Siapa Ahlul Bait?
Ahlul Bait adalah keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga yang tinggal serumah dengan beliau (yakni para istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau keluarga yang terkait hubungan nasab dengan beliau, yang tidak diperbolehkan memakan harta sedekah. Mereka adalah semua Bani Hasyim, semua putri beliau dan juga anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Demikian pula Bani Al-Muththalib menurut salah satu pendapat para ulama.
Sikap yang benar dalam memuliakan Ahlul Bait
Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak berlebihan dalam memuliakan Ahlul Bait sebagaimana halnya Syi’ah Rafidhah, dan juga tidak membenci Ahlul Bait sebagaimana An-Nawashib. Sikap mereka penuh dengan keadilan dan jauh dari ekstrim (ghuluw). Pijakan para ahlu sunnah adalah wahyu Ilahi dan sabda Nabi, bukan hawa nafsu.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Ahlus Sunnah Wal Jamaah berlepas diri dari jalan Syi’ah Rafidhah yang berlebihan di dalam memuliakan sebagian Ahlul Bait dan mengklaim bahwa mereka (Ahlul Bait) ma’shum. Ahlus Sunnah juga berlepas diri dari jalan An-Nawashib yang memusuhi dan mencela Ahlul Bait yang istiqamah di atas agama ini, sebagaimana mereka berlepas diri dari jalan Ahlul Bid’ah dan Khurafat yang bertawassul dengan Ahlul Bait dan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan yang diibadahi selain Allah Ta’ala.” (Kitabut Tauhid, hal. 92)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah, maka mereka mencintai seluruh orang-orang yang beriman, selalu berbicara dengan ilmu dan keadilan, bukan dari kalangan orang-orang bodoh lagi pengikut hawa nafsu. Mereka berlepas diri dari jalan Syi’ah Rafidhah dan sekaligus jalan An-Nawashib. Mereka mencintai semua shahabat yang terdahulu masuk Islam; mengerti kedudukan, keutamaan dan keistimewaan para shahabat, serta selalu memperhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka…” (Minhajus Sunnah, 2/71)
Namun bukan berarti pula setiap Ahlul Bait itu lebih utama dari seluruh manusia dan semuanya wajib dicintai.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Namun bukan berarti setiap Ahlul Bait itu lebih utama dan lebih berilmu dari seluruh kaum mukminin. Karena tolok ukur keutamaan adalah sempurnanya keimanan dan ketakwaan, bukan kedekatan hubungan nasab semata, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait adalah sikap yang adil, yaitu mencintai mereka yang istiqamah di atas agama ini, dan berlepas diri dari yang menyimpang dan menyelisihi Sunnah Nabi walaupun dari kalangan Ahlul Bait. Karena posisinya sebagai Ahlul Bait dan kerabat Rasul tidaklah bermanfaat hingga benar-benar istiqamah di atas agama ini. Shahabat Abu Hurairah berkata: “Ketika turun firman Allah Ta’ala: “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara`: 214)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai kaum Quraisy! -atau yang senada dengan itu-. Belilah (berusahalah untuk) diri-diri kalian, aku tidak bisa menjamin kalian dari adzab Allah sedikit pun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththalib! Aku tidak bisa menjaminmu dari adzab Allah sedikit pun. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah! Aku tidak bisa menjaminmu dari adzab Allah sedikit pun. Wahai Fathimah bintu Muhammad! Mintalah harta kepadaku sekehendakmu, namun aku tidak bisa menjaminmu dari adzab Allah sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari)
Kesalahan Syi’ah dalam menyikapi ahlul bait
Berikut ini akan dipaparkan kesalahan Syi’ah terhadap ahlul bait:
1. Mayoritas mereka membatasi Ahlul Bait hanya pada ‘Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan dan Husain. Mereka tidak memasukkan 12 putra dan 18/19 putri ‘Ali lainnya ke dalam lingkaran Ahlul Bait. Sebagaimana mereka tidak memasukkan putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Fathimah ke dalam lingkaran Ahlul Bait. Lebih dari itu mereka keluarkan anak cucu Hasan dari lingkaran Ahlul Bait. Bahkan mereka keluarkan pula anak cucu Husain yang tidak disukai seperti Zaid bin ‘Ali bin Husain dan putranya yang bernama Yahya. Demikian pula putra imam mereka Musa Al-Kazhim yang bernama Ibrahim dan Ja’far.
Di dalam Shahih Muslim (2/752-753), disebutkan bahwasanya Fadhl bin ‘Abbas dan Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin Al-Harits bin Abdul Muththalib, (keduanya) meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dijadikan sebagai petugas shadaqah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya shadaqah itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ahlul Bait), karena shadaqah merupakan kotoran manusia.”
Kalau putra ‘Abbas bin Abdul Muththalib dan anak cucu Al-Harits bin Abdul Muththalib masuk ke dalam lingkaran Ahlul Bait, tentunya anak cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dan anak cucu ‘Ali bin Abi Thalib lebih berhak masuk ke dalam lingkaran Ahlul Bait. Apakah ini luput dari pikiran syi’ah?!
Demikian pula, syi’ah mengeluarkan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari lingkaran Ahlul Bait. Mereka berdalil dengan surat Al-Ahzab ayat 33, yakni lafadz (kum) menunjukkan bahwa yang dituju adalah laki-laki, sehingga para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk dari Ahlul Bait. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –setelah menyebutkan surat Al-Ahzab ayat 30-34– berkata: “Ini (justru, pen.) menunjukkan bahwa para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dari Ahlul Bait. Karena konteks ayat-ayat tersebut sesungguhnya tertuju untuk mereka (dimulai dengan seruan /Wahai para istri Nabi, pen). Adapun firman-Nya: (untuk menghilangkan kotoran dari kalian hai Ahlul Bait) maka menunjukkan bahwa seruan tersebut juga mencakup para Ahlul Bait lainnya, seperti Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dan Allah Ta’ala sebutkan dengan bentuk mudzakkar (laki-laki) agar seruan ini lebih mencakup orang-orang yang dituju dari lelaki dan wanita Ahlul Bait.”3 (Minhajus Sunnah, 4/23-24)
2. Keyakinan batil mereka bahwa para imam Syi’ah mengerti perkara-perkara ghaib, sehingga ketinggian kedudukan mereka tidak bisa dicapai oleh malaikat terdekat dengan Allah Ta’ala dan nabi utusan Allah Ta’ala sekalipun, merupakan pendustaan dan pelecehan terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Bagaimana tidak?! Dialah yang telah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Aku adalah pemimpin (pemuka) anak cucu Adam di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas seluruh makhluk.” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj 15/40)
3. Adapun klaim mereka bahwa para imam Ahlul Bait itu ma’shum berdasarkan surat Al-Ahzab ayat 33, maka sungguh tidak benar. Karena “pembersihan” dalam ayat tersebut tidak bermakna ‘ishmah (terjaga dari segala dosa). Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma`idah: 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Di dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwasanya Allah Ta’ala suka, ridha, dan memerintahkan kalian untuk melakukan amalan-amalan tersebut. Siapa saja yang mengerjakannya maka dia akan meraih kecintaan dan keridhaan-Nya, dan siapa saja yang tidak mengerjakannya maka dia tidak dapat meraihnya.” (Minhajus Sunnah, 4/260)
Adapun pembersihan dosa itu sendiri, maka dengan dua cara yaitu; tidak mengerjakan perbuatan dosa tersebut atau bertaubat dari dosa yang dilakukan. (Minhajus Sunnah, 7/79-80)
Peringatan kematian Husein bukti cinta ahlul bait?
Hari Asyura menggoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin. Bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabatnya, dan keluarganya. Di hari Asyura, Allah memuliakan Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah (mati syahid). Beliau dibunuh di tanah Karbala oleh para penghianat dari Irak. Kita anggap ini adalah musibah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Namun sungguh sangat disayangkan, setelah kejadian musibah tersebut, ternyata datang musibah yang jauh lebih besar. Munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin dengan motivasi mengagungkan Husein. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa dengan acara besar-besaran. Padahal, sama sekali hal ini tidak pernah dicontohkan para sahabat ataupun ahlul bait Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat mencintai Husein tidak pernah melakukan apa yang telah mereka lakukan hari ini.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang ummatnya untuk meratap, apalagi dengan memukul-mukul dan menyakiti diri sebagaimana sabda beliau, “Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi dan merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari)
Pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah banyak kejadian yang menyedihkan beliau, seperti kematian paman beliau Hamzah bin Abdul Muthalib yang dibunuh secara keji pada perang Uhud, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengadakan peringatan atas kematian pamannya tersebut apalagi diperingati setiap tahun.
Jika kita betul-betul mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul baitnya maka sudah tentu kita patuh pada syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak perlu membuat syariat yang baru.
Apalagi ditambah dengan keyakinan yang batil bahwa pahala setiap langkah orang yang berziarah ke makam Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma sama seperti pahala melaksanakan haji dan umrah. Jelas keyakinan tersebut adalah akidah batil yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah akidah batil mereka diantara ratusan akidah batil mereka dengan mengatasnamakan ahlul bait. Akidah tersebut tidak bisa dikatakan sebagai bukti cinta ahlul bait bahkan itu adalah penghinaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada ahlul bait itu sendiri. Wallahu musta’an.
Buletin Dakwah Al-Balagh edisi 02 Muharram 1434
sumber: wahdahmakassar.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar