Menyorot Pemberontakan dan Kudeta terhadap Pemerintah di Era Kontemporer

Tak terhingga jumlah dan ragam nas-nas syariat yang mengharamkan pemberontakan kepada pemerintahan yang legal secara syar'i. Wajar jika muncul pertanyaan seputar bentuk-bentuk pemberontakan  tersebut di era kontemporer ini.

Sebelum mengkaji beberapa bentuk pemberontakan kontemporer, perlu terlebih dahulu kita memahami makna al-baghyu/pemberontakan dan al-khuruj/kudeta.

Makna al-Baghyu / Pemberontakan

Dalam bahasa Arab, kata al-baghyu bermakna melampaui batas. Al-Thabari menyatakan:

Al-Baghyu merupakan bentuk masdar dari ungkapan: "baghaa fulan ala fulanin baghyan" si fulan menganiaya fulan dengan penganiayaan yang sebenarnya, apabila ia bertindak sewenang-wenang dan melampaui batas kepadanya. Karenanya kata baghyu dipakai dan dikatakan kepada luka yang dalam apabila kelewat batas, laut apabila meluap airnya, gumpalan awan yang menurunkan hujan hingga bumi menjadi subur. Karena semuanya mengandung arti melampai batas. [1]

Dalam kajian fiqh siyasah syar'iyah, kata baghyu biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan yang melampaui batas dalam berinteraksi dengan pemimpin yang legal secara syar'i. Yaitu dengan keengganan menjalankan kewajiban dan ketaatan kepada pemerintah atau wakil pemerintah hingga tingkat melakukan perlawanan dan peperangan kepadanya.

Ibn al-Arabi menyatakan:

Permasalahan kedelapan adalah firman Allah:

فَإن بَغَتْ إحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى
Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain (QS. al-Hujurat: 9)

Rangkain kata dari huruf (ba-gha-ya) dalam dalam bahasa Arab bermakna mencari dan menuntut, Allah berfirman:   {ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ} "Itulah (tempat) yang kita cari." (QS. al-Kahfi: 64).  Di sini, ungkapan tersebut dipakai terhadap orang yang menuntut sesuatu yang tidak pantas, mengikuti tradisi Arab yang sering mengungkapkan sesuatu dengan menyebut sebagian dari karakter obyeknya. Dalam hal ini, orang yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin itu menuntut agar ia melepas jabatannya, atau memboikotnya dengan tidak mau taat kepadanya, atau menahan hak yang wajib ditunaikan kepada pemimpin tersebut dengan dalih yang ditakwilkan.[2]

Imam Nawawi menyatakan: "Al-Baaghiy/pemberontak dalam terminologi ulama adalah orang yang menyelisihi pemimpin yang memiliki komitmen keagamaan, yang keluar dari ketaatan kepadanya dengan keengganan menunaikan kewajiban atau bentuk keengganan lainnya dengan ketentuan tertentu…"

Selanjutnya beliau menyatakan:

"Orang-orang yang menantang pemimpin dengan keluar dari ketaatan kepadanya atau tidak mau tunduk, dan enggan menunaikan kewajiban kepadanya itu terbagi dua, bughat/pemberontak dan bukan bughat. Masing-masing kelompok tersebut memiliki hukum tersendiri, hingga semi bughat juga memiliki hukum tersendiri tergantung pada karakter yang dominan pada diri mereka.

Adapun para pemberontak, maka ciri yang dominan pada mereka ada dua:

Pertama, memiliki dan menyakini takwil yang menyebabkan mereka keluar dari ketaatan kepada pemimpin atau enggan menunaikan hak yang wajib atas mereka. Maka seandainya suatu kelompok keluar dari ketaatan dan enggan menunaikan kewajiban mereka tanpa dasar takwil, baik berupa had/pidana, qishas, harta yang harus dikeluarkan di jalan Allah atau harta milik orang lain atas dasar pembangkangan dan kesombongan, dan bukan karena takwil, maka mereka itu tidak diperlakukan kepadanya hukum-hukum bughat/pemberontak.

