Menjadi guru selama berpuluh-puluh tahun, dengan sendirinya Jane Healy merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan anak-anak zaman sekarang. Meskipun sekilas dari luar mereka tampak lebih terbuka dan spontan, tapi dari segi kecerdasan, sepertinya terjadi penurunan. Dan bukan Jane seorang diri yang punya kesan demikian. Ketika menanyai tiga ratus guru veteran lain – mereka yang telah mengabdi puluhan tahun di sekolah dan mencintai profesi ini – hampir semuanya berpendapat sama.
Anak zaman sekarang memang ‘beda’, dalam arti negatif. Dibandingkan generasi kakek-nenek atau ayah-ibu mereka, anak-anak sekarang lebih sulit diajar, malas membaca, lemah dalam daya konsentrasi, perhatian mudah terpecah, tidak sabaran, pasif berpikir, kalau mengerjakan tugas harus dituntun langkah per langkah, kurang rasa ingin tahu, kurang motivasi, kurang terampil bersosialisasi, kurang mampu mengungkapkan pikiran secara verbal, kurang mampu mendengar secara mendalam, kurang bagus keterampilan motoriknya, ... dan sejenisnya.
Kegelisahan Jane dan teman-teman gurunya didukung oleh data statistik. Memang terjadi penurunan rata-rata skor tes kemampuan akademik siswa dari dekade ke dekade. Jika diringkas, yang mengalami penurunan secara signifikan adalah: (1) segala aspek pembelajaran yang berkaitan dengan bahasa, mulai dari membaca, menulis, penalaran analitis, pengungkapan pikiran secara lisan; (2) kemampuan berkonsentrasi dalam rentang waktu panjang, contohnya: skor ujian akan lebih rendah untuk soal-soal yang penyelesaiannya butuh lebih dari satu langkah; (3) kemampuan memecahkan masalah.
Yang paling parah adalah fenomena krisis membaca di kalangan generasi muda. Oh ya, tolong diluruskan dulu bahwa ‘membaca’ yang Jane maksud bukan sekadar bisa membunyikan huruf-huruf. Banyak orangtua dan guru yang merasa lega ketika akhirnya, setelah jungkir balik mengajari, anak akhirnya bisa menyuarakan huruf-huruf. Namun bisa menyuarakan huruf barulah tahap membaca yang paling dasar. Berikutnya kita masih harus mencari tahu: Apakah anak memahami makna bacaan? Bisakah dia menceritakan ulang atau menuliskan kembali atau berdiskusi dan berargumentasi tentang isi bacaan?
Survei membuktikan, anak yang suka baca kini terbilang makhluk langka. Riset terhadap para siswa kelas 5 SD mendapati bahwa 50% anak hanya membaca selama 4 menit atau kurang per hari, 30% membaca 2 menit atau kurang, dan 10% tidak membaca sama sekali, sementara durasi harian mereka menonton televisi terus meningkat. Makin sedikit anak muda yang meminati karya sastra berbobot. Oplah buku-buku ‘serius’ mengalami tren menurun. Lebih celaka lagi, survei lain menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak terampil dan/atau tidak suka membaca ini merasa diri mereka “baik-baik saja”, tidak merasa punya masalah dengan kemampuan membaca mereka, dan tidak merasa perlu bantuan untuk memperbaikinya.
Dari data ini, Jane dengan sedih menyimpulkan bahwa generasi muda kita sedang mengalami sindrom iliterasi (keterampilan membaca kurang) dan aliterasi (minat membaca rendah). Bernice Cullinan dari New York University merumuskan aliterate sebagai “orang yang tahu cara membaca, tapi memilih untuk tidak membaca” – mereka tidak menganggap membaca itu sumber kesenangan, lebih suka mencari informasi dari media audiovisual daripada tulisan. Karena akhirnya hanya memperoleh informasi secara dangkal, seorang yang enggan membaca secara substansial tidak lebih hebat dari mereka yang belum mampu membaca.
Banyak anak, mulai dari jenjang SD sampai perguruan tinggi, yang bilang membaca buku itu terlalu membosankan dan sulit. Mereka tak sabar mengikuti urutan ide yang disajikan pengarang. Jane Healy menduga bahwa mereka tak terlatih secara mental untuk menggarap bacaan, tak terbiasa berkonsentrasi dalam rentang waktu panjang. “Agar bisa membaca dengan baik, benak harus terlatih menggunakan bahasa, berefleksi, dan tekun mengatasi kesulitan. [Sebelum siswa berhasil] menangkap makna bacaan, bagi mereka membaca itu tetap terasa hampa dan tak memuaskan,” kata Jane. Maka, jangan keburu puas melihat anak bisa membunyikan kalimat. Kita baru boleh puas atas kemampuan membaca anak kita kalau dia sudah mampu ‘menaklukkan’ teks sungguhan dengan tata bahasa, kosakata, dan mutu literer yang tinggi.
Situasi iliterasi dan aliterasi ini semakin parah karena orang-orang dewasa juga memberi contoh serupa. Berapa banyak orangtua yang tidak suka membaca? Atau kalaupun membaca, bahan bacaannya tak lebih dari tabloid, koran (bahkan koran pun dipilih yang bahasanya mudah? berita kriminal dibaca tapi opini dan tajuk rencana ogah?) atau majalah yang banyak gambarnya dan tulisannya pendek-pendek. Guru pun demikian. Survei terhadap mahasiswa keguruan di Kent State University mendapati bahwa seperempat dari responden mengaku tidak suka membaca. Kalaupun terdesak membuat tugas makalah, mereka cenderung mencari bahan bacaan yang pendek (“google saja, beres!”?). Bisa dibayangkan, kalau minat baca orangtua atau gurunya saja seperti itu, kelak literasi anak dan siswanya bakal seperti apa?
Namun Jane menemukan paradoks yang aneh. Sementara kemampuan mental anak sekarang tampak menurun, data statistik lain menunjukkan bahwa tren skor IQ terus meningkat. Bukankah itu berarti anak zaman sekarang makin cerdas? Tapi mengapa skor akademis mereka menurun? “Seolah-olah para siswa yang masuk sekolah itu makin hari makin cerdas, tetapi mereka lulus dari sekolah dengan kemampuan akademis yang makin hari makin buruk. Generasi lebih cerdas yang makin tak terdidik, bagaimana mungkin ini terjadi?” keluh Dr. James R. Flynn dari Universitas Ontago di Selandia Baru, setelah mengumpulkan semua informasi mengenai tren IQ dari 14 negara maju.
Berarti sekolah dan guru yang salah? Tunggu dulu. Sebab sementara masyarakat menyalahkan para pendidik, sebenarnya sekolah dan guru pun mengeluh, betapa anak-anak yang orangtua titipkan kepada mereka sangat minim kesiapannya untuk belajar. “Saya menduga ini semua karena TV dan orangtua yang terlalu sibuk,” kecam seorang pendidik. “Dulu, orangtua punya waktu untuk mengajak anaknya mengalami berbagai hal bersama, punya waktu untuk berdiskusi, membacakan buku, olahraga bareng, tapi sekarang kalau pergi keluar paling-paling cuma untuk mengantarkan anaknya berangkat ke sekolah atau kursus. Padahal tanpa pengalaman, tidak akan terbentuk konsep. Tanpa konsep, rentang perhatian menjadi pendek, karena anak tidak paham isi percakapan.”
Nah, tuh kan, jadinya guru dan orangtua saling menyalahkan!
Jane berpendapat, tidak ada gunanya saling menyalahkan, sebab tak ada yang sepenuhnya salah. Baik orangtua maupun guru sering merasa tak berdaya di hadapan tekanan hidup serta tuntutan pekerjaan. Kedua belah pihak sama-sama bingung karena formula pengasuhan dan pendidikan tradisional sudah tak efektif lagi. Jalan terbaik untuk menghadapi fenomena ‘perubahan otak’ ini adalah memahami seluk-beluk tentang otak itu sendiri. Jane mengajak kita mendalami bagaimana pengetahuan neurosains bisa memperbaiki praktek pendidikan kita – di rumah maupun di sekolah – dan, dengan itu, menyelamatkan benak anak-anak kita.
Dengan memahami proses perkembangan otak, kita akan melihat bahwa otak itu sangat luwes. Dia berubah bersama lingkungan dan budaya tempat hidupnya. Ketika lingkungan dan budaya berubah, anak memperoleh pengalaman yang berbeda dari generasi terdahulu, maka otak mereka akan beradaptasi dan ikut berubah. Fenomena menurunnya kemampuan mental anak merupakan indikasi bahwa ada sesuatu dalam pola serta gaya hidup anak-anak masa kini yang berisiko menghambat dan merusak perkembangan otak anak, sehingga dia gagal mengaktualisasi potensi-potensi luar biasa dalam dirinya. Mulai dari lingkungan yang beracun, pola hidup yang tak sehat, pilihan kegiatan anak setiap harinya (termasuk intensitas pemakaian TV, gadget, dan video games), sampai metode pengajaran yang keliru dan minimnya interaksi orangtua-anak, semua faktor ini berperan membentuk otak generasi muda kita menjadi seperti sekarang.
Maka, langkah krusialnya adalah: terima tanggung jawab! Jangan hanya mengeluhkan generasi muda sekarang yang serba negatif begini-begitu. Orangtua dan guru ibarat supir yang memegang kemudi mobil. Kalaupun penumpangnya ribut dan banyak ulah, tetaplah kita punya privilese untuk membimbing anak-anak muda ini menuju ke arah yang kita anggap tepat. Bisa jadi di era informasi ini, kita merasa minder terhadap anak kita sendiri, merasa diri kita gaptek dan ketinggalan zaman. Jane berpesan, jangan jadikan gaptek sebagai alasan untuk memasrahkan kemudi pendidikan kepada anak, lalu membiarkan dia memakai piranti teknologis untuk menjelajah ke mana pun dia mau tanpa pengawasan. Jangan biarkan pula arah kehidupan anak kita disetir oleh desakan teman sebaya atau budaya populer di sekelilingnya.
sumber: cmindonesia.com
Tulisan yang dibuat oleh Elen Kristi ini adalah ringkasan dari salah satu bab dari buku Endangered Minds, yang ditulis oleh seorang psikolog pendidikan senior Jane Healy. Buku ini direkomendasikan oleh Ambleside Online sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar