Istilah berbasis sejatinya menginginkan sekolah yang fokus kepada basis itu. Pendidikan Formal atau Sekolah Formal biasanya berbasis AKADEMIS, maka pendidikan alternatif bisa berbasis NON AKADEMIS, misalnya berbasis ALAM, berbasis MANUSIA, berbasis KARAKTER dsbnya.
Jadi sesungguhnya berbeda di FOKUS dan MINDSET yang melingkupi keseluruhan proses pembelajaran. Sekolah Alam misalnya adalah sekolah berbasis ALAM, yang menjadikan ALAM / UNIVERSE sebagai Mindset dan Konsepnya sampai kepada Kurikulum dan Metodenya. Akademis tetap dipelajari namun menjadi Support saja dan konstruksi pengALAMannya menggunakan ALAM sebagai Media Belajar.
Sekolah berbasis MANUSIA, juga demikian, dia menjadi MANUSIA sebagai fokus dan mindsetnya. Begitupula sekolah berbasis KARAKTER dan sekolah berbasis KEHIDUPAN (Lifeskill), termasuk sekolah berbasis ISLAM.
Derivasi di lapangannya tentu saja bisa saling melengkapi dan hybrid, namun sepanjang KONSISTEN, bukan cuma PENEMPELAN, hal ini malah bagus. Kami sendiri merekomendasi pendidikan yang bisa berbasis MANUSIA, berbasis ALAM, berbasis KEHIDUPAN dan berbasis AKHLAK dalam sebuah konsep dan model Pendidikan akan sangat lengkap, kami menyebutnya PENDIDIKAN PERADABAN.
Contoh tidak konsisten, misalnya ada sekolah yang berbasis MANUSIA, namun hanya berbicara kecerdasan ganda (MI) saja, melupakan aspek manusia yang lain seperti bakat dan karakter, bahkan hanya menjadikan "pengenalan thd manusia" untuk memudahkan strategi pengajaran AKADEMIS, saya kira ini tidak konsisten.
Hal yang sama juga terjadi pada Sekolah Berbasis KEUNGGULAN LOKAL (ini adalah derivasi dari pendidikan berbasis ALAM & KEHIDUPAN), bila hanya memasukkan unsur LOKAL sebagai MUATAN LOKAL, sementara INTI Curriculumnya masih AKADEMIS, ini juga menurut saya tidak konsisten.
Tentang Pendidikan Berbasis KOMUNITAS adalah sebagai konsep dimana pendidikan dikelola oleh komunitas, dari komunitas dan untuk kesejahteraan dan kemandirian komunitas. Kontennya bisa berbasis ALAM, berbasis MANUSIA, berbasis KEHIDUPAN, atau berbasis KARAKTER/AKHLAK
Sebelum membangun sebuah peradaban belajar dan sekolah komunitas, mungkin kita sepakati dulu pemahaman tentang community, society dan public. Di dunia LSM, ketiga pengertian ini telah dipahami secara kacau-balau, sehingga upaya community development tidak tercapai.
Pertama, community (komunitas) adalah masyarakat yang hidup dalam batas dan kesadaran teritorial. Maka sebuah RT adalah sebuah community
Kedua, society adalah masyarakat yang terhimpun atas dasar kesamaan identitas, seperti kesamaan agama, profesi, strata sosial dsb. Maka Ikatan Dokter Indonesia adalah sebuah society
Ketiga, publik adalah masyarakat dalam arti luas, tanpa ada batas teritorial, identitas dsb. Maka, saham yang dilepaskan ke masyarakat luas disebut saham go public
Nah, kalau kita ingin mendirikan sekolah komunitas, ada sejumlah prinsip yang perlu kita sepakati :
Pertama, berada di tengah-tengah community life, bukan sekolah yang MENUMPANG di komunitas. Ini bukan cerita orang kaya budiman yang mampu membeli tanah di sebuah kawasan, lalu mengelolanya tanpa ada keterlibatan komunitas.
Kedua, sekolah tersebut adalah ANAK KANDUNG community. Dia berdiri dari, oleh dan untuk komunitas. Ini adalah sekolah yang "saham mayoritas"nya dimiliki komunitas. Ini bukan masjid Muhammadiyah yang didirikan di tengah-tengah warga NU.
Ketiga, community adalah masyarakat yang hidup, dinamis dan dapat menjadi sumber belajar. Setiap jengkal lahan, setiap rumah, setiap pohon adalah sumber pembelajaran, sebagaimana konsep surau dan meunasah jaman dulu
(Adriano Rusfi Mas Harry Santosa)
sumber: ruky67.wordpress.com
Tapy bagaimana ya dengan kelemahan sekolah rumah {Home Schooling)??
BalasHapusOOT
sekolah komunitas bisa menutupi beberapa kelemahan homeschooling.
Hapussejumlah rumah yang menjalankan homeschooling, bisa saling berhubungan dan bekerjasama dlm sebuah komunitas homeschooling.