Kedua, memiliki kekuatan dan pasukan yang mengharuskan seorang pemimpin mengeluarkan biaya besar, mengerahkan pasukan dan menempuh jalan perang untuk menundukkan dan mengembalikan mereka kepada ketaatan. Kalau mereka hanya beberapa orang saja dan mudah ditundukkan maka mereka bukanlah bughat. [3]

Al-Hatthab menulis:

"Mengutip dari al-Jauhari,  al-baghyu secara etimologi adalah melampaui batas. Dalam Ahkam Al-Quran, Ibn al-Arabi menyatakan: "Rangkaian kata dari huruf (ba-gha-ya) digunakan untuk menuntut, tetapi dalam tradisi penggunaannya terbatas pada tuntutan khusus, yaitu menuntut sesuatu yang tidak pantas dituntut." Dan secara terminologi, Ibn Arafah mendefinisikan al-baghyu adalah: "Enggan taat kepada pemimpin yang legal dalam perkara yang tidak mengandung unsur kemaksiatan dengan mughalabah/pertikaian, meski dengan dasar takwil."

Lalu al- Hatthab mendefinisikan al-bagiyah sebagai kelompok pemberontak, dengan menyatakan:

"Sekelompok dari kaum muslim yang menantang pemimpin dengan dua hal: enggan menunaikan hak yang wajib atasnya berupa zakat atau salah satu di antara hukum-hukum syariat. Atau enggan taat kepadanya sebagaimana mestinya. Atau ia menantangnya dengan tujuan untuk melengserkannya dari jabatan. Ibn Abd al-Salam menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemimpin di sini adalah khalifah/presiden atau wakilnya." [4]

Ibn Qudamah membagi orang-orang yang keluar dari kekuasaan pemimpin menjadi empat kelompok:

Pertama, kaum yang enggan taat dan keluar dari kekuasaan pemimpin tanpa memiliki alasan takwil. Mereka adalah quththa' al-thariq/penyamun, yang senantiasa melakukan keonaran di muka bumi.

Kedua, kaum yang memiliki alsan takwil, tetapi jumlah mereka hanya segelintir orang dan tidak memiliki kekuatan, jumlahnya satu, dua, hingga sekitar sepuluh orang saja. Mereka juga dipandang sebagai quththa' al-thariq menurut mayoritas mazhab kami (Mazhab Hanbali) dan Mazhab Syafi'i.

Ketiga, kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa. . . Menurut pandangan para fuqaha mutaakhkhirin dalam mazhab kami, mereka itu adalah bughat. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan mayoritas fuqaha dan ahli hadits. Sedang Imam Malik berpendapat bahwa mereka harus disuruh bertaubat, dan kalau mereka tidak mau taubat maka mereka harus diperangi karena kejahatannya, bukan karena kekafirannya.

Sedang kelompok lainnya dari ahli hadits berpendapat bahwa mereka itu kafir dan keluar dari Islam, hukuman mereka sama dengan hukuman orang-orang murtad. Jiwanya halal dibunuh dan hartanya halal diambil. . . Sedang mayoritas fuqaha berpendapat bahwa mereka adalah bughat dan tidak memandang mereka kafir.

Ibn al-Munzir menyatakan: "Saya tidak mengetahui seseorang yang sependapat dengan ahli hadits dalam mengkafirkan dan menjadikan mereka sama dengan orang-orang murtad."

Keempat, kaum pengusung kebenaran yang keluar dari kekuasaan pemimpin dan berusaha menurunkannya dari jabatan dengan alasan takwil tertentu yang legal, sedang mereka memiliki kekuatan yang membutuhkan kekuatan pasukan untuk menundukkannya. Mereka itu adalah bughat. [5]

Al-Syaukani berpendapat bahwa:

"Al-baghiy/pemberontak adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang wajib ditaati karena perintah Allah, dan berimbas kepada pelaksanaan tugas yang membawa kemaslahatan kaum muslim dan mencegah kemafsadatan dari mereka tanpa alasan yang tepat dan bukan dalam rangka menasehati pemimpin. Kalau hal itu dibarengi dengan peperangan kepada pemimpin tersebut maka hal itu sudah benar-benar pemberontakan penuh." [6]

Kesimpulan dari ulasan para ulama di atas adalah pemberontakan itu merupakan keengganan taat kepada pemimpin yang legal tanpa alasan yang tepat, berupa keengganan menunaikan hak yang wajib atasnya, atau keengganan melakukan ketaatan kepada pemimpin atau kepada wakilnya, serta berperang di atas jalan tersebut.

Dengan demikian, jelaslah bahwa dianggapnya suatu perbuatan atau tindakan sebagai bentuk pemberontakan membawa beberapa konsekwensi, yaitu:

1. Keengganan taat kepada pemimpin itu terjadi pada pemimpin legal secara syar'i yang wajib ditaati seperti khalifah, presiden ataupun wakilnya. Apabila pemimpin itu bukan pemimpin legal secara syar'i atau yang tidak wajib ditaati, maka keengganan taat kepadanya bukanlah tindakan pemberontakan, sebab tidak terdapat larangan ataupun  celaan dalam meninggalkan ketaatan terhadap orang yang tidak wajib ditaati.

2. Keengganan taat itu terjadi pada hak-hak pihak lain, misalnya enggan menunaikan tugas yang diwajibkan Allah atas dirinya, enggan menunaikan hak pemimpin ataupun hak orang lain. Apabila ia enggan taat dalam bermaksiat kepada Allah maka keengganan itu bukan baghyu. Justru keengganan taat dalam kemaksiatan itu merupakan kewajiban.

3. Keeangganan itu dilakukan atas dasar takwil yang dijadikan pegangan. Apabila keengganannya didasarkan kepada pembangkangan dan kesombongan tanpa ada takwil maka hal itu bukan baghyu, tetapi hanya kemaksiatan yang mungkin besar ataupun kecil tergantung bentuknya.

4. Keengganan itu dilakukan oleh kelompok yang memiliki kekuatan dan memerlukan biaya, pasukan, dan peperangan untuk menundukkan mereka. Apabila mereka hanya segelintir orang yang terpencar di mana-mana sehingga mudah menaklukkannya tanpa pasukan dan biaya besar, maka mereka bukan bughat tetapi mereka hanya quththau' thariq/penyamun atau muharib.

Dalam penjelasan di atas, sebagian ulama menjadikan upaya menggulingkan seorang pemimpin dari jabatannya sebagai bentuk baghyu/pemberontakan. Tetapi menurut hemat penulis, yang lebih tepat adalah menjadikan upaya tersebut sebagai bentuk khuruj/kudeta dan bukan baghyu. Karena khuruj terhadap seorang pemimpin syar'i dan memeranginya dengan tujuan mencopot jabatannya jauh lebih besar resikonya daripada baghyu. Dengan demikian, nampak perbedaan antara aksi baghyu dan aksi khuruj, berbeda kalau memasukkan upaya menggulingkan pemimpin ke dalam upaya baghyu, sebab tidak dapat dibedakan antara baghyu dan khuruj.

Makna al-Khuruj/kudeta

Secara etimologi, khuruj dalam bahasa Arab berarti berpindah dan memisahkan diri, yang mencakup dimensi waktu, tempat dan aktivitas. Khuruj merupakan antonim dukhul/masuk.

Dalam kajian fiqh siyasah syar'iyah, kata khuruj biasanya digunakan untuk menggambarkan oposisi yang dilakukan dalam menentang pemimpin legal yang lazimnya dibarengi dengan peperangan untuk menggulingkan pemimpin tersebut dan menggantikannya dengan yang lain.

