubah karena beberapa sebab sehingga tidak mampu memimpin dan menafkahi maka istri berhak mengajukan gugatan cerai kepada hakim.

Jadi kepemimpinan suami dalam keluarganya bukan karena sebab apapun. Semata-mata karena Allah telah menunjuknya dan memilihnya.

Setiap keputusan dalam mengendalikan keluarga ada dalam wewenangnya. Khususnya jika terjadi beda pandangan terhadap kemaslahatan keluarga maka putusan suamilah yang berlaku selama tidak melanggar aturan Allah. Seorang istri yang mengharap ridhoNya tentu akan sangat setia dan taat kepada suaminya. Ridho suaminya adalah Ridho Allah selama sang suami taat kepadaNya. Istri memiliki tanggungjawab untuk mengoreksi langkah suaminya jika melenceng dari kebenaran. Dia tidak boleh taat jika sang suami memerintahkan kemaksiatan.

Untuk mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, maka sang suami harus memiliki akhlaq yang bagus. Karakter yang dimiliki calon suami dan isteri harus terbentuk dari pemahaman, bukan sekedar karakter liar yang lahir dari hawa nafsu. Sebab, sifat atau karakter yang tidak dipandu dengan ‘aqidah dan pemahaman yang benar tentu akan menyebabkan seseorang berjalan hanya berdasarkan hawa nafsunya belaka.

Karakter suami yang baik adalah karakter yang lahir dari ‘aqidah dan hukum syari’at. Sebab, Rasulullah saw telah bersabda, artinya, ‘

“Sungguh pada hakekatnya tidak beriman diantara kalian sampai kalian menundukkan hawa nafsu kalian dengan apa yang aku bawa.” [hadits]

Ini menunjukkan bahwa, hawa nafsu atau keinginan seorang muslim harus tunduk dengan apa yang dibawa Rasulullah saw, yakni al-Quran dan Sunnah. Hadits ini merupakan bukti yang sangat terang, bahwa karakter seorang muslim harus sejalan dengan al-Quran dan Sunnah.

Rasulullah saw sebagai panutan seluruh kaum muslim adalah orang yang memiliki akhlaq paling tinggi. Tidak ada satupun manusia yang mampu menyamai ketinggian budi pekerti beliau saw. Beliau saw adalah sosok kepribadian yang tanpa cacat dan cela. Bahkan, seluruh umat manusia mengakui bahwa karakter Rasulullah saw adalah karakter yang paling sempurna.

Pada dasarnya keluhuran dan ketinggian akhlaq Rasulullah saw lahir dari al-Quran dan sunnah. Dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh ‘Aisyah ra dinyatakan bahwa akhlaq Rasulullah saw adalah al-Quran. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh menyatakan bahwa akhlaq adalah nilai universal yang terlepas dari al-Quran dan Sunnah. Akhlaq seorang muslim harus terbentuk dari al-Quran dan sunnah. Suami yang baik adalah suami yang memiliki akhlaq yang terlahir dari al-Quran dan sunnah, bukan akhlaq yang lahir dari nilai-nilai universal belaka.

Istri sebagai Ibu dan Pengatur Rumah Tangga

Suami sebagai nahkoda yang menentukan arah jalannya biduk samudra luas. Istri yang merupakan partner suami bertugas sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Allah telah menetapkan istri sebagai tempat menanam benih suami. Istri dipersiapkan Allah dengan naluri keibuan untuk mampu melaksanakan tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak. Istri memiliki kasih sayang yang penuh kelembutan dan perhatian, inilah yang dibutuhkan anak-anak dan sifat ini jarang ditemui dalam diri laki-laki. Allah memang telah memilih istri sebagai ibu. Tugas utama nan luhur, generasi khairu ummah ada dalam genggaman ibu.

Istri adalah pengatur bagi rumah tangga suaminya. Manajemen rumah dialah yang bertanggung jawab. Bagaimana semua fungsi rumah dapat berjalan hingga semua penghuninya merasa nyaman ditentukan oleh pengaturan sang istri. Maka untuk melaksanakan dua tugas ini (sebagai pendidik dan pengatur rumah) maka sudah selayaknya sang istri banyak berada dirumah daripada suami.

Semua ini demi harmonisasi yang kokoh. Pengaturan yang adil, sesuai dengan potensi yang telah diberikan Allah sebagai pencipta. Sama sekali tidak ada maksud dari sang pencipta untuk merendahkan wanita dengan pembagian perannya. Kemuliaan, hanya dintentukan oleh ‘taqwanya. Bukan oleh kebebasan keluar rumah yang dapat diraih. Juga bukan oleh besarnya income yang berhasil diraupnya.

Untuk itu, hendaknya seorang wanita yang menjadi ibu dan pengatur rumah tangga memiliki kararter sebagai berikut:

Taat Beragama dan Berusaha Menjalankan Urusan Agama. Sifat ini telah ditetapkan berdasarkan sunah Rasulullah saw. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, artinya:

“Sesungguhnya dunia ini adalah keindahan, dan tiadak ada keindahan di dunia ini yang lebih baik daripada seorang wanita shalihah.” [HR. Ibnu Majah]

Wanita shalihah adalah wanita yang telah terbangun kepribadian Islamnya. Pola fikirnya (‘aqliyyah) sejalan dengan ‘aqidah dan ketentuan Islam. Pola kejiwaannya (nafsiyyah) juga sejalan dengan ‘aqidah dan syari’at Islam. Bila pola fikirnya sudah sejalan dengan Islam, tentu dirinya akan berusaha untuk menjalani kehidupan suami isteri sesuai dengan syari’ah Islam. Dirinya juga akan menjunjung tinggi nilai-nilai rumah tangga yang utama.

Menyejukkan dan Menyenangkan Hati. Hendaklah wanita yang akan dinikahi menyenangkan hati dan menentramkan jiwa. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw; “Sebaik-baik wanita adalah; yang jika engkau melihatnya, maka ia membagiakanmu,. Jika engkau memerintahnya, maka ia senantiasa mentaatimu. Jika engkau memberikan sesuatu kepadanya, maka ia senantiasa berbuat baik kepadamu. Apabila kamu tidak berada di sisinya, ia selalu menjaga dirinya dan hartamu.” [HR. al-Nasa’iy]

Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai)

Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad)

Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar’i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim)

Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

sumber: muslimahactivity.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar