Tragedi Ujian Nasional, Tragedi Pendidikan

Gambar: Corat-coret para siswa, coreng-moreng dunia pendidikan

Hari-hari ini kita dapati berita yang mengharu perih, mengiris iris hati, sebuah tragedi yang dipertahankan dari tahun ke tahun, makin parah menjelang Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Padahal berita itu mengusung pendidikan sebagai tema utamanya, namun bukan pendidikan yang berhasil mencetak orang-orang terdidik, melainkan pendidikan yang tak tentu arah. Tayangan kolosal ujian nasional melibatkan pemeran yang tidak sedikit, ratusan ribu siswa SMA se-Indonesia yang menjadi pecundangnya.

Yang tidak lulus ujian nasional histeria menangisi nasib mereka yang terpaksa harus menghadapi kenyataan, betapa ujian nasional sebagai standar penentu kualitas lulusan SMA telah merenggut harapan mereka dari masa depan yang dianggap cemerlang. Beberapa dari mereka dengan tegar menerima takdir, untuk kemudian mempersiapkan diri mengulang ujian. Beberapa yang lain ada yang menangis berhari-hari, mengutuki dirinya dan juga penyelenggara ujian nasional. Bahkan ada yang sampai gelap mata menghabisi hidupnya dengan bunuh diri. Padahal, ketika ia bertemu dengan malaikat kubur, yang ditanyakan bukanlah berapa nilai ujiannya, melainkan tentang sejauh mana ia memahami agama dan peribadatannya kepada Allah Sang Pencipta.

Sementara itu yang lulus ujian nasional juga histeria merayakan rasa kemenangan mereka dengan mencoret-coret baju sekolahnya, membuat grafiti di dinding, di jalanan, di pakaian dan rambutnya dengan cat semprot. Konvoi sepeda motor dan melanggar peraturan lalu lintas dengan tidak mengenakan helm. Di antaranya sempat bentrok dengan rombongan sekolah lain, saling tikam karena egoisme yang sedang tinggi akibat kelulusan mereka. Bahkan ada juga yang berpesta narkoba dan minuman keras sebagai rasa syukur mereka. Namun kita pun harus membuka mata bahwa ada pula yang benar-benar bersyukur dengan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang tidak berpunya.

Kita juga dapati protes dan komentar dari begitu banyak ahli dan praktisi pendidikan yang mengkritisi praktik ujian nasional yang tidak membuat keadaan lebih baik. Namun sejauh mana kita dapat berharap terhadap institusi pendidikan yang bernama sekolah? Sedangkan sejak zaman Ibu Kita Kartini pun, banyak sarjana yang tidak berkontribusi secara positif kepada bangsanya. Bahkan tidak menentukan bahwa orang yang lebih berpengetahuan, lebih mulia pula budi pekertinya.

Novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata sebenarnya telah mencoba memaparkan tragedi di antaranya dengan menampar potret suram pendidikan kita yang tidak berorientasi kepada pembentukan karakter, namun hanya mengejar angka dan materi. Bahkan jika mundur lebih jauh ke masa Soewardi Soeryaningrat, sang pendiri Taman Siswa, 3 semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani yang dijadikan semboyan pendidikan nasional ternyata tidak mampu membingkai dan menggiring sistem pendidikan nasional kita menjadi lebih baik.

Barangkali ada peran yang tidak dilakoni dengan baik oleh salah satu faktor pendidikan sehingga ini semua dapat terjadi?

Dan kami pun sampailah pada kebenaran yang kedua: “Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama adalah pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran sedangkan kehidupan di rumah tangga hendaknya yang membentuk watak anak itu!” (4 Oktober 1902, surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya)

Inilah tragedi ujian nasional, tragedi pendidikan kita. Lalu dengan cara bagaimanakah bangsa Indonesia dapat memaknai dan merenungi Hardiknas nanti?

sumber: pondokecil.wordpress.com

1 komentar:

  1. mas yusuf, thx buat spreadingnya, mohon update dari http://pondokecil.wordpress.com
    karena ada paragraf yang tertukar. terima kasih

    BalasHapus