Kalau penentangan itu hanya sebatas keengganan taat dan berujung pada peperangan tetapi tidak memiliki agenda menggulingkan pemimpin yang ada dan menggantikannya dengan yang lain maka upaya itu hanya baghyu saja.

Sejumlah fuqaha menggunakan istilah khuruj sebagai sinonim dari perang revolusi terhadap para pemimpin.

Para ulama tidak menggunakan istilah khuruj dalam menghukumi pengingkaran terhadap para pemimpin yang melakukan kemaksiatan atau menyelisihi kebenaran. Mereka juga tidak menggunakan istilah tersebut untuk menvonis orang yang tidak taat kepada pemimpin dalam melakukan perintah dan meninggalkan larangannya.

Atas dasar itu, seluruh ulama konsensus atas haramnya melakukan kudeta terhadap para pemimpin (legal secara syar'i, pent.) meskipun mereka zalim ataupun fasik. Meski tetap diakui bahwa pada abad Islam pertama (generasi sahabat) sempat terjadi silang pendapat tentang status hukumnya tetapi hal itu tidak berlangsung lama, hingga akhirnya terjadi konsensus atas keharamannya.

Dalam mengomentari para pemimpin zalim, Ibn Batthal menegaskan bahwa:

"Pendapat jumhur mengatakan tidak wajib memerangi dan menggulingkan mereka, kecuali kalau mereka kafir setelah beriman (murtad) dan tidak menegakkan shalat. Adapun penyimpangan dan kezaliman lainnya maka tidak boleh melakukan tindak khuruj atas mereka selama pemerintahannya bersatu dan masyarakat tetap setuju dan bersatu bersama mereka. Alasannya karena meninggalkan tindak khuruj dapat memelihara harga diri, harta benda dan mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sebaliknya, tindakan khuruj menyebabkan perpecahan dan menimbulkan permusuhan. Juga tidak boleh membantu mereka memerangi orang-orang yang melakukan khuruj akibat kezaliman yang mereka lakukan kepada masyarakatnya." [7]

Di tempat lain, Ibn Batthal menulis:

"Dalam hadits-hadits ini, terdapat hujjah untuk meninggalkan khuruj atas pemimpin zalim, dan tetap konsisten taat kepadanya. Para fuqaha konsensus atas keharusan taat kepada pemimpin yang menang atas rivalnya setelah melakukan khuruj atasnya, selama ia menegakkan shalat jum'at dan jama'ah, dan selama ia menegakkan jihad. Mereka juga konsensus bahwa mentaati pemimpin tersebut lebih baik daripada melakukan tindak khuruj atasnya. Hal itu karena sikap seperti itu dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah dan menjaga ketertiban umum." [8]

Dalam hal ini, Ibn Hajar menukil pendapat al-Gazali. Ibn Hajar menulis:

"Dalam memvonis orang-orang Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dalam kitab al-Wasith,[9] Gazali berpendapat, sebagaimana pendapat ulama lainnya bahwa hukuman mereka ada dua pendapat. Pendapat pertama menvonis mereka sama dengan vonis terhadap orang-orang murtad. Sedang pendapat kedua menvonis mereka sama dengan vonis kepada ahl al-baghyi . Imam al-Rafi'i mentarjih pendapat pertama."

Selanjutnya, Ibn Hajar mengomentari pernyataan tersebut:

"Pendapat yang ia kemukakan itu tidak berlaku secara konsekuen pada setiap orang yang melakukan tindak khuruj. Karena orang-orang yang melakukan khuruj itu terbagi dua. Pertama adalah kelompok yang telah dikemukakan sebelumnya. Kedua adalah sekelompok orang yang melakukan khuruj dan menuntut kekuasaan tanpa melakukan dakwah kepada akidahnya. Kelompok ini juga terbagi dua.

1. Kelompok yang khuruj atas dasar pembelaan terhadap agama, akibat kezaliman dan penyimpangan pemimpin dengan meninggalkan penerapan sunnah Nabi. Kelompok ini adalah kelompok yang benar, di antara yang masuk dalam kategori ini adalah Husain ibn Ali, dan penduduk Kota Medinah yang melakukan khuruj pada perang al-Harrah, juga para qari' yang melakukan khuruj atas Hajjaj ibn Yusuf.

2. Kelompok yang khuruj semata-mata untuk menuntut kekuasaan, baik karena mereka memiliki dalih syubhat atau tidak, mereka itu  adalah bughat."[10]

Mengingkari Pemerintah Tidak Termasuk Aksi Khuruj

Ibn Rajab berpendapat bahwa:

"Melakukan perubahan dengan tangan tidak otomatis mengakibatkan perang. Menurut riwayat Shaleh, Imam Ahmad menegaskan bahwa melakukan perubahan dengan tangan tidak dikategorikan perang dengan pedang atau senjata.  Dengan demikian memerangi pemerintah dengan tangan adalah menghilangkan kemungkaran yang mereka lakukan, seperti menumpahkan khamar, atau menghancurkan alat-alat musik mereka dan semacamnya dengan tangan. Atau jika  mampu membatalkan kezaliman yang mereka perintahkan dengan tangan. Semua itu dibolehkan dan tidak termasuk dalam kategori memerangi pemerintah. Juga tidak termasuk aksi khuruj atas mereka yang terlarang. Hal yang dikhawatirkan terjadi dalam hal ini hanya berimplikasi pada dibunuhnya orang yang menyerukan hal itu saja. Sementara khuruj dengan pedang, yang dikhawatirkan adalah implikasinya kepada pertumpahan darah kaum muslim yang meluas." [11]

Jadi mengingkari kesalahan pemerintah bukan aksi khuruj, demikian pula halnya dengan menyelisihi dan menyalahi pemerintah dalam menjelaskan dan menentukan kebenaran tidak termasuk tindakan khuruj. Allah berfirman:

{فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول}
Maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. an-Nisa: 59).

Ibn Jarir menafsirkan: Allah Azza wa Jalla maksudkan bahwa jika kalian sebagai orang-orang beriman berselisih pendapat dalam suatu perkara agama di antara sesama mukmin, atau antara kalian dengan pemerintah kalian hingga kalian bertengkar di dalamnya.[12]

Beliau tidak menganggap perselisihan dengan pemerintah dalam mencari dan memahami kebenaran sebagai aksi khuruj. Bahkan mereka diperintahkan mengembalikan perselisihan mereka kepada Allah dan Rasul.

Haramnya Aksi Kudeta Atas Pemerintah Zalim Tidak Berarti Selalu Pro Kepadanya

Haramnya melakukan aksi khuruj atas pemerintah yang zalim atau fasik tidak berarti harus memberikan dukungan kepadanya dalam memerangi orang yang melakukan aksi khuruj atasnya.

Ibn Batthal berpendapat bahwa:

"Jika pemerintah itu tidak memiliki komitmen keagamaan, maka yang wajib menurut pendapat ulama Ahl al-Sunnah adalah tidak melakukan aksi khuruj atas pemerintah tersebut. Lalu berupaya menegakkan bersamanya hudud Allah, shalat, haji, jihad, dan  membayar zakat.

Barang siapa di antara masyarakat melakukan tindak khuruj atas pemerintah itu dengan alasan takwil yang menyelisihi sunnah, atau karena kezalimannya, atau untuk memilih pemimpin yang lain, maka ia dinamakan fasik, zalim, perampas. Hal itu karena aksi khuruj tersebut berakibat pecahnya keutuhan jama'ah kaum muslim dan biasanya menimbulkan pertumpahan darah. . .

Apabila pemerintah zalim itu memerangi para pelaku aksi khuruj tersebut, maka kaum muslim tidak boleh menumpahkan darahnya sendiri untuk membela pemerintah yang zalim tersebut. 

Banyak tokoh di kalangan sahabat yang diakui kapabelitas ilmu dan ketokohannya tidak mau ikut berperang bersama Ali (dalam perang Jamal dan Shiffin, pent.) karena mereka menganggap hal itu sebagai perang "fitnah" dan karena masing-masing pihak bertikai menuduh lawannya sebagai kelompok bersalah dan melampaui batas. Begitulah kondisi asabiah dalam pandangan para ulama. Dan Ali tidak memandang orang yang tidak mendukung ataupun berperang bersamanya sebagai orang berdosa yang perlu dibenci." [13]

Sedang Ibn al-Arabi menulis:

"Masalah kesembilan, menurut riwayat Sahnun, para ulama kita (Mazhab Malikiyah, pent.) berpendapat bahwa dukungan perang itu hanya diberikan kepada pemerintah yang memiliki komitmen keagamaan. Baik yang pertama memimpin ataupun pemimpin yang melakukan aksi khuruj atasnya. Kalau kedua pemimpin tersebut tidak memenuhi standar komitmen keagamaan maka anda harus menahan diri untuk ikut berperang bersamanya, kecuali kalau perang itu ditujukan kepada jiwa atau harta anda, atau dimaksudkan untuk menzalimi kaum muslim maka hendaklah anda melakukan pembelaan.

Masalah kesepuluh, jangan ikut berperang kecuali bersama pemimpin adil yang dipilih oleh para ahlinya untuk menjadi pemimpin. Pemimpin (khalifah, pent.) itu tidak boleh kecuali dari keturunan Quraisy. Selain mereka tidak berhak menjadi pemimpin, kecuali jika ia menggalang dukungan untuk memilih pemimpin dari kalangan Quraisy. Demikian pendapat Imam Malik. Karena hak kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kecuali kepada keturunan Quraisy.

Ibn al-Qasim meriwayatkan dari Imam Malik bahwa apabila pemerintah yang memiliki komitmen keagamaan itu dikudeta maka ia wajib dibela, seperti Umar ibn Abdul Aziz. Adapun pemerintah yang tidak adil itu, maka biarlah Allah mengatur orang zalim seperti dirinya untuk membalasnya kemudian Allah membalas mereka semuanya. Allah berfirman:

{فَإذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُوْلِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً} [الإسراء: ?]
Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. (QS. al-Isra': 5).

Imam Malik menegaskan: "Apabila seorang pemimpin telah dibaiat lalu dikudeta oleh saudara-saudaranya, maka mereka harus diperangi jika pemimpin yang telah dibaiat itu memiliki komitmen keagamaan. Adapun orang-orang yang melakukan kudeta itu maka mereka tidak berhak mendapatkan baiat selama pemimpin pertama itu telah dibaiat untuk mereka meski dalam kondisi takut. Imam Malik juga menegaskan bahwa harus selalu ada pemimpin, baik ataupun jahat." [14]

Antara Pemberontakan dan Kudeta

Barang siapa menyelisihi pemimpin atau wakilnya dan enggan taat kepadanya tanpa memeranginya atau tanpa melakukan upaya mengubah dan menggantinya dengan pemimpin lain, maka tindak itu bukan kudeta dan buka pemberontakan. Orang yang melakukan aksi tersebut tidak disebut sebagai pengkudeta ataupun pemberontak, ia hanya disebut sebagai pelaku maksiat.

Perbedaan antara kudeta dan pemberontakan adalah kudeta merupakan aksi menjatuhkan pemimpin dan menggantikannya dengan pemimpin yang lain. Sedang pemberontakan terbatas pada aksi penyelisihan dan keengganan melakukan ketaatan yang disertai dengan perlawanan.

Sebagian ulama memandang upaya menjatuhkan pemimpin itu sebagai pemberontakan. Dengan pendapat ini, tidak terdapat perbedaan yang jelas antara kudeta dan pemberontakan.

Tetapi, kalau kita analisa lebih cermat berbagai ungkapan dan sikap para ulama, kita akan dapatkan bahwa mereka tidak menganggap upaya menjatuhkan pemimpin dan menggantinya dengan pemimpin lain itu sebagai karakter para pemberontak. Untuk membuktikan hal itu penulis sebutkan dua pernyataan berikut sebagai contoh:

Contoh pertama:

Para penahan zakat. Mereka menahan zakatnya dan enggan menyerahkannya kepada Abu Bakar radhiyallahu anahu. Mereka tidak pernah berupaya menjatuhkan Abu Bakar dan menggantikannya dengan yang lain. Sedang dalam memvonis mereka, para fuqaha berselisih menjadi dua pendapat. Pendapat pertama memvonis mereka sebagai murtad, dan pendapat kedua memvonis mereka sebagai pemberontak.

Kelompok yang memandang mereka sebagai pemberontak nampaknya tidak memandang upaya menjatuhkan pemimpin dan menggantikannya dengan yang lain sebagai karakater atau syarat bagi pemberontakannya. Oleh karena itu, mereka memvonis para penahan zakat sebagai pemberontak, yaitu mereka yang saat menahan zakat tidak bermaksud ingin menjatuhkan pemimpin.

Contoh kedua:

Para pendukung Mu'awiyah radhiyallahu anhu enggan membaiat Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu anhu tetapi mereka tidak pernah berupaya menjatuhkannya dan menggantikannya dengan pemimpin yang lain. 

Meski demikian, para ulama tetap menjadikan mereka sebagai kelompok pemberontak sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Ammar akan dibunuh oleh kelompok pemberontak".[15] Kenyataannya, yang membunuh Ammar radhiyallahu anhu adalah kelompok pendukung Mu'awiyah radhiyallahu anhu sehingga mereka dikategorikan sebagai pemberontak sebagaimana ditegaskan oleh nas hadits tersebut.

Pada saat kita menerapkan berbagai kategori ini terhadap berbagai persoalan kontemporer seperti aksi mogok, demonstrasi, aksi protes, dan revolusi akan nampak bagi kita hal yang dapat dikategorikan sebagai pemberontakan ataupun kudeta dan hal tidak termasuk pemberontakan ataupun kudeta. Juga akan nampak hal yang dapat dikatakan sebagai kemaksiatan dan hal yang dapat diterima..

Ya Allah, pahamkanlah agama kepada kami, ilhamkan kepada kami akal pikiran, dan arahkanlah kami kepada pemahaman yang benar terhadap firman-Mu dan sabda Rasul-Mu!

[1] Tafsir Ibn Jarir al-Thabari, Juz IV, hal. 281.
[2] Ahkam al-Quran, Juz IV, hal 153.
[3] Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muttaqin, Juz X, hal. 50-52.
[4] Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil, Juz VI, hal. 278.
[5] Ibn Qudamah, al-Mugni, Juz VIII, hal. 522-526.
[6] Al-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq 'ala Hadaiq al-Azhar, Juz I, hal 965. Cet. Dar Ibn Hazm.
[7] Syarh Ibn Batthal 'ala Shahih al-Bukhari, Juz V, hal. 126.
[8] Syarh Ibn Batthal 'ala Shahih al-Bukhari, Juz X, hal.8.
[9] Lihat, al-Wasith, Juz VI, hal. 416.
[10] Fath al-Bari, Juz XII, hal. 285-286.
[11] Ibn Rajab, Jami' al-Ulum wa al-Hikam, Juz II, hal. 245-249.
[12] Tafsir Ibn Jarir, Juz VIII, hal. 504.
[13] Syarh Ibn Batthal 'ala Shahih al-Bukhari, Juz V, hal. 128.
[14]  Ibn al-Arabi, Ahkam al-Quran, Juz IV, hal 153-154.
[15] HR. Muslim, No. 2916.


sumber: http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar