Oleh: Ahmad Zarkasih, Lc.
Dalam beberapa bab awal bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, KH. Sahal Mahfudz rahimahullah menjelaskan bahwa istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Hadits Nabi SAW itu bukanlah pekerjaan seorang awam. Karena orang awam tidak punya alat untuk menggali hukum dari situ. Dan ini juga yang dikatakan oleh para ulama ushul sejak berabad-abad lalu.
Pekerjaan istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits itu tugas para ulama mujtahid. Sedangkan kita yang tidak berada pada level mujtahid, justru terlarang untuk melakukan. Karena dikhawatirkan malah akan menghasilkan istinbath yang salah.
Pekerjaan istinbath bukanlah pekerjaan ringan cuma bermodal bisa bahasa Arab. Banyak alat-alat ijtihad yang harus dimiliki dan tidak dimiliki oleh orang awam.
Kalau hanya bermodal bisa bahasa Arab, tentu orang di Timur Tengah sana bisa jadi mujtahid. Padahal tidak semua sahabat nabi menjadi mujtahid, walaupun seluruhnya dipastikan mampu berbahasa Arab.
KH. Sahal Mahfudz menambahkan, bahwa terjadinya kesemrawutan fatwa hukum yang terjadi belakangan ini terjadi karena orang yang bukan mujtahid namun merasa dirinya sudah jadi mujtahid. Lalu dengan berani melakukan istinbath hukum langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits dengan kemampuan yang amat terbatas.
Maka tak heran bila fatwa dan hukum yang dikeluarkan pun terkesan prematur dan belum matang, karena memang lahir dari ijtihad yang memang sama sekali tidak matang.
Yang harus dikerjakan oleh seorang awam adalah mengikuti (taqlid) ulama mujtahid. Dan yang harus dipahami bahwa mengikuti ulama bukan berarti meninggalkan Al-Quran dan Al-Hadits. Justru ini adalah upaya optimal untuk mengikuti apa yang ada dalam Al-Quran dan hadits.
Karena mengikuti ulama adalah mengikuti Al-Quran dan Al-Hadits. Dan ulama mujtahid tidak mungkin mengeluarkan fatwa dan hukum kecuali itu dari Al-Quran dan Al-Hadits juga.
Ijtihadnya Orang Awam
Sesungguhnya orang awam itu tidak boleh berijtihad, dia hanya boleh bertaqlid saja. Seorang awam tidak akan mampu untuk berijtihad, karena memang syarat ijtihad itu sangat tinggi dan sulit untuk dicapai.
Dari pengertian di atas, kita perlu meluruskan pemahaman yang terlanjur masyhur di tengah masyarakat, bahwa bila ijtihad itu benar akan dapat dua pahala dan kalau salah akan dapat satu pahala.
Yang perlu diluruskan adalah bahwa hal itu hanya berlaku apabila yang berijtihad itu memang seorang mutjahid sejati, yang telah memenuhi semua syarat kelayakan menjadi mujtahid.
Tapi seorang yang bukan berkapsitas mujtahid justru haram berijtihad. Kalau pun dengan bodohnya dia berijtihad juga, meski hasilnya benar pun tetap akan dinilai salah juga. Jadi ijtihadnya benar atau salah tetap tidak ada ganjaran. Dan kemungkinan terbesarnya malah itu akan menimbulkan kesemrawutan keilmuan, karena adanya orang yang tidak mengerti ikut berbicara.
Orang Awam Boleh Berijtihad Hanya Dalam Satu Masalah
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhatu An-Nadzhir menjelaskan bahwa hanya ada satu masalah yang seorang awam boleh berijtihad, bahkan menjadi wajib berijtihad. Boleh berijtihad dalam 'memilih' satu pendapat mujtahid dari sekian banyak pendapat para mujtahidin yang mungkin saja berbeda-beda.
Ini adalah satu-satunya masalah dimana seorang awam wajib berijtihad, yaitu jika ada perbedaan pendapat antara para mujtahid. Dalam masalah ini seorang awam diberi kebebasan berijtihad untuk memilih kepada siapa ia harus ikut.
Bahkan derajatnya bukan boleh, akan tetapi menjadi wajib. Karena ia harus beribadah, dan ibadahnya tidak bisa disandarkan kecuali dengan dasar dalil yang ia telah pilih dari salah seorang mujtahid. Justru ketika ia menolah memilih, ia tidak bisa menjalankan ibadahnya.
Memilih dan Bukan Merajihkan
Kata 'memilih' itu 180 derajat berbeda dengan melakukan tarjih. Memilih itu sekedar memilih saja, apalagi yang memilih orang awam. Tentu kriterianya sebatas kriteria orang awam saja.
Sedangkan melakukan tarjih itu beda lagi. Merajihkan itu melakukan kajian yang mendalam, sebagaimana yang dilakukan oleh para mutjahid ketika menarik kesimpulan hukum. Apa yang difatwakan oleh para mujtahid itu tidak lain adalah hasil dari 'tarjih' yang prosesnya panjang dan alurnya cukup berliku.
Sedangkan memilih yang dilakukan oleh orang awam itu hanya sekedar memilih dan bukan berijtihad sebagaimana hakikat ijtihad yang sesungguhnya.
Maka tidak ada celah bagi orang awam untuk menghina salah seorang mujtahid yang dianggapnya tidak sejalan dengan keyakinannya. Ia hanya wajib mengikuti satu tapi bukan berarti harus menghina yang berbeda.
Demikian juga para mujtahid, mereka pun sama sekali tidak pernah menghina atau merendahkan atau juga menghujat pendapat mutahid lain yang berbeda hasil ijtihadnya. Dan itu kita saksikan dari kebiasaan ulama salaf dan para Imam empat madzhab, tak sekali pun ada hujatan dan makian terhadap masing-masing mujtahid.
Kalau sekedar menjatuhkan dalil yang digunakan oleh mujtahid lain bisa saja terjadi. Tapi tak sekalipun mereka menghina orang yang berdalil dengan dalil tersebut. Semua aman, semua tenang, semua saling menghormati dan memahami.
Satu karakter agung para mujtahidin di masa keemasan, sayangnya kini nyaris sirna di hati mereka yang hanya mengaku-ngaku sebagai mujtahid.
Wallahu a’lam
sumber: rumahfiqih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar