Paradigma Baru Bisnis Penerbitan Buku di Era Digital

Oleh: Bambang Trim

Memintal Bisnis Digital untuk “Anak BerBuDI”

Bulan November dan awal Desember  2014 ini rasa-rasanya saya terkoneksi terus dengan isu BuDI alias buku digital Indonesia. Pertama, ketika diundang menjadi pembicara dalam sharing session bersama Qbaca Telkom pertengahan November lalu. Kedua, ketika beraudiensi dengan Menteri Anies Baswedan pada minggu yang sama. Terakhir, ketika menjadi peserta sekaligus moderator untuk acara Digital Creative Camp & Business Gathering bersama Kemenpar dan Ikapi.

Topiknya semua menjurus pada pengembangan buku digital di samping isu krusial soal minat baca. Tentu yang menjadi sasaran adalah anak-anak kini yang umumnya lahir pada tahun 2000-an atau disebut-sebut sebagai Generasi Z. Generasi yang menunjukkan tanda-tanda mampu beradaptasi sangat cepat dengan teknologi.

Event-event itu menggumpalkan semangat bahwa bagaimanapun penerbitan digital sudah menjadi tantangan sekaligus peluang di depan mata. Bakal lahir anak-anak yang berBuDI alias belajar dan bermain dengan buku digital. Dari semula muncul buku digital generasi pertama dengan hanya menyajikan teks, kini telah ada buku digital Gen III dan Gen IV yang mulai menggabungkan unsur video, audio, animasi, dan game.

Hari S. Tjandra, pendiri perusahaan pengembang konten edukasi Pesona Edu dan juga Ketua Komunitas Pengembang Software Edukasi MIKTI, menyebutkan betapa peluang bisnis konten digital ini terbuka di ranah edukasi. Indonesia memiliki puluhan juta siswa yang tersebar di seluruh Nusantara dan pola belajar multimedia akan menjadi pilihan yang membuat peserta didik atau siswa menikmati proses belajar sekaligus bermain.

Dua hal pokok dari pengembangan produk penerbitan digital ini disebutkan adalahscript dan programming sehingga para penerbit akan menggabungkan dua kekuatan, yaitu pengembangan konten (content developing) dan penggunaan teknologi IT. Dengan kekayaan konten yang dimiliki penerbit Indonesia, semuanya dapat ditampilkan kini secara audio-visual sekaligus interaktif.

Dalam pertemuan dengan Menteri Anies, beliau menyampaikan salah satu kompetensi yang harus ditanamkan pada guru adalah kemampuan berkisah. Secara teori akademis, ini disebut kemampuan komunikasi naratif. Berkisah itu tidak harus identik dengan story telling atau mendongeng karena story telling adalah bagian dari berkisah. Namun, berkisah contohnya adalah kemampuan menyampaikan materi pembelajaran dengan pengantar  yang membangkitkan rasa ingin tahu anak.

Saya jadi teringat teman saya, Tasaro GK, penulis novel yang kini senang menyebut dirinya sebagai juru cerita. Tasaro yang juga memiliki sekolah PAUD di Jatinangor ini dalam beberapa bulan terakhir kerap mengisi kelas untuk guru terkait teknik menyampaikan pembelajaran secara berkisah. Akhirnya, kami berdua bersepakat ampuhnya komunikasi naratif ini digunakan dalam metode pembelajaran. Bahkan, hal itu semakin menemukan momentumnya dengan pembelajaran multimedia.

Nah, dalam hal ini perangkat pembelajaran digital atau multimedia akan sangat membantu guru mengembangkan sebuah kisah. Contoh sederhana dari sebuah video yang diunduh melalui Youtube, guru sudah bisa menyampaikan pembelajaran secara berkisah berbasis multimedia. Tentu akan lebih mantap jika ada produk yang menyiapkan segalanya untuk guru menjelaskan sebuah pembelajaran dilengkapi animasi, game edukasi, dan tentunya audio-video.

Guru dan  peserta didik sama-sama menikmati aktivitas BerBuDI tadi alias belajar dan bermain dengan buku digital. Ya, produk ini tetap dinamakan sebagai BUKU yang menghimpun segalanya, bukan dinamakan bahan ajar multimedia atau game edukasi. Sebut saja BUKU atau biar lebih spesifik disebut BuDI alias buku digital Indonesia. Jadi, BuDI adalah buku generasi terbaru untuk generasi kini dan masa mendatang Indonesia.

Benang merah, kuning, dan hijau untuk masuk ke dalam ranah atau rimba digital sudah tersedia. Ada Ikapi atau Ikatan Penerbit Indonesia yang memiliki kompetensi pengembangan skrip atau konten dasar buku digital. Ada MIKTI atau Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia yang memiliki kompetensi di bidang programming. Tentulah Indonesia tidak kalah-kalah amat dari negara maju seperti Amerika Serikat ataupun Korea Selatan dalam soal pengembangan teknologi digital. Jadi, tinggal bagaimana benang-benang itu dipintal menjadi sebuah peluang dan kompetensi di ranah bisnis buku digital.

Saya sendiri sudah coba memintal jalan digital itu sejak 2013. Teknologi begitu digjaya dan tidak ada yang mampu membendungnya, termasuk kita. Bahwa buku fisik masih akan tetap bertahan, ya. Namun, bahwa buku digital tidak akan berpengaruh hebat, ini yang masih bisa didebat.

Tidak ada kata lain memang bahwa content is king dan king maker-nya adalah orang-orang kreatif yang mampu membaca peluang dan menciptakan karya yang bergigi. Jadi, tidak peduli apa pun medianya, mau kertas atau bukan kertas, orang-orang kreatif tetap punya lahan untuk berkarya, termasuk di ranah BuDI. Karena itu, bersiaplah menyambut Generasi BerBuDI itu.

Catatan dari Digital Creative Camp: Ko-Penerbitan, Era yang Segera Tiba

Eloklah saya mengulas kembali tentang penerbitan digital setelah beberapa waktu lalu diselenggarakan Digital Creative Camp & Business Gathering, kerja sama Kemenpar dan Ikapi. Banyak hal sebagai catatan tersisa dan tentunya menarik untuk diungkapkan.

Salah satunya paparan Pak Hari S. Tjandra, pendiri Pesona Edu yang juga menjadi Ketua Bidang Pengembangan Komunitas Software Edukasi MIKTI, tentang peluang para penerbit untuk masuk ke dalam bisnis digital. Hal menarik yang dikemukakan Pak Hari bahwa peluang terbesar untuk pengembangan produk digital adalah di dunia edukasi dengan pangsa pasar jutaan siswa di Indonesia, terutama untuk siswa PAUD dan SD.

Ya, kita maklumi bersama bahwa kini telah lahir generasi Z atau disebut juga generasi digital yang begitu mampu beradaptasi dengan perangkat (gadget) berbasis digital. Mungkin untuk generasi kita saat ini, buku fisik masih menjadi pilihan. Namun, tiada yang dapat menebak apakah buku fisik masih akan tetap menarik bagi anak-anak generasi digital tersebut?

Mau tidak mau, penerbit harus masuk ke dalam “rimba digital”. Mau tidak mau karena jika tidak mau, ya alamat tidak akan mampu berkiprah banyak di tengah geliat bisnis digital yang terus tumbuh.

Melanjutkan paparan Pak Hari, patut dicatat bahwa pengembangan produk digital, semacam aplikasi pembelajaran, buku digital, ataupun game sebaiknya tidak berbasis internet (online) karena belum ada satu pun negara yang berhasil melaksanakan. Ya, bayangkan jika jutaan siswa mengakses konten yang sama pada satu waktu, bisa dipastikan server akan down.

Karena itu, basis offline adalah yang paling mungkin dilakukan. Pesona Edu contohnya, hanya menggunakan internet untuk verifikasi dan seterusnya dijalankan secara offline.

Lebih jauh Pak Hari mengungkapkan bahwa kunci pengembangan penerbitan digital ada dua, yaitu script dan programming. Dua hal ini memerlukan kompetensi spesifik. Dalam hal skrip, tentu diperlukan para penulis dan editor berjiwa pengembang konten. Lalu, dalam hal pemograman tentu diperlukan progamer komputer yang andal. Plus tambahannya dalam konteks pengembangan buku, terutama buku anak yaitu ilustrator/desainer yang juga mantap.

Kompetensi penerbit tentu ada sebagai pengembang konten alias mengembangkan buku cetak menjadi skrip penerbitan digital. Di sini terjadi kolaborasi antara penulis, editor, ilustrator, dan desainer. Hal ini terutama berlaku untuk buku-buku digital generasi II, III, dan IV yang menanamkan (embedded) konten, seperti animasi, game, film, berikut audio.

Kompetensi pemograman tentu dimiliki beberapa perusahaan berbasis IT. Lebih mudah menandai perusahaan seperti ini adalah dengan melihat anggota asosiasi Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) yang memang bergerak dalam bidang pengembangan komunitas industri kreatif berbasis digital, seperti animasi, game, dan software. Hal lain terkait pemograman ini tentu soal sekuriti untuk melindungi karya digital dari pembajakan yang tidak bertanggung jawab.

Karena itu, satu hal yang lebih cepat dilakukan daripada penerbit harus berinvestasi di bidang IT adalah melakukan kerja sama ko-penerbitan (co-publishing) dengan perusahaan berbasis digital. Pola ini sangat dimungkinkan seperti halnya ditawarkan Pesona Edu yang mulai membuka peluang kerja sama seperti ini pada awal 2015.

Saya sangat bersetuju dengan pendapat Mas Putut Widjanarko dari Mizan bahwa sebaiknya penerbit berkonsentrasi atau mengubah pola pikirnya sebagai pengembang konten, bukan sekadar produsen buku fisik. Sebagai pengembang konten, penerbit tidak akan terpengaruh dengan perubahan yang terjadi pada media penyampai informasi.

Going digital? Tentu hal itu tidak semestinya menjadi kebimbangan lagi. Era generasi digital sudah di depan mata. [BT]

sumber: manistebu.com

1 komentar:

  1. sangat menginspirasi, saya sendiri go publik buku-buku digital kami dari lisensi Adamssein Media. Makasih ya idenya.

    BalasHapus