Batasan Peran Negara Dalam Menegakkan Syariat Islam

Assalamualaikum wr.wb.

Semoga ustadz sekeluarga beserta kru Rumah Fiqih Indonesia selalu mendapatkan berkah dari Allah subhanahu wata'ala.

Saya mau bertanya, dalam negara Islam atau pemimpin Islam, peran apa saja yang diambil dinegara atau pemimpin yang sifatnya wajib dalam menegakkan syariat Islam? Apa batas-batasan negara "ikut serta" mengatur warga negaranya? Apakah dalam bidang muamalah saja, atau sampai ke keshalehan pribadi warga negaranya?

Saya mengambil contoh, misal di Aceh. Apakah tepat apabila negara menghukum orang yang tidak pakai jilbab (khimar)? Menghukum yang tidak melaksanakan shalat Jumat karena malas? Menghukum orang yang kedapatan khalwat? Atau ada di salah satu Pemda yang menghukum PNS nya yang tidak ikut shalat Subuh Jamaah di Mesjid sesuai ketentuan?

Pertanyaan saya tidak bermaksud tendensi apa-apa. Sama sekali tidak, hanya ingin mengetahui secara ilmu nya saja. Dan tentu sangat  saya senang, bila syariah bisa menyebarar lewat negara/pemimpin Islam.

Atas jawaban ustadz, saya ucapkan terima kasih.


Wassalam

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seharusnya pertanyaan ini menjadi sebuah diskusi yang panjang dan berbelit, sebab memang apa yang Anda tanyakan ini merupakan titik pangkal perbedaan pandangan poitik umat Islam selama ini.

Tetapi saya ingin sedikit menyederhanakan jawabannya dengan membuatkan coretan peta masalahnya. Kalau kita petakan, maka setidaknya ada beberapa kutub besar umat Islam memandang masalah ini.

1. Kelompok Pertama

Kelompok pertama berpandangan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Demikian juga negara tidak bisa lepas dari negara. Sehingga dalam pandangan mereka, jabatan-jabatan dalam negara harus direbut dan dikuasai, agar nanti pemimpinnya bisa menjalankan syariat Islam.

Dan tentunya menurut pandangan ini, sebagai negara yang resmi menjalankan agama, maka semua peraturan agama wajib diterapkan dalam bernegara. Secara otomatis menjadi negara secara langsung bertanggung-jawaban untuk memastikan penduduknya menjalankan agama.

Maka negara berhak menghukum orang yang tidak shalat, atau melanggar puasa Ramadhan, temasuk merampas harta orang yang tidak mau bayar zakat dan seterusnya. Bahkan ada orang terlalu ganteng pun bisa dilarang masuk ke negeri itu.

2. Kelompok Kedua

Kelompok kedua adalah antitesis dari pandangan pertama, yaitu pandangan sekulerisme ala barat yang 100% memisahkan agama dan negara. Bahkan negara cenderung memusuhi agama, sampai ke level syiar khas keagamaan pun dimusuhi.

Negara-negara Barat di Eropa dan Amerika umumnya menganut pemisahan sistem ini. Dan semua ajaran yang kita terima dari Barat lewat para sarjana kita yang belajar kesana, warna seragam, yaitu urusan agama tidak boleh mencampuri urusan negara, sebagaimana negara juga tidak boleh mencampuri urusan agama.

Maka jangan kaget kalau di negeri itu seringkali hak-hak warga dalam menjalankan agama seringkali terabaikan. Contoh yang sederhana, di semua negeri itu Idul Fitri bukan hari libur dan warga yang beragama Islam tetapi wajib bekerja seperti biasa.

Bahkan untuk shalat pun seringkali sulit bisa dijalankan, lantaran kepentingan agama sama sekali tidak boleh mengganggu aktifitas normal. Shalat di sembarang tempat pun merupakan hal yang terlarang.

Kalau boleh kita sebut, negara yang modelnya seperti ini adalah Turki. Meski mayoritas berpenduduk muslim, tetapi disana Islam benar-benar dijauhkan dari negara. Berjilbab itu termasuk pelanggaran kriminal kalau dikenakan di gedung pemerintahan seperti sekolah dan kampus negeri, serta kantor-kantor pemerintahan. Ibaratnya, wanita pakai jilbab ke kelurahan bisa masuk penjara karena dianggap melanggar hukum.

3. Kelompok Ketiga

Sementara kelompok ketiga adalah gabungan dari pemikiran kelompok pertama dan kedua. Di satu sisi, pemikirannya adalah memisahkan antara negara dan agama, tetapi di sisi lain, pemisahannya bukan sekulersime total model Barat yang 100% memisahkan agama dan negara. Agama masih diakui negara dan diberikan hak-haknya dalam batas tertentu. Tetapi ada masalah negara yang tidak boleh dicampuri oleh agama.

Maka dalam pandangan kelompok ini, kepala negara tidak secara otomatis menjadi kepala agama. Walaupun kepala agama tetap berada dalam struktur pemerintahan.

Model negara yang seperti ini cukup banyak, salah satunya yang bisa kita sebut adalah Indonesia.

Sebenarnya masing-masing tipe pemahaman di atas masih bisa dibreakdown lagi, tetapi kita cukupkan dulu saja hingga tiga tipe besar ini.

Analisa dan Perbandingan

Sebenarnya yang paling ideal tentu yang pertama, yaitu tidak memisahkan antara agama dan negara, sebagaimana yang dahulu dijalankan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabat khulafaurrasyidin. Saya kira kita semua pasti sepakat untuk mengatakan bahwa tipologi negara ideal adalah Madinah di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan empat khalifahnya.

Namun jangan lupa untuk mencatat bahwa meski negara mengurusi agama, tetapi kualitas pemegang kekuasaan itu sendiri sangat luar biasa. Mereka adalah orang yang ahli agama sekaligus ahli negara.

Sebut saja Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Jabatan beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah kepala negara, tetapi standar moral beliau adalah manusia terbaik yang pernah ada, orang paling jujur (al-amin), berakhlaq paling luhur, sekaligus sumber ilmu agama.

Secara kualitas keagamaan, beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling tinggi nilainya. Dan secara kapasitas untuk menjadi pemimpin bangsa, seluruh kelompok masyarakat pun mengamini kemampuannya.

Orang-orang yang bekerja di sekeliling beliau shallallahu 'alaihi wasallam sendiri juga bukan orang sembarang. Mereka adalah para kader terbaik yang beliau shallallahu 'alaihi wasallam bina sendiri dengan kedua tangan beliau. Hasil 'cetakan' itu benar-benar 100% sempurna.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, posisi istimewa kepala negara sekaligus agama ini dengan mudah bisa digantikan dengan kader terbaiknya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan dan Ali bin Abi Thalib ridhwanullahi 'alaihim.

Maka ketika negara mengatur agama di masa itu, hasilnya pasti sempurna. Tidak ada kezaliman negara yang mengatas-namakan agama. Tidak ada politisasi agama. Tidak ada ulama penjilat penguasa, sebab penguasa itu sendirilah yang jadi ulama. Di masa itu ciri yang bisa dengan mudah kita temukan adalah imam masjid adalah imam negara dan imam negara otomatis jadi imam masjid.

Oleh karena itu meski tidak pakai Pemilu atau Pilkada, tetapi kepemimpinan beliau sangat sangat legitimate dan dijamin seluruh penduduk Madinah dan wilayah kekuasaannya mendukung 100% kepemimpinannya. Belum pernah kita dengar ada kelompok oposisi apalagi yang sampai mau meng-impeach beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

Yang terjadi tiap hari ada saja orang Yahudi, Nasrani, Majusi atau penyembah berhala yang dengan suka rela masuk Islam, tanpa harus membagikan sembako atau mie instan. Sebab mereka masuk Islam bukan karena rayuan, melainkan telah membuktikan sendiri, ketika negara dipimpin oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para khalifahnya, maka antara teori di mulut dengan praktek di lapangan tidak ada bedanya.

Pemimpin Yang Tidak Becus Beragama Dan Tidak Ideal Mengurus Negara

Sayangnya, menyatukan negara dan agama itu tidak selalu bisa mendapatkan hasil yang ideal, manakala kualitas pemimpinnya bermasalah. Baik bermasalah dalam menjalankan prinsip agama ataupun dalam tugas kenegaraan. Bahkan yang lebih sering terjadi, si pemimpin tidak becus dalam beragama sekaligus tidak ideal mengurus negara, bahkan tidak paham bagaimana caranya bernegara.

Di masa kini, ketika negara dipimpin kalangan agamawan, maka apa yang mereka sebutkan di bibir itu jauh berbeda dengan apa yang menjadi kenyataan. Akibatnya, orang tidak percaya mereka jadi pemimpin agama dan juga negara.

Tetapi dia tetap ngotot ingin jadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara juga. Maka yang terjadi justru kehancuran dua-duanya.

Berbagai negara yang mau ikut mengatur agama saat ini adalah contoh buruknya. Alih-alih bisa meniru apa yang dahulu secara ideal dijalankan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para khulafaurrasyidin, justru mereka malah jadi pengekor penguasa Barat (Eropa) di zaman kegelapan (the Dark Ages), yaitu ketika negara ikut mengatur agama. Ternyata bentuk realnya tidak lain adalah raja dan penguasa zalim yang berlaku curang, korup, dan menindas rakyatnya dengan mengatas-namakan agama. Agama sekedar dijadikan tameng dan alibi, tidak lebih.

Kalau di Barat sampai muncul gerakan sekulerisme, sebenarnya adalah reaksi logis dari dirusaknya agama oleh para penguasa. Masalah agama dibawa-bawa dalam urusan politik kenegaraan, lalu terjadi pembusukan agama itu sendiri. Maka ide sekulerisme di barat itu sebenarnya untuk menyelamatkan agama dari pembusukan politik. Prinsipnya, bebaskan agama biar berjalan sendiri, negara jangan ikut campur melakukan politisasi agama.

Maka disana kita kenal ungkapan masyhur : Berikan kepada raja apa yang menjadi hak raja dan berikan pada agama apa yang menjadi hak agama.

Apakah Mungkin Mewujudkan Kembali Seperti di Masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?

Yang jadi pertanyaan penting saat ini ketika kita diskusi tentang apakah sebaiknya agama ini diatur oleh negara atau tidak, jawabannya tergantung ketersediaan sosok pemimpinnya dulu.

Kalau pemimpinnya mumpuni, mengapa tidak? Tetapi kalau pemimpinnya tidak pantas jadi pemimpin agama, juga tidak pantas jadi pemimpin negara, terus apa masih mau ngotot menyatukan agama dan negara?

Oleh karena itu ketika kita bicara ideal, seharusnya negara disatukan dengan agama dan agama tidak bisa dipisah dengan negara. Tetapi giliran kita bicara tataran teknis pelaksanaan di alam nyata, paling tidak kita harus menjawab dulu tiga pertanyaan mendasar :

Pertama : Mampukah kita melahirkan sosok pemimpin agama yang yang paling tinggi ilmu agamanya dan mampu menjalankan agamanya dengan benar berkualitas nomor satu?

Kedua : Mampukah kita mendidik dan melahirkan sumber daya manusia yang menjadi orang terbaik dan berkualitas nomor satu dalam urusan kenegaraan?

Ketiga : Mampukah kita melahirkan dua sifat ini biar bisa terdapat pada satu sosok manusia, sehingga kita angkat menjadi ulama yang berkualits khalifah?

Jujur saja nampaknya memang masih terlalu sulit. Jangankan untuk menjawab masalah ketiga, justru untuk saat ini sekedar menjawab pertanyaan pertama saja sudah nyaris mustahil, yaitu bagaimana melahirkan para ulama yang ahli di bidang agama secara ideal.

Dan bangsa ini juga masih kesulitan bagaimana menjawab masalah kedua, yaitu melahirkan pemimpin negara yang berkualitas.

Apalagi sampai ke level menjawab pertanyaan ketiga, yaitu melahirkan pemimpin agama yang ideal sekaligus dia merupakan sosok pemimpin negara yang berkulias. Tentu akan jadi semakin jauh lagi.

Sehingga ide untuk menyatukan negara dengan agama rasanya masih terlalu jauh ada di alam mimpi, masih jauh di luar batas jangkauan kita. Kalaulah ada yang mengangkat topik ini, pastilah dia sedang bicara wacana jangka panjang.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

sumber: rumahfiqih.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar