JUMLAH sarjana yang menganggur di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada Februari 2005, jumlah sarjana yang menganggur masih 385.400 orang. Empat tahun kemudian, yakni pada Februari 2009, jumlahnya sudah melonjak dua kali lipat menjadi 626.600 orang.
Angka pengangguran terdidik bertambah besar lagi jika digabungkan dengan pengangguran lulusan diploma yang mencapai 486.400 orang. Para penganggur terdidik itu merupakan bagian dari pengangguran terbuka secara nasional yang pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau setara dengan 8,14% dari total angkatan kerja.
Pertambahan jumlah pengangguran tingkat sarjana mesti diwaspadai. Sebab setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi. Semakin besarnya angka pengangguran terdidik tentu saja berdampak buruk, yakni berpotensi menimbulkan masalah sosial.
Mereka, para penganggur terdidik, bisa saja menjadi aktor intelektual kejahatan yang ada di tengah masyarakat. Selain itu, pengangguran terdidik adalah sebuah pemborosan. Bukankah negara sudah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan? Alokasi anggaran yang begitu besar hanya untuk memproduksi penganggur sehingga jelas sebuah pemborosan.
Dampak buruk lainnya, ini paling serius, adalah hilangnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan tinggi. Bukan rahasia lagi, untuk masuk ke perguruan tinggi dibutuhkan biaya selangit.
Semakin jelas sudah bahwa perguruan tinggi masih menghasilkan manusia pencari kerja. Celakanya, perencanaan pembangunan pendidikan tinggi tidak selaras dengan perkembangan lapangan kerja sehingga lulusannya tidak bisa terserap di lapangan kerja.
Perguruan tinggi harus kreatif sebab kesempatan kerja sesungguhnya masih terbuka lebar. Sektor pertanian, kelautan, perkebunan, dan perikanan adalah contoh bidang-bidang yang masih membutuhkan tenaga ahli.
Perguruan tinggi mesti mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja. Selain itu, untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja, perguruan tinggi sudah saatnya menambah keterampilan mahasiswa di luar bidang akademik yang mereka kuasai. Terutama keterampilan yang berkaitan dengan kewirausahaan.
Dengan demikian, perguruan tinggi bisa menghasilkan manusia pencipta lapangan kerja.
Pemerintah tentu saja tidak bisa mencuci tangan atas membengkaknya pengangguran terdidik. Pemerintah harus menciptakan lapangan kerja yang bermutu sehingga menarik minat kaum penganggur intelektual. Jangan pula para sarjana itu disuruh menjadi buruh bangunan.
Pernyataan ini, tentu, tidak dimaksudkan untuk menganggap buruh bangunan atau tukang becak sebagai pekerjaan tidak bermakna. Hanya, bila ingin menjadi tukang becak atau buruh bangunan, mengapa harus menghabiskan waktu dan dana begitu besar di perguruan tinggi?
Pemerintah, sejak dulu, tidak pernah memiliki konsep yang tegas dan terencana tentang keterkaitan antara pendidikan dan lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat konstitusi semata.
Tidak ada mata rantai yang mengikat antara tamatan perguruan tinggi dan lapangan kerja. Kita pernah gencar dengan program link and match, sebuah konsep yang sangat betul, tetapi mati dari aplikasi.
Meningkatnya angka pengangguran tamatan perguruan tinggi mencerminkan dengan sangat jelas tentang ketersesatan program penanggulangan kemiskinan kita. Memerangi kemiskinan haruslah ditempuh melalui perluasan lapangan kerja karena pertumbuhan investasi.
Kemiskinan tidak bisa dihapus melalui bantuan langsung tunai dan sedekah negara. Pada akhirnya lonjakan pengangguran orang-orang terdidik menghina pendidikan itu sendiri.
sumber: mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar