Potret Pendidikan di Indonesia
Kursinya kotak, warnanya coklat, begitu juga dengan mejanya. Kursi dan meja disusun rapi ke belakang dengan satu meja besar dan papan tulis di depan milik sang Guru.
Dindingnya putih, kelasnya ditutup rapat, jendelanya banyak. Anak-anak yang datang belajar di sini harus berseragam lengkap dan mempersiapkan alat tulis pribadi.
Itu adalah gambaran sebuah sekolah, pastinya kita semua bisa menerkanya, kenapa?
Karena yang namanya sekolah itu dari dulu, utara ke selatan, timur ke barat ya begitu, hanya sekolah yang nyeleneh saja yang tidak begitu, dan berani jamin kalau nilai siswanya (hampir pasti) di bawah nilai sekolah yang “normal”.
Tapi apa iya bahwa setiap anak yang datang ke sekolah mau dan bisa cocok dengan sekolah “normal” itu?
Kita perlu membuka mata bahwa ada banyak anak yang datang ke sekolah akan sangat senang jika kursinya tidak kotak, lingkaran mungkin dan warnanya boleh kuning, hitam, merah, atau apa saja yang disuka, atau mungkin lesehan saja karena kalau pakai kursi membuat mereka tidak bisa nyaman belajar.
Saya tidak suka sekolah dengan berseragam bukan karena saya punya banyak baju bagus untuk dipamerkan ke teman-teman, saya hanya suka dan merasa nyaman jika bisa beraktivitas dengan pakaian yang saya rasa nyaman buat saya.
Saya juga tidak suka belajar di ruangan tertutup, lebih enak kalau belajar bersama teman di ruangan terbuka, di bawah pohon misalnya. Atau kelasnya hanya berdinding sebatas pinggang, jadi bisa sambil melihat-lihat yang terjadi di luar.
Kenapa saya harus mendengarkan guru yang mengajar di depan kelas dengan setengah teriak-teriak tanpa boleh ada suara lain yang terdengar.
Kenapa saya tidak boleh menyimak pelajaran sambil mengunyah permen karet, memutar-mutar pensil, meremas bola karet, atau lainnya.
Kata mereka itu akan mengganggu konsentrasi belajar siswa tersebut dan yang ada di sekitarnya. Padahal tahukah kita bahwa justru dengan beraktivitas kecil sebagian orang menjadi lebih mudah berkonsentrasi.
Ada orang yang harus duduk diam, ada juga yang harus banyak bergerak untuk belajar.
Ada yang belajar sambil duduk ada juga yang sambil tiduran di lantai. Ada yang harus sepi, ada juga yang harus mendengar suara lain baru bisa konsentrasi.
Setiap kita berbeda dalam gaya belajar dan berkerja, ini bisa kita lihat dari yang ada di sekitar kita. Lantas kenapa kita semua hanya boleh belajar dengan satu gaya.
Kenapa pemerintah hanya menyediakan pendidikan dengan satu gaya saja?
Bukankah pendidikan adalah hak setiap warga negara?
Gaya Belajar Manusia
Pada dasarnya manusia itu memiliki perbedaan dalam gaya belajar dan berkerja.
Sebagian mereka berorientasi pada otak kiri yang analitis, sebagian lain berorientasi pada otak kanan yang holistis, dan sebagian besar kita adalah manusia dengan kombinasi otak kanan dan kiri yang membuat kita bisa fleksibel menghadapi ketidakcocokan dalam gaya belajar dan berkerja.
Seseorang yang berorientasi pada otak kiri akan sangat mudah sukses dalam belajar di negara kita yang memang pendidikannya dirancang dengan gaya otak kiri, diajar oleh guru berotak kiri, berkurikulum otak kiri, dan suasana belajar yang bergaya otak kiri.
Mereka yang berotak kiri akan sangat mudah untuk belajar sambil duduk diam karena memang itu yang dia mau, dalam suasana hening, penerangan yang banyak, mengerjakan segala sesuatu secara prosedural.
Tetapi, mereka yang bergaya otak kanan akan merasa sangat sulit untuk belajar tanpa boleh bergerak-gerak di kursi apalagi berjalan ke sana kemari.
Mereka akan mudah berkonsentrasi jika saat belajar di tangan mereka ada sesuatu yang dimain-mainkan, penerangan redup, dan terdengar suara lain selain suara guru.
Mereka ingin tahu kenapa harus mempelajari ini dan itu sebelum mulai belajar. Mereka tidak bisa belajar jika tidak membayangkan tema pelajaran mereka secara utuh dari awal sampai tahap akhir, yaitu aplikasinya dalam kehidupan.
Jika mereka yang berotak kanan ini kita abaikan, bahkan kita paksakan untuk ikut dengan yang ada maka mereka tidak akan belajar. Mereka akan mencari pelampiasan lain saat guru sedang mengajar. Sehingga kita akan mengenal orang yang tidak memiliki motivasi, lamban, dan malas.
Pada akhirnya kita sebut mereka sebagai orang yang mengalami kegagalan dalam belajar.
Mereka akan lulus sekolah dengan nilai ala kadarnya, sehingga tidak ada yang mau memakainya dalam dunia kerja karena ijazah mereka tidak meyakinkan. Jadilah mereka pekerja kasar, serabutan, dan pengangguran.
Tapi benarkah mereka gagal belajar?
Bukankah belajar adalah bakat alam setiap manusia?
Saat kecil setiap kita terlahir tanpa bisa berbuat apa-apa, tapi kemudian kita belajar untuk berdiri, berjalan, bicara, dan lainnya. Padahal saat itu kita tidak membaca buku petunjuk, kita tidak punya kelas yang mengajarkan kita.
Jadi belajar itu telah kita lalui dengan sukses dan menyenangkan saat kecil. Sehingga tidak ada orang yang kita anggap gagal belajar karena setiap orang, kapanpun, di manapun ternyata bisa belajar hal-hal baru sepanjang hidupnya.
Lantas apa yang terjadi dengan orang-orang yang disebut gagal belajar. Yang terjadi adalah guru mereka gagal dalam mengajar mereka.
Kita temui para tukang becak dan kuli angkut yang jika kita ajak bercengkerama niscaya akan nampak bahwa mereka sebenarnya adalah orang-orang yang cerdas. Tapi kenapa nasibnya begitu?
Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya sangat mungkin sukses kalau saja mereka mendapati guru yang mengajarkan ilmu sesuai dengan gaya belajar mereka. Tetapi ternyata mereka tidak menemuinya, yang mereka dapat justru paksaan belajar secara seragam dengan siswa lain yang membuat mereka frustasi, dan akhirnya mereka dianggap gagal.
Jika dahulu orang-orang seperti itu akan mendapat tempat di dunia kerja setelah diberi keterampilan khusus maka saat ini, di saat jumlah orang bergaya belajar dan berkerja seperti mereka makin banyak dan era digital memaksa dunia kerja menjadi tidak padat karya, mereka akan tersingkir dengan perlahan. Sebagai pelampiasan akan pemenuh kebutuhan yang terus mendesak maka muncullah penjahat-penjahat yang beraksi karena himpitan ekonomi.
Guru Adalah Kunci Masalah
Selama ini siswa lebih sering menjadi kambing hitam jika berbicara tentang kegagalan pendidikan. Tapi tahukah Anda bahwa masalah yang sebenarnya ada pada para guru ?
Jika dalam sebuah kelas ada 20 anak maka seorang guru harus mempersiapkan metode belajar yang akan bisa diterima oleh 20 anak yang mungkin saja gayanya berbeda-beda.
Tidak mungkin kita memaksakan setiap orang untuk sama dan serupa, setiap orang adalah unik. Itu sebabnhya guru harus kreatif dan terbuka menghadapi perbedaan di atara siswa.
Setiap hari kita selalu diajarkan untuk menghormati perbedaan oleh guru kita, tapi kenapa kita semua harus belajar dengan gaya yang sama.
Di kelas seharusnya guru adalah orang paling fleksibel. Dia adalah kunci pembentukan karakter orang-orang yang mungkin dalam 30-40 tahun ke depan akan menjadi pemimpin negeri ini.
Ia harus yang paling memiliki pemikiran terbuka Ia harus yang paling memiliki pemikiran terbuka, selalu menunggu ide segar dari luar yang membawa perubahan, bersedia berkata ‘saya tidak tahu’ jika pertanyaan sang murid memang tidak bisa ia jawab, lalu ia ajak murid itu duduk atau berputar bersama mencari jawaban.
Guru bukanlah sang pemegang pengetahuan, ia hanya mendampingi murid untuk menuju kedewasaannya.
Sebuah kelas idealnya menyediakan apa yang ingin dipelajari siswa. Jika ada 20 anak mungkin ada yang ingin belajar bertani, sebagian ingin berternak, menjahit, atau memasak, maka ini harus dipenuhi. Jadi tiap anak tidak dipaksa belajar tentang sesuatu yang ia tidak suka dan butuhkan.
Setelah tiap anak belajar bidang pilihannya maka sore harinya mereka berkumpul untuk mengevaluasi dan bercerita tentang apa yang telah mereka lakukan bersama rekan lainnya.
Sebuah pendidikan dengan biaya tinggi?
Tentu tidak jika kita mau bersama mengemasnya sejalan dengan pemerintah.
Tapi hari ini masih kita dapati guru sebagai sosok yang sangat kaku, pemikiran mereka sangat tertutup. Mereka mengajar orang lain sebagai mana mereka belajar untuk dirinya sendiri.
Mereka meyakini itulah yang terbaik karena telah terbukti pada dirinya dan sederet generasi sebelumnya lebih dari 100 tahun lalu.
Para guru sering mempertanyakan apakah mungkin belajar itu bisa sambil bergerak-gerak, bising, atau dengan lampu yang redup.
Seorang yang konvensional kronis akan bertanya apakah belajar dengan suasana ‘santai’ bisa mematangkan teori keilmuan.
Bahkan dalam pendidikan karakter pun para siswa hanya disuguhi teori tanpa menemukan teladan dari sang guru.
Menurut orang yang sempit pemikirannya, sekolah itu harus mengenal dahulu semua bidang jika setelah SMU merasa ada ketertarikan khusus barulah ia masuk ke sekolah kejuruan, jika belum ada ketertarikan ia bisa menundanya hingga perguruan tinggi.
Saya tidak ingin jadi dokter, kenapa harus belajar biologi sedemikian rumitnya, toh sampai hari ini tidak pernah ada yang bertanya kepada saya apa nama enzim yang membantu pencernaan di lambung.
Saya tidak ingin belajar fisika secara detail seperti teman lain yang tergila-gila dengan fisika. saya sudah lupa dengan hukum Pascal dan ternyata hidup ini baik-baik saja.
Saya ingin bacaan sejarah Bandung lautan api dipentaskan di kelas, tapi kenapa tidak terjadi.
Kenapa kita mempelajari hal-hal rumit sedemikian lamanya, bahkan dihukum jika mendapat nilai kecil, padahal kita semua tahu kita tidak akan memerlukannya.
Pelajaran eksakta selalu saja dianggap istimewa, padahal kawan-kawan yang ahli di bidang itu justru menjadi bawahan orang-orang belajar di jurusan sosial. Yang kuliah di fakultas pertanian berkerja sebagai guru, yang kuliah di fakultas keguruan membuka warung makan.
Lantas kenapa kita harus berlama-lama dengan membuang tenaga dan biaya?
Seorang guru seharusnya sangat terbuka dengan perubahan. Guru bukanlah sumber kebenaran.
Saat ini kita mengenal Google yang jauh lebih up to date dan lengkap ketimbang guru yang ilmunya sebagian sudah usang. Guru harus siap berjibaku dengan siswa-siswa yang “aneh”, yang lain dengan keumuman orang tetapi juga butuh belajar.
Menjadi guru bukanlah sebuah bisnis, satu Rp 500,- dua Rp 1000,-, menjadi guru akan selalu tekor karena ia akan mengorbankan dirinya dalam membangun peradaban.
Guru, apa pun formatnya, adalah sosok pencetak karakter pemimpin masa depan.
Sekolah Seharusnya
Secara bahasa sekolah itu artinya tempat yang menyenangkan karena di sanalah kita bisa banyak mempelajari hal-hal baru. Memuaskan sifat ingin tahu kita yang selalu muncul secara spontan.
Sekolah bukanlah tempat untuk membungkam kreatifitas, menindas keluguan ekspresi bocah.
Di sekolah semestinya kita belajar tentang apa yang akan kita perlukan untuk menghadapi dunia, skill apa yang kita persiapkan.
Kita belajar tentang bertani, berternak, menulis, berbudi pekerti,membaca, berhitung, memasak, menjahit, berbahasa, pertukangan, kelistrikan, dan apa saja yang akan kita perlukan. Bukan melulu menghafal.
Pelajaran berkualitas adalah yang bermanfaat tanpa merusak pihak manapun.
Kita seharusnya mempelajari ilmu-ilmu yang memang akan kita pakai untuk hidup. Semestinya guru tidak perlu memeriksa tugas tertulis secara ketat, karena pengaplikasianlah intinya. Guru tidak perlu berdiri di depan kelas sambil setengah teriak, dengan suara dominan, berikan suasana yang membuat setiap siswa berkomentar dan bertanya secara berani.
Biarkan siswa belajar dengan gaya mereka dan guru sebagai fasilitator belajar dan menjadi sosok teladan bagi siswa untuk menjadi lebih baik.
Menuntun siswa untuk mencapai sukses belajar dengan gaya mereka, menjadi orang seperti apa yang mereka mau (tentu saja dalam batasan norma) dan dibutuhkan masyarakat.
Ironi yang kita saksikan saat ini dimana para siswa belajar selama 6 tahun di sekolah dasar untuk menghadapi UASBN, saat gagal di hari ujian itu maka peristiwa jungkir balik selama 6 tahun itu seolah tidak artinya.
Setelah lulus SD siswa bersaing dalam ujian masuk SMP, di SMP siswa jungkir balik lagi selama 3 tahun untuk mempersiapkan UN, dan jika gagal di 4 hari UN maka sirnalah darah dan air mata 3 tahun. Hal ini akan terulang lagi saat SMU dan PT.
Lantas apa makna sekolah bertahun-tahun? Hanya untuk ijazah?
Ternyata beberapa tetangga saya menjadi pedagang kaki lima dengan untung 3-4 juta perbulan tanpa perlu lulus SD. Tunjukkan ijazah kita padanya, mungkin saja kita yang malu.
Belajar dari anak-anak, mereka mempelajari apa yang mereka mau dan menjalaninya dengan gaya mereka sendiri secara menyenangkan.
Tidak ada hukuman karena tidak bisa duduk di usia 6 bulan, berjalan di usia 11 bulan, dan seterusnya. Semuanya adalah proses belajar yang terus berlangsung dan terjadi dengan gayanya masing-masing. Ada yang berdiri tanpa merangkak terlebih dahulu, bicara sebelum mulai berjalan, dan apa pun urutannya, mereka tidak peduli. Mereka hanya mengerjakan apa yang mereka mau dan bisa mereka kerjakan.
Sekolah apapun bentuknya, adalah sebuah proses yang harus dijalani. Bagaimana sesuatu terjadi adalah yang dinilai oleh seorang guru. Maka berhentilah memburu hasil dengan mengesampingkan cara.
Saatnya sekolah kembali menumbuhkan semangat belajar seorang balita pada murid-muridnya, yaitu belajar tentang apa yang meraka mau dan butuhkan sesuai dengan gaya mereka sendiri.
sumber: penikmatkopi30.wordpress.com
Wuih, info yg oke Akhi,
BalasHapusMata jd kelelahan membacanya, becos panjang banget.... is oke n lengkap..
Syukron
syukron sudah menyempatkan diri melelahkan mata :))
Hapusyg penting manfaatnya, oke?
subhanallah hebat sekali tulisan ini, banyak menginspirasi saya sebagai guru yang masih terus belajar bagaimana menumbuhkan minat belajar anak dengan keinginan masing-masing pula, namun belajar tetap jadi prioritas mereka
BalasHapus