Bermain Dalam Pendidikan Anak

Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak.

Jika pengertian bermain dipahami dan sangat kita kuasai, maka kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita dalam membantu proses belajar anak. Pengamatan ketika anak bermain secara aktif maupun pasif, akan banyak membantu memahami jalan pikiran anak, selain itu akan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Pada saat bermain kita perlu mengetahui saat yang tepat bagi kita untuk melakukan atau menghentikan intervensi. Karena bila tidak memahami secara benar dan tepat, hal itu akan membuat anak frustasi atau tidak kooperatif dan sebaliknya. Dari bahasa tubuh si anak pun kita sudah dapat mengetahui kapan mereka membutuhkan kita untuk melakukan intervensi.

Pemahaman tentang bermain juga akan membuka wawasan dan menjernihkan pendapat kita, sehingga akan dapat lebih luwes terhadap kegiatan bermain itu sendiri, dan akibatnya akan mendukung segala aspek perkembangan anak. Yang dimaksudkan adalah kita dapat memberi kesempatan yang lebih banyak kepada anak-anak untuk bereksplorasi, sehingga pemahaman tentang konsep maupun pengertian dasar suatu pengetahuan dapat dipahami oleh anak dengan lebih mudah.

Montessori, seorang tokoh pendidikan menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Untuk itu, perencanaan dan persiapan lingkungan belajar anak harus dirancang dengan seksama sehingga segala sesuatu dapat merupakan kesempatan belajar yang sangat menyenangkan bagi anak itu sendiri.

Frobel menyatakan bahwa imajinasi merupakan dunia anak. Setiap benda yang dimainkan berfungsi sesuai dengan imajinasi anak. Misalnya, penggaris yang dipegangnya dapat dianggap sebagai pesawat terbang. Ia juga mencipta kotak kubus yang terdiri dari kubus kecil-kecil dan kemudian berkembang menjadi susunan balok yang beraneka bentuk dan ukuran. Yang perlu diperhatikan adalah kita dapat memperlihatkan kepada anak adanya hubungan antara satu balok dengan balok berikutnya. Pada kesempata itu pula anak dapat mempraktekan konsep bahasa, semua itu terjadi pada saat anak bermain.

Dalam proses perkembangan anak melalui bermain, kita akan menemukan 2 istilah yang berbeda yaitu Learning resources dan Educational toys and games. Seperti yang dikembangkan oleh Piaget (1961) bahwa terdapat beberapa tahapan intelektual anak yaitu:
• Usia 0 – 2 tahun disebut masa sensorimotor
• Usia 2 – 7 tahun disebut masa pra-operasional
• Usia 7 – 11 tahun disebut masa konkrit operasional
• Usia 11 – 14 tahun disebut masa formal operasional

Pada kedua masa pertama, panca indera berperan sangat besar. Anak memahami pengertian atau konsep-konsep lewat benda konkrit. Dengan bermain, anak mendapatkan masukan-masukan untuk diproses bersama dengan pengetahuan apa yang dimilikinya

Sedangkan Montessori (1966) menyatakan bahwa lingkungan atau alam sekitar yang mengundang anak untuk menyenangi pembelajarannya. Bermain dengan media permainan yang dipersiapkan menjadi penting. Belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Disinilah proses pembelajaran terjadi. Mereka mengambil keputusan, memilih, menentukan, mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat dan memecahkan masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman dan mengalami berbagai macam perasaan (Mayke, 1995)

Bagaimana sebaiknya peran orang dewasa ketika anak sedang bermain? Menurut Hughes (1995) menyatakan ada 5 pandangan utama tentang peran kita ketika anak sedang bermain yaitu:
  1. Partisipasi aktif dari orang tua, guru dan pendamping akan sangat bermanfaat bagi anak dalam bermainsebagai contoh dalam acara bermain teh, tamu-tamuan atau bermain supermarket
  2. Kita berperan sebagai fasilitator. Contohnya ketika kita bermain jual-jualan. Kita dapat melontarkan pertanyaan seperti berapakah harganya ?, apak disini jual susu kotak ? atau apakah harganya bisa dikurangi ? dan contoh-contoh lain. Dalam suasana santai, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat memacu anak untuk memberikan jawaban secara spontan.
  3. Intonasi yang tidak tinggi dan berbicara dengan lembut dapat digunakan untuk menghadapi anak yang perilakunya kurang baik. Dengan kelembutan itu kita akan lebih mudah menyentuh perasaan anak. Usaha guru adalah membuat anak mampu menentukan sendiri bagaimana memperbaiki sikapnya. Namun kelembutan yang dimaksud tidak boleh diartikan menuruti semua kemauan anak yang berakibat timbul kesan guru tidak tegas/konsisten. Kelembutan dan kesabaran sangat diperlukan untuk membangun komunikasi dengan anak. Diharapkan dengan sikap-sikap kita yang lembut dan sabar mampu membantu mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam membuat segala bentuk peraturan yang berlaku dalam setiap permainan
  4. Ketika berkomunikasi dengan anak, kita perlu memperhatikan bahasa tubuh mereka. Bahasa tubuh merupakan ungkapan dari anak ketika mereka sulit memformulasikannya dalam bentuk kalimat. Tuntunan kepada anak untuk menformulasikan pikiran harus diperhatikan. Misalnya pembetulan kalimat-kalimat mereka tidak boleh dipaksakan. Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan pengulangan ujaran anak yang bukan merupakan penggalan kata atau kalimat
  5. Setiap anak memiliki keunikan sendiri. Dalam bermain kita dapat melihat berbagai keunikan itu secara nyata. Misalnya ada anak yang konsentrasi menyelesaikan satu proses kegiatan, tapi ada juga yang cepat sekali berpindah kegiatan atau perhatiannya.

Referensi:
Anggani S. 2000. Sumber belajar dan alat permainan. Grasindo
Hughes, F. 1995. Children, play and development.
Montessori, M. 1966. The absorbent mind. Fides Publ.


sumber: abihafiz.